"Kan kan, ga habis kan? Mubadzir banget, heran." Muara berucap tak suka sambil menunjuk banyak piring di atas meja makan yang masing-masing masih bersisa separuh isinya.
"Sorry, Ra. Ga lagi lagi, deh. Gue udah kenyang banget tapi." Tina menyahut pasrah dari tempat duduknya, duduknya saja sudah bersandar karena perutnya kepenuhan, dia sungguhan sudah tidak sanggup menampung makanan lagi ke dalam perutnya.
"Ya udah sih mau di gimanain lagi, lain kali jangan coba-coba aja kalo ga mau gue jejelin makanan ke mulut lo." Ucap Muara santai.
Tiga orang lainnya menelan ludah dengan susah payah, tau benar jika Muara tak pernah main-main dengan kata-katanya. Dulu saja saat mereka masih maba Muara pernah menjejali Fina dengan kantong plastik yang isi es tehnya sudah habis karena dia bicara sembarangan alias mencarut. Jadi lebih baik mereka cari aman saja.
"Berangkat sekarang ga? Gue mau sholat Zuhur dulu tapi, ikut ga?" Lanjut Muara sambil berdiri dari duduknya. Tangannya melambai pada Fina dan Tina yang hanya melihatnya tanpa bicara. "Siklus haid lo pada belom dateng, ya. Jangan sok ga tau deh, ayo cepet!" Ucapnya garang.
Bisa apa mereka jika paduka Muara sudah bersabda, akhirnya mereka berdua -Fina dan Tina- berdiri mengikuti Muara. Jody? Sudah berjalan lebih dulu karena dia akan mengambil dulu sarung dan peci nya.
"Mukenah nya cuma dua. Boleh minjem punya si bibi ga?" Muara bertanya pada Jody saat melihat Jody melangkah memasuki ruang Sholat.
"Boleh kayanya. Gue atau Fina sendiri?"
"Lo. Fina kalo keluar dari sini ntar kabur." Jawab Muara yakin.
"Ya Allah. Gue ga segitunya kali. Cuma harus sering diingetin aja." Protes Fina tidak terima.
"Diingetin terus sama gue, tapi mana pernah nyangkut di otak lo? Gue cuma curiga kalau lo sebenernya ga ada otak buat nyangkutinnya deh." Cerocos Muara.
Fina mendelik sebal, tapi tak berargumen lebih jauh. Pasalnya semua yang dikatakan Muara itu seratus persen benar, jadi dia tidak bisa memberikan pembelaan apapun untuk dirinya yang salah.
Sepuluh menit kemudian sholat yang di imam kan oleh Jody dan ber makmum kan tiga wanita dewasa itu selesai. Muara yang bergerak lebih dulu, keluar untuk mengembalikan mukenah yang tadi dipakai Fina kepada bibi yang didapatinya sedang duduk di taman belakang.
"Bibi kok melamun?" Sapa Muara pelan.
Si bibi menoleh dan tersenyum teduh lalu menepuk bagian kosong disebelahnya agar Muara ikut duduk. "Berangkatnya masih lama?"
"Setengah jam lagi kayaknya. Kenapa? Bibi ada yang mau diomongin?"
Muara ikut tersenyum saat merasakan elusan tangan bibi di rambutnya. Wanita setengah baya yang mengenakan hijab itu tampak amat sangat menyayangi Muara meski mereka baru beberapa kali bertemu.
"Bibi cuma mau bilang terima kasih sama Muara."
Ucapan bibi membuat Muara membuka matanya dan memandang bibi dengan raut bingungnya. "Terima kasih untuk?"
"Karena Muara sudah merubah den Jody menjadi Jody yang dulu, den Jody sebelum dua tahun yang lalu."
"Bibi mau cerita?" Muara bertanya ragu, tapi dia juga ingin tau tentang hal apa yang hendak dibicarakan bibi di 'dua tahun lalu' itu.
"Bibi boleh cerita?" Tanya bibi balik.
Muara mengangguk yakin. Melirik sebentar pergelangan tangannya, dia memastikan bahwa waktu yang dimilikinya masih cukup panjang.
"Boleh. Tapi Muara ga ngelanggar privasi kan?"
"Engga tentu saja. Karena bibi yakin Muara juga ingin tau hal ini. Hal tentang dimana hari kepindahan Muara menjadi hari yang berbeda dari hari monotonnya den Jody. Dari yang biasanya dia hanya akan kerja lalu tidur, menjadi memiliki kegiatan lain untuk memandangi non Muara sebelum berangkat dan sepulang kerja sebelum tidur. Bibi tau apa yang dilakukan den Jody salah karena non Muara sudah bersuami, tapi bibi juga tidak bisa menyangkal kalau bibi mendukung penuh apapun keinginan den Jody untuk kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Muara
Romance"Selain karena saya cantik, apakah ada alasan lain bapak menikahi saya?" "Tidak ada." Adalah percakapan dimalam pertama mereka yang berhasil meruntuhkan senyum tulus yang selama ini setia menghiasi bibir Muara. --- Muara Dunia, mahasiswi semester d...