SEMBILAN BELAS

824 73 18
                                    

Tidak tau bagaimana awal mulanya ini terjadi, tapi yang pasti yang terjadi sekarang adalah mereka berenam sudah duduk di sofa ruang tamu rumah Jody.

Terhitung lima menit, dan belum ada satupun yang membuka pembicaraan disini. Muara yang memang dasarnya tidak suka dengan kesunyian akhirnya memilih untuk membuka percakapan lebih dulu. Sambil memutar matanya melihat satu-persatu ekspresi orang disekitarnya, Muara berdeham singkat untuk mengambil perhatian di sana.

"Jadi, kepada Bapak Bapak dosen terhormat. Ada perlu apa sampai berbarengan datang kesini?"

Pertanyaan Muara jelas tertuju pada dua dosen diantara mereka. Karena mereka berempat tidak punya masalah apapun, iya kan?

"Ini masalah pribadi." Bima menjawab masih dengan nada datar dan ekspresi sama datarnya yang tak berubah sejak dia masuk ke dalam rumah.

"Okey, kalau begitu kita bisa permisi keluar."

Baru saja Muara hendak berdiri dari duduknya. Suara Juanda menginterupsinya dan berhasil membuatnya urung berdiri.

"Mua, kita juga perlu bicara."

"Kita? Saya sudah terlalu speechless sama Bapak. Jadi maaf ya, saya tidak bisa berbicara dengan Bapak."

"Mua!"

Juanda ikut berdiri dan menahan tangan Muara yang sudah hendak melangkah keluar. Muara menoleh dengan malas, melepas pegangan Juanda pada lengannya, Muara lalu menatap dua sahabatnya yang malah melongo ditempatnya duduk.

"Kalian ngapain sih, anjir? Pulang, bego!"

"Eh? Iya iya."

Fina yang lebih dulu tersadar. Meninggalkan Tina yang masih melongo melihat Muara dan Juanda yang berdiri didepannya. Raut wajah Tina yang terlihat lucu itu mau tak mau membuat seseorang yang duduk diantara mereka tersenyum tipis, senyum yang teramat tipis hingga tak ada satupun diantara mereka yang menyadarinya.

"Tina!"

"Allahuakbar!"

"Hahahah."

Muara, Fina dan Jody tertawa ngakak melihat Tina yang terkejut sambil langsung berdiri celingukan. Tidak memperdulikan dua pak dosen dingin yang hanya memandangi mereka dengan raut datarnya. Ya bodo amat lah ya, yang penting mereka bahagia.

"Jod, ntar calling calling aja ya." Muara berkata sambil berlalu mendahului Fina dan Tina menuju pintu keluar.

Jody mengacungkan jempolnya, "Sip!" Lalu beralih pada Fina yang masih berdiri didekatnya. "Hati-hati bawa mobilnya. Anak gue tuh."

Fina mendengus malas lalu mendorong pelan kepala Jody. "Anak lo pala lo peyang. Ini mulut lo bikin orang salah paham mulu, heran."

Iya, Fina sudah akrab dengan Jody. Katanya sih terpaksa, padahal karena memang mereka klop dan satu frekuensi, jadi mereka bisa deket walau baru beberapa jam bertemu.

"Ya udah, gue balik deh ya. Yo Pak, kita duluan."

Begitu, lalu Fina menarik Tina berjalan bersamanya menyusul Muara yang sudah keluar lebih dulu. Inginnya Fina sih masih disini, secara dia memang kepo tingkat kuadrat sama Juanda -- tanpa embel-embel Pak -- dan Pak Bimasakti yang kenapa secara kebetulan mampir ke rumah Jody.

Sedangkan Juanda yang sedari tadi diam akhirnya ikut melangkah keluar dari rumah Jody. Dia memang menginginkan Muara untuk ikut bersamanya, tapi untuk kali ini dia tidak bisa memaksa Muara saat banyak orang yang mendukung Muara. Mungkin lain kali dia akan kembali menemui Muara.

Jody dan Bimasakti. Dua orang yang tersisa di ruang tamu itu masih duduk bersebrangan dalam kesunyian. Tapi akhirnya Jody memilih mengalah dan melangkah memasuki rumah, memilih menuju ruang keluarga.

Dunia MuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang