DUA PULUH

996 71 9
                                    

Malam ini Muara gelisah bukan main, setelah sepuluh menit yang lalu ibu mertuanya menelpon dan menyuruhnya untuk datang ke kediaman keluarga Juanda esok hari sepulang dirinya kuliah, Muara sama sekali belum bergerak dari posisi duduknya. Muara meremas kedua tangannya gemetar, bukan apa-apa, Ibunya Juanda baik sekali padanya, hanya saja dia belum sanggup jika harus berhadapan sekarang. Apa lagi kalau ternyata ibu mertuanya sudah mengetahui semua hal yang terjadi padanya sebulan belakang, Muara tak tau apa yang akan dikatakannya nanti dihadapan keluarga Juanda.

"Lo kenapa sih, Ra? Udah mau jam sepuluh, besok kita ada kuliah pagi kalo lo lupa."

Itu suara parau dari belakang Muara, ada Fina yang kini mengerjapkan matanya ditengah rasa kantuknya setelah tertidur satu jam yang lalu. Fina bergerak duduk dan bersandar pada kepala ranjang dengan lesu sembari tetap menatap Muara yang masih terlihat gelisah dan tak tenang ditempat duduknya.

"Kenapa sih?"

"Mama Ganya nelpon."

"Mama Ganya siapa?"

"Mamanya Juanda."

"Mertua lo?"

Muara mendelik sebal, kenapa Fina jadi bebal begini coba?

"Oiyalah Finaaa. Mamanya Juanda artinya mertuanya gue."

Fina mendengus sembari mengusap wajahnya yang masih diserang kantuk. "Ya biasa aja dong lo, gue belum sadar ini, masih memproses."

"Memproses apaan?"

"Memproses informasi setengah-setengah yang gue dapet dari lo."

Muara memutar bola matanya malas lalu melempar boneka yang sedari tadi dipeluknya hingga tepat mengenai wajah Fina yang kini menguap. "Bukan setengah-setengah! Lo nya aja yang motong cerita gue!"

"Aduh! Heran gue lo kok makin anarkis sih?"

Muara diam tak menjawab. Lalu memutar posisi duduknya saat melihat Fina menegakkan duduknya dan menatap penuh padanya.

"Iya oke, jadi kenapa sama mertua lo?"

"Tadi nelpon, bilang kalau besok sepulang kuliah gue kudu ke sana. Aduh heran nih gue, jangan bilang kalau Mama Ganya udah tau?"

"Negatif thinking nih lo!" Fina melemparkan balik boneka tadi ke si empunya. "Kali aja kan mertua lo kangen. Jangan banyak pikiran deh, gue ngantuk."

"Yang nyuruh lo bangun siapa coba?" Muara memeluk kembali boneka ditangannya sambil menghela napas lelah. "Gue yakin kalau keluarga Juanda pasti udah tau masalah ini."

"Masalah yang mana dulu nih?"

Muara kembali mendelik pada Fina yang berceletuk santai ditempatnya. "Emang masalah gue sama Juanda sebanyak apa sih?!"

Fina mengeluarkan kedua tangannya dan bersiap menghitung dengan menunjukkan jarinya satu persatu. "Juanda mau kawin lagi, lo hamil dan mau cerai, kalian pisah rumah, calon bininya Juanda hamil--"

"Eits! Lo tau dari mana kalau calon bininya Juanda hamil?"

"Jody?"

"Anjir, Jody lemes dasar!"

"Udah udah. Kenapa lo jadi salahin Jody? Kudunya salahin Juanda, udah kek anjing aja Juanda itu."

Muara akhirnya menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang sebagai bentuk rasa lelahnya. "Gue harus gimana ya, Fin? Otak gue buntu banget."

"Lagian setau gue mertua lo pemilik perusahaan yang sekarang diurus Juanda, kan?"

Muara mengangguk membenarkan. Fina mendengus makin kuat. "Dia pasti tau lah, anjir! Anaknya itu brengsek, nggak mungkin mamanya nggak tau."

Dunia MuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang