"Lo... hamil."
Muara terkekeh sumbang. Dia menghapus air mata yang tiba-tiba saja menuruni pipinya. "Hamil?"
Tina mengangguk ragu. Melihat Muara terkekeh sambil menangis benar-benar mengoyak hatinya.
"Tiga minggu." Lirihnya.
Kali ini Muara tertawa, tertawa paksa yang jelas saja menyakitkan hati. Dia menutupi wajahnya yang berurai air mata dibalik kedua telapak tangannya.
"Hamil? Gue hamil?"
'Salah gue apa lagi Tuhan? Kenapa gue harus hamil dalam keadaan seperti ini.'
Fina berjalan pelan mendekati Muara yang masih menangis tersedu. Dia dengan cepat membawa Muara kedalam pelukannya sambil mengusap-usap punggung Muara yang bergetar. "Raaa. Gue gak suka liat lo gini."
Tina tersenyum melihat Fina yang memeluk Muara sayang. Meskipun air mata yang dikeluarkannya tidak bisa menutupi betapa sedihnya dia. Sebenarnya dia lebih tidak menyangka, bukankah selama ini Muara hanya bermain bersama mereka? Lalu, bagaimana bisa Muara hamil?
Tina menyipitkan matanya saat melihat benda berkilau dari jari manis Muara. Dia mendekatkan kepalanya sebelum akhirnya membelalak saat mengetahui benda apa itu.
"Ra? Lo udah nikah?"
Fina melepas pelukannya pada Muara dengan pelan. Turut menatap jari manis Muara yang kini dipegang Tina. "Ra?" Panggilnya pelan.
Muara menghapus air matanya pelan. Dia tertawa sebentar sebelum mengangkat tangannya kehadapan kedua sahabatnya, melepas cincin yang baru beberapa jam lalu melingkar dijari manisnya sebelum membuangnya asal.
Dia menarik napas pelan sebelum menatap kedua sahabatnya yang memandangnya penuh tanya. "Pak Juanda, suami gue."
"Apa?!" Tina dan Fina syok seketika. Mereka memelototkan mata mendengar fakta yang baru saja dilemparkan Muara.
"Maaf... gue gak maksud rahasiain ini. Cuma, gue pikir kalian gak perlu tau saat semuanya hampir berakhir."
Tina mencerna, dia menangkap sesuatu yang janggal dari kalimat Muara. Dia menyipitkan matanya menatap Muara yang kini mengelus perutnya yang masih rata.
"Hampir berakhir?"
Muara mengangguk. Membenarkan bahwa apa yang didengar Tina tidak keliru. "Gue nikah tiga bulan yang lalu. Maaf gak ngundang."
Fina memang tidak terlalu peka. Tapi dia bisa menangkap ada kesakitan dibalik setiap kata yang Muara ucapkan.
"Pak Juanda apain lo?"
Iya janggal. Karena Muara tidak merasa bahagia atas kehamilannya, seharusnya Muara bahagia karena dia hamil karena menikah, bukan hamil diluar nikah karena kesalahan.
"Gue malu. Gue malu ngomong sama kalian."
"Gue gak mau tau. Kasih tau gue sekarang." Fina berucap berapi-api.
"Dia hiks... selingkuh hiks...hiks.." Muara kembali menutup wajahnya kala tangisnya kian tak bisa dibendung.
"Bajingan." Desis Tina.
"Brengsek! Dasar Juanda brengsek!" Fina memaki penuh emosi.
"Gue gak papa."
Perkataan yang jelas 360 derajat berbeda dengan kenyataan yang kini ada dihadapan Tina dan Fina. Mereka berdua saling pandang sebelum akhirnya sedikit menjauh dari brankar Muara. Membiarkan Muara sedikit melepaskan beban dengan menangis sepuasnya.
"Hiks... hiks... aku hamil hiks... Mas."
Muara makin mengeraskan tangisnya saat bayangan beberapa waktu lalu menghampiri ingatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Muara
Romance"Selain karena saya cantik, apakah ada alasan lain bapak menikahi saya?" "Tidak ada." Adalah percakapan dimalam pertama mereka yang berhasil meruntuhkan senyum tulus yang selama ini setia menghiasi bibir Muara. --- Muara Dunia, mahasiswi semester d...