SATU

1.1K 80 1
                                    

Muara berjalan menuruni tangga sambil sesekali bersenandung kecil. Kaki jenjangnya yang dibalut celana kulot plisket coklat melangkah dengan pasti menyusuri lantai luas rumah yang sudah ditempatinya sejak tiga bulan terakhir.

Dan seperti biasa. Senyum yang semula berseri dibibir Muara langsung lenyap kala matanya tak menemukan kehadiran Juanda di meja makan. Dia menghela napas pasrah sebelum menduduki salah satu kursi.

Nasi goreng dingin memang tak enak dimakan. Tapi Muara tetap menyuapkan sesendok demi sesendok nasi goreng dingin tersebut kedalam mulutnya. Itu adalah nasi goreng yang dibuatnya sejam yang lalu. Muara bahkan rela tidak tidur sehabis sholat subuh hanya demi membuatkan sarapan--yang tak pernah dimakan oleh suaminya--untuk suaminya.

Muara tau suaminya sibuk karena juga memiliki perusahaan sendiri. Tapi, tidak bisakah dia memakan sarapan yang sudah tersaji diatas meja makan sejak jam enam? Tidak bisakah dia menyuapkan satu suap saja jika memang terburu-buru? Bukan, bukan itu. Tapi, apa Juanda tidak bisa menghargainya sebagai seorang istri? Kenapa sarapan buatannya tak pernah menarik minat suaminya?

Muara menghapus air mata yang entah mengapa menetes dari sudut matanya. Saat nasi goreng dipiring milik Juanda yang dimakannya tinggal tersisa separuh, Muara segera membawa piring tersebut untuk dicuci. Dia melirik kecil kuali yang tadi dipakainya untuk memasak. Masih ada satu porsi nasi goreng lagi, dia akan menyuruh bi Ani untuk memanaskannya dan memakannya sebagai sarapan.

Selesai dengan mencuci piring dan bi Ani, Muara bergegas keluar. Ojek online yang dipesannya sebentar lagi datang.

Tin tin...

Muara mengernyitkan keningnya. Motor sport merah yang berhenti didekatnya ini jelas bukan ojol yang dipesannya. Ditambah jika dilihat dari bentukan tubuh dan helm yang dikenakan sang pengendara, Muara yakin dia mengenal orang tersebut.

"Jody?"

Sang pengendara sok misterius tersebut membuka helm full face yang digunakannya, menampakkan wajah ceria yang tersenyum amat lebar. "Pagi Muara." Sapanya.

Muara mendengus kecil sebelum tersenyum terpaksa. "Pagi Jod!"

"Astaghfirullah." Seru Jody sambil mengusap dadanya sedih.

Muara terkekeh. Selalu begitu, Jody memang tak suka dengan nama panggilan yang dia sematkan. Tapi, jika dipikir-pikir, hal itulah yang hampir setiap pagi membuatnya terkekeh.

"Maaf, Jod. Udah kebiasaan."

"Di plesetin dikiiit aja. Dy, Dy, Dy." Jody menjelaskan secara pelan dan penuh penekanan.

Sekali lagi Muara terkekeh. "Udah sih, spesial dari gue kok."

"Yaudah." Ucap Jody pasrah.

"Tumben pagi-pagi udah mau berangkat? Biasanya jam delapan." Muara melirik jam tangannya, masih jam setengah delapan.

"Ada rapat. Biasalah karyawan."

Dengusan tak setuju dikeluarkan Muara, seketika membuat Jody terkekeh girang. Muara menatap rumah tiga lantai bercat abu yang tepat berada didepan rumahnya. "Iya, karyawan yang punya rumah tiga lantai dengan lima mobil di garasinya." Sindir Muara langsung.

"Gue tau gue kaya. Gak usah sirikan gitu lah." Sahut Jody santai.

"Hmm."

Jody melirik kecil kedalam pagar rumah Muara yang tertutup rapat. "Suami lo mana?"

"Udah berangkat. Gak usah lirik-lirik! Gue colok juga mata lo!"

Menatap Muara yang pagi ini berkuncir kuda, Jody tersenyum tipis. "Gue liat dia tadi berangkat jam enam. Suami lo kerja apa? Bukannya kata lo dia dosen?"

Muara mengerjap pelan. Jody adalah orang pertama yang akrab dengannya sejak pertama dia pindah ke komplek elit ini. Jadi sedikit banyak Jody mengetahui tentang mereka.

"Pengusaha? Gue gak tau nyebutnya apa. Tapi dia lebih sering dikantor sih." Jawab Muara.

"Ohh gitu?"

"Iyaaa." Sahut Muara sekenanya.

Ngomong-ngomong, raut wajah ceria yang tadi sempat hinggap diwajah Muara sudah lenyap dan kembali berganti dengan wajah lesu. Jody mengetahui itu. Sebenarnya dia juga hampir mengetahui seluk beluk kehidupan wanita cantik yang sejak tiga bulan terakhir tinggal bersama lelaki dewasa dirumah didepan rumahnya. Wanita yang berhasil mencuri perhatiannya tepat dihari kepindahannya. Jody tentu tak bisa memungkiri hatinya, tapi dia juga tak bisa bergerak maju selangkah pun. Karena dia tau, milik orang lain akan selalu menjadi milik orang lain.

Tapi Jody tak tahan. Melihat wajah lesu yang hampir setiap pagi keluar dari pagar tinggi itu membuat Jody berani bergerak dengan menjadikan Muara teman baiknya. Hanya sekedar teman.

"Ikut gue aja yuk. Ojol lo lama banget." Celetuk Jody akhirnya.

Muara menggeleng, "gak usah. Ngerepotin lo doang nanti. Gue masih punya waktu kok."

"Yaudah tunggu abang ojolnya bentar lagi. Bayar terus lo ikut motor gue."

Muara mendelik. "Dihh enak aja! Udah ah, sayang juga duitnya. Masa dibayar tapi gak berguna, dih."

"Pelit banget. Katanya suaminya pengusaha." Jody mencibir keras. Sengaja agar Muara mendengar secara jelas.

Muara mengalihkan perhatiannya saat melihat motor lain berhenti didekat mereka. Berpamitan sebentar dengan Jody yang masih asik nangkring diatas motor besarnya, Muara segera menaiki motor ojolnya.

Jody memandangi motor yang dinaiki Muara hingga hilang dibelokan jalan. Menghela napas pelan, Jody memasang kembali helm full facenya.

Pertama, dia salah karena mencintai istri orang. Kedua, dia salah karena tak bisa menghapus rasa itu. Dan ketiga, dia kembali salah karena ingin membuat wajah suami Muara babak belur ditangannya.

Selain karena dia mencintai Muara. Jody hanya ingin Muara merasakan kebahagiaannya. Karena Jody tau, Muara mencintai suaminya.

☆☆☆

Muara merebahkan kepalanya keatas meja yang sudah dialasi tangannya. Dosen yang mengajar sejak seratus menit yang lalu sudah hilang ditelan pintu, jadi Muara ingin bersantai dengan memejamkan mata lelahnya sebentar.

"Hari ini gue keliatan menyedihkan banget. Sad girl gue." Ucap Muara sambil terkekeh kecil.

Sebenarnya setiap hari dia selalu begini, tapi pagi ini sedikit berbeda, dia baru tidur setelah menyelesaikan deadline tugas satu hari dari dosennya di jam dua malam. Dan dia sudah kembali bangun di jam setengah lima untuk melaksanakan sholat subuh dan memasakkan sarapan untuk suaminya--yang tak pernah dimakannya. Dan sekarang, Muara mengantuk, berat.

"Ra, kita ke kantin ya?"

Muara membuka matanya. Tampilan dua sahabat baiknya segera ditangkap netranya. Ada Fina yang tersenyum dan Tina yang menepuk pundaknya.

"Titip kopi dong. Pakek tutup ya."

Fina mengacungkan jempolnya sebelum menarik Tina bersamanya. "Tunggu ya, soalnya gue sarapan dulu."

Muara hanya mengangguk asal. Kepalanya kembali jatuh keatas meja. Rasa kantuknya benar-benar sudah tidak bisa ditahannya.

Damai masih melingkupi Muara didalam tidurnya. Tapi itu sedetik yang lalu, karena sekarang tidurnya terganggu akibat tepukan dibahunya. Muara membenarkan posisi duduknya sambil berusaha mengumpulkan kesadarannya yang tercecer.

"Kenapa?" Tanyanya pada lelaki yang tadi menepuk pundaknya.

"Dipanggil Pak Juanda. Ditunggu lima menit dari sekarang." Ucap lelaki tersebut sebelum berlalu dari hadapan Muara setelah Muara menjawab ucapannya dengan anggukan kepala pelan.

Membereskan sedikit penampilannya yang berantakan karena tidur sebentarnya, Muara menenteng ponselnya sebelum melangkah keluar dari kelasnya.

Selain sebagai penanggung jawab matkul Juanda dia tak memiliki status lain, kan?

☆☆☆

Jangan lupa voteee

-yessasaputri

Dunia MuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang