"Malam ini Muara nginep disini aja, ya?"
Muara menggeleng pelan menanggapi pertanyaan? Atau permintaan? Yang diberi Ganya. Bukan bermaksud tidak sopan karena menolak saran dari mertuanya yang sudah begitu baik padanya, hanya saja Muara merasa kalau dia tidak bisa berada di rumah ini lebih lama, dia butuh pergi. Mungkin sendiri, entahlah.
"Engga usah, Mah. Muara biar ikut Fina sama Tina aja." Muara mengelus pelan perutnya yang mulai terasa keram selepas dia menangis tadi. "Sekalian mau konsul ke dokter soalnya perut Muara agak keram."
"Eh iya? Kalau gitu biar dianter sama supir aja, ya?" Gamya bertanya makin khawatir.
Muara tersenyum berusaha menenangkan Mama mertuanya yang terlihat benar khawatirnya. "Engga papa, Mamah. Nanti Muara kabarin aja kalau sudah check ya?"
Ganya akhirnya mengangguk mengalah meski tak rela. Muara itu sama keras kepalanya sama Juanda, jadi tidak mungkin dia bisa mengalahkan permintaan Muara. "Kalau begitu nanti kamu jangan lupa kabarin Mamah, ya? Fina sama Tina juga, tante titip Muara ya?" Kali ini perhatiannya teralih pada kedua sahabat Muara yang disyukurinya tulus pada Muara yang duduk di kasur sebelah Muara yang juga sudah terduduk dipinggir kasur.
Tina mengangguk diikuti Fina, lalu kemudian memilih menjawab permintaan dari Ganya dengan kalimat lugas khas Fina jika sedang serius. "Tante bisa percayain Muara sama kita."
Ganya kali ini mengangguk dengan lebih ikhlas dan tenang. Tangannya terangkat untuk mengelus kepala Muara sebelum kembali turun dan ikut mengelus pelan perut rata Muara. "Dede jangan nyusahin ibunya ya, kan anak pinter."
Muara tersenyum makin lebar setelah mendengar bisikan Ganya pada perutnya, ah lebih tepatnya pada janin didalam perutnya. "Iya oma, aku janji baik-baik aja kok." Sahut Muara dengan suara sama pelannya.
Muara baru hendak mengangkat pandangannya pada Ganya sebelum akhirnya berjengit kaget saat Ganya tiba-tiba sudah berlutut dihadapannya. "Mamah ngapain?! Bangun Mamah, duduk disebelah Mua sini."
Tarikan Muara pada lengannya tak dihiraukan Ganya. Tangannya beralih mengambil kedua tangan Muara sebelum menggenggamnya dalam dua tangannya yang kemudian diletakkan nya keatas pangkuan Muara.
"Mamah minta maaf ya, sayang?"
Suara lirih Ganya membuat Muara terdiam. Tubuhnya membeku sebelum akhirnya bisa menguasai dirinya. Tangannya bergerak, ibu jarinya beralih mengusap punggung jangan putih yang sudah terlihat keriput itu. "Mamah ga perlu minta maaf sama Mua. Mua ikhlas, Mah. Kalau memang ini jalan terbaik, Mua ikhlas menjalaninya."
Muara berdiri sebelum membantu Ganya untuk ikut berdiri dan memeluknya erat, hangat, Ganya memang selalu menjadi tempat sandaran terbaik untuknya. "Mua sayang sama Mamah. Jadi Mamah ga perlu maaf atau merasa bersalah lagi, ya?"
Ganya mengangguk. Tangannya yang semula membalas pelukan Muara beralih memegang belakang kepala Muara untuk kemudian sisi lainnya di kecupnya sayang. "Of course sure, sayang. Kalau begitu kamu cepet ke rumah sakit, ya? Jangan lupa kabarin Mamah nanti, ya?"
Melepas pelukannya, Muara menyalimi Ganya sebelum akhirnya mengajak kedua sahabatnya untuk ikut keluar bersamanya. "Assalamualaikum, Mah."
"Waalaikumussalam. Hati-hati ya, sayang." Jawab Ganya sambil menerima salim dari Fina dan Tina bergantian.
"Iya, Mah." Ini sahutan dari Muara, padahal dia sudah berada di ruang tamu dan mengharuskannya berteriak agar suaranya terdengar.
___
"Perutnya beneran keram? Ke rumah sakit kan jadinya?"
Muara mengangguk menjawab pertanyaan Fina yang sudah duduk di balik kemudinya sedangkan dia sendiri sudah duduk di kursi samping kemudi sambil tetap mengelusi perut ratanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Muara
Romance"Selain karena saya cantik, apakah ada alasan lain bapak menikahi saya?" "Tidak ada." Adalah percakapan dimalam pertama mereka yang berhasil meruntuhkan senyum tulus yang selama ini setia menghiasi bibir Muara. --- Muara Dunia, mahasiswi semester d...