Muara memilih diam sejak kedatangannya keruangan Juanda sepuluh menit yang lalu. Sesekali matanya melirik jam ditangannya, beruntungnya dosen matkul berikutnya baru akan masuk setengah jam lagi.
"Tugas yang saya berikan sudah diselesaikan?" Celetukan Juanda berhasil membuat Muara menatap lelaki berkacamata didepannya.
Muara mengangguk sekali. "Jum'at sudah bisa presentasi."
"Bagus. Kalau begitu silahkan keluar."
Muara tersenyum singkat sebelum melenggang meninggalkan ruangan dosen sekaligus suaminya itu. Dia menghela napas pelan saat menyusuri koridor. Kenapa harus memanggilnya jika hanya ingin menanyakan hal sepele seperti itu? Apakah whatsapp lelaki itu sudah tidak bisa digunakan?
Muara menggelengkan kepalanya. Dia tidak boleh mengumpati Juanda, bagaimanapun lelaki itu dia tetap harus menghormatinya, sebagai seorang istri yang baik dan berbakti tentunya.
Muara berhenti melangkah saat tepukan pelan dirasakannya pada pundaknya. Dia menoleh, mendapati wanita cantik berambut sebahu yang tengah tersenyum amat manis kepadanya. "Ada apa mbak?"
"Boleh saya bertanya?" Ujarnya dengan suara yang terdengar amat sangat lembut.
Muara pikir bahwa wanita ini adalah wanita yang sempurna. Bukan lagi mendekati sempurna, melainkan sudah menyntuh kata sempurna. "Boleh. Silahkan saja."
Wanita yang memakai blus berwarna maroon selutut itu makin mengembangkan senyumnya. Matanya yang semula bulat seketika menyipit saat senyumnya melebar.
'Gak senyum aja cantik, mbak. Apalagi senyum gini, saya yang cewek aja nyanjung, haduhh...'
"Ruangan Juanda dimana ya?"
Muara membeku. "Juanda Putra?" Ujarnya memastikan. Saat mendapatkan respon berupa anggukan kepala dari wanita itu Muara serta merta mulai memikirkan berbagai hal negatif diotaknya yang kecil.
Lamunan Muara terhenti kala tangan putih nan gemulai itu melambai didepan wajahnya. "O-oh, ehh disana. Pintu hitam ya mbak, deket kok." Ucapnya gelagapan sambil menunjuk pintu dimana suaminya berada.
"Terimakasih adik cantik. Ohh iya, perkenalkan saya Tiara." Ujarnya sambil mengulurkan tangan kanannya didepan Muara.
Muara menyambut uluran tangan itu, tersenyum lalu berkata. "Saya Muara. Salam kenal mbak."
Wanita yang baru dua menit lalu diketahui Muara bernama Tiara itu membalasnya dengan kata 'ya, baiklah' sebelum melenggang pergi menuju pintu ruangan Juanda.
Muara makin mendengus kesal. Kenapa harinya makin berantakan saja sih? Dan lagi, wanita itu siapanya Juanda? Mantan? Gebetan? Apa Juanda lupa sudah memilikinya sebagai istri? Apa Juanda lupa dengan keberadaannnya tiga bulan ini dirumahnya?
Muara makin menggeleng. Dia berjalan cepat kembali ke kelasnya. Bisa gila dia lama-lama jika terus memikirkan tentang kerumitan suaminya.
☆☆☆
"Sejak kapan lo hobi nongkrong didepan rumah gue?"
Jody, lelaki yang baru saja mendapat sindiran dari wanita cantik bermulut ceriwis itu mengangkat pandangannya. Matanya menangkap raut kesal diwajah Muara. Dia menolehkan kepalanya kesegala arah dan tak menemukan abang berjaket hijau yang biasanya mengantar Muara. Sepertinya dia tau dari mana asal wajah kesal itu.
"Abang kesayangan lo mana?"
Muara menghembuskan napas lelahnya sebelum duduk didepan pagar rumahnya. Jody yang sedari tadi duduk diatas motornya terus menatap setiap pergerakan yang dilakukan wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Muara
Romance"Selain karena saya cantik, apakah ada alasan lain bapak menikahi saya?" "Tidak ada." Adalah percakapan dimalam pertama mereka yang berhasil meruntuhkan senyum tulus yang selama ini setia menghiasi bibir Muara. --- Muara Dunia, mahasiswi semester d...