DUA PULUH SATU

742 81 31
                                    

"Jadi, Juanda memutuskan secara sepihak untuk menikah lagi?"

Itu adalah kalimat pembuka percakapan mereka di jam dua siang ini setelah sepuluh menit yang lalu mereka -- Muara, Tina dan Fina -- sampai dan lima menit setelahnya disuguhi jus jeruk dingin.

Muara mengangguk kaku. Tak mengira kalau kalimat pembuka dari ibu mertuanya malah bukan berupa kalimat pembuka. Melainkan, langsung tembak jedor ke sasaran?

"Mua ga tau kalau Mas Juan sama mbak Tiara sudah merencanakan pernikahan sebelumnya. Baru tau beberapa waktu lalu saat tak sengaja mendengar berita yang berseliweran."

"Juanda? Sungguhan seperti itu?"

Muara mengangguk kaku.

"Memang sama seperti Papanya. Mama ga tau mimpi apa Juanda sampai berani nekat ingin memadu kamu."

"Maaf, Ma."

"Kenapa jadi kamu yang minta maaf? Mama juga sudah memanggil Juanda, biar dia bilang langsung sama kamu."

Muara melotot terkejut. Melirik pada Tina dan Fina yang mengangguk kearahnya masih dengan senyum di wajah keduanya. Seakan mengatakan kalau yang dilakukan ibu mertuanya adalah sebuah kebenaran yang memang sudah seharusnya dilakukan.

"Aku hamil."

"Bagus dong. Hah? Hamil?!" Ganya melotot tanpa sadar. "Kamu hamil, Mua?"

Muara menunduk takut, secara tidak langsung pelototan ibu mertuanya itu tanda tidak suka kan? Atau tanda tidak menyetujui? Aduh, Muara takut pokoknya.

"Aku hamil, Ma. Jalan empat minggu."

"Juanda memang brengsek. Nyesel Mama ngga nyuruh dia benci Papanya. Bajingan seperti Papanya kok dijadikan panutan."

Ucapan kasar Ganya mau tak mau membuat Tina dan Fina takjub. Demi apapun Mama Ganya keren dimata mereka sekarang.

"Mama." Muara memanggil Ganya pelan.

Mendengar panggilan lirih itu, Ganya mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang sedang menampilkan panggilan untuk Juanda kepada Muara.

"Kenapa sayang?"

"Muara... Mua mau ngajuin gugatan cerai ke Mas Juan. Boleh?"

"Atas dasar?"

"Atas dasar, apa yang akan Mama lihat sekarang."

Muara berucap tegas sambil menoleh kearah pintu masuk dan yang lainnya serta merta mengikuti gerakan Muara. Mata mereka -- kecuali Muara -- melotot tak percaya kala melihat dua orang yang barus aja masuk ke dalam ruangan yang mereka tempati sekarang.

Itu sungguhan Juanda dan... Tiara?

Dalam hati Fina bertepuk tangan. Mengapresiasi keberanian Juanda menggandeng langsung selingkuhannya ke depan Mamanya. Jadi sambil duduk bersandar santai, Fina siap menonton drama yang akan tersaji kurang dari lima menit lagi dihadapannya.

"Wah, Juanda Putra Anggaragung? Ini betulan kamu?" Mama Ganya masih melotot tak percaya. Anaknya ini sungguhan menggandeng wanita lain pulang ke rumahnya?

"Selamat siang, Mas." Yang ini Muara, dia berucap sambil bangkit dan meraih tangan kanan Juanda untuk kemudian dikecupnya. Btw itu namanya salim.

Muara kembali duduk setelah sebelumnya melemparkan senyum pada Tiara yang memandangnya tak suka. "Silahkan duduk, Mas, Mbak."

Juanda mendudukkan dirinya di sofa panjang yang masih kosong dengan posisinya bersebelahan dengan Muara. Muara tersenyum sinis pada Tiara yang makin memandangnya tajam sebelum ikut duduk di sofa single sebelah Ganya.

Dunia MuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang