LIMA

691 61 2
                                    

"Halo!"

"Astaghfirullah!" Muara mengelus dadanya pelan. Kehadiran Jody didepan pagarnya seharusnya sudah bisa diprediksinya, tapi dia tidak menyangka kalau Jody bisa stand bye didepan pagarnya sepagi ini.

"Lo bener-bener gak ada kerjaan lain, ya?" Muara berucap sinis sambil menutup pintu kecil yang tadi dilewatinya.

Jody mengeluarkan senyum pepsodentnya sambil menatap Muara yang kini mengotak-atik ponselnya. Mengetahui bahwa Muara akan memesan ojol, dia langsung merebut paksa ponsel Muara. Muara memelotot tajam saat melihat ponselnya sudah berpindah tangan.

"Apa?" Seloroh Jody langsung.

Muara yang semula menatapnya tajam langsung meredupkan pandangannya. "Gue mau pergi dari sini. Gue juga lagi gak mau debat sama lo."

Jody menghembuskan napasnya pelan. Melihat tatapan penuh dengan rasa sakit itu sedikit banyak mengusik ketenangan hatinya. "Ikut gue aja."

Muara menatap penampilan Jody yang masih nangkring diatas motor dari atas hingga kebawah berulang kali. Melihat betapa rapihnya Jody dengan setelan jas berwarna navy yang membalut pas tubuhnya membuat Muara sungkan.

"Gue naik ojol aja. Balikin hape gue sini."

Jody memasukkan ponsel Muara kedalam kantong celananya sebelum tangan Muara sempat menggapainya. "Gue gak kerja. Santai aja." Ucapnya saat mengetahui arti dari tatapan Muara.

"Beneran?" Tanya Muara tak yakin.

Jody melepaskan jasnya sebelum melemparkannya asal. Muara membelalakkan matanya melihat tindakan Jody barusan. Jody terkekeh sebelum menggulung lengan kemeja putihnya sebatas siku. "Ayo berangkat!" Serunya kemudian.

Muara terkekeh seketika, dia berjalan mendekati Jody dan ikut naik keatas boncengan motor Jody. Melihat Jody menarik asal dasi yang dikenakannya, dia membantu Jody melepaskan dasi yang masih melilit leher pria itu. "Nggak mau kabarin asistennya dulu Jod?"

Jody menepuk dahinya keras. Dia terkekeh sebelum mengeluarkan ponsel dari kantong celana dasarnya. Mengotak-atiknya sebentar sebelum menempelkannya pada telinga kanannya. "Batalin semua jadwal saya hari ini.... enggak ada! Batalin atau kamu saya pecat?!.... oke bagus."

Semenit kemudian motor sport berwarna merah itu melaju kencang membelah jalanan padat pagi ini. Tapi kali ini tujuan pertama mereka adalah toko helm. Muara bilang dia takut jika dibonceng motor tapi tidak menggunakan helm, jadilah mereka akhirnya terdampar ditoko helm yang berisi banyak helm ini.

"Mickey mouse? Atau hello kitty? Ehh ada melodyyy!"

Begitu terus sejak sepuluh menit terakhir didalam toko helm besar ini. Muara begitu senangnya tertawa sembari memilih helm mana yang menurutnya cantik. Sedangkan Jody hanya mengikuti dari belakang sambil sesekali ikut terkekeh melihat betapa antusiasnya Muara.

Muara adalah wanita paling sederhana yang pernah Jody temui. Pergi ke kampus pun Muara hanya menggunakan kulot, karena memang dia jarang menggunakan jeans. Dengan model dan warna yang menurut Jody terbatas dilemari Muara.

Terakhir, akhirnya pilihan Muara jatuh pada helm warna peach dengan gambar rainbow ruby. Sebenarnya Jody sangsi jika Muara sudah berusia 19 tahun. Lah wong fansnya sama rainbow ruby kok.

"Sekarang kita kemana?" Tanya Jody saat mereka berdua sudah duduk manis diatas motor.

Muara bergumam kecil sebelum berteriak didekat helm Jody. "Mall!!! Gue baru dikasih uang bulanan sama Juanda, mau main."

Jody mengelus telinganya dari balik helm. Teriakan Muara terasa menusuk telinganya padahal dia sudah memakai helm full facenya. Akhirnya Jody melajukan motor besarnya dengan kecepatan tinggi agar segera sampai pada salah satu pusat perbelanjaan besar disana.

"Mau beli apa sih?" Jody bertanya saat melihat Muara justru hanya berjalan tanpa berniat membeli satupun barang dari sana.

Muara menolehi Jody sebelum kembali menatap kedepan dengan masih melangkahkan kakinya pada lantai dua mall besar ini. "Gak ada. Cuma mau refreshing aja. Udah sebulan gak main." Jawabnya santai.

Jody berjalan sedikit cepat untuk menyamai langkah Muara sebelum menggenggam tangan kecil Muara kedalam genggaman hangat tangan besarnya. "Nanti ilang."

Muara mencebikkan bibirnya sebal namun memilih tak berkomentar. Mereka berjalan selama kurang lebih sepuluh menit dilantai dua sebelum akhirnya memilih menaiki lantai tiga. Arena bermain yang sekaligus tempat puluhan toko perhiasan berkelas.

"Gue beli minum deh. Tungguin bentar, ya?"

Setelah mendapatkan anggukan kepala dari Muara, Jody melepaskan genggamannya sebelum melangkah menjauhi Muara yang duduk didepan salah satu toko perhiasan.

Mulanya Muara hanya mengamati sekelilingnya sambil sesekali bersenandung kecil. Tapi saat matanya menangkap punggung seorang lelaki yang dikenalnya baik, dia menyipitkan mata demi melihat lebih jelas apa yang lelaki itu lakukan.

"Mas Juanda?" Ucapnya lirih saat melihat wajah lelaki yang sedang bersama seorang wanita didalam toko yang berada didepannya.

Dia berdiri dari duduknya guna melihat lebih jelas kedua sosok yang kini membelakanginya itu. Muara menutup mulutnya tak percaya kala melihat wanita yang bersama dengan Juanda adalah Tiara. Tiara mantan Juanda. Tiara pengusaha terkenal itu. Tiara. Dia tidak mungkin salah lihat, wanita yang sekarang sedang mencoba cincin yang sama dengan cincin yang sekarang dipakai Juanda itu adalah Tiara.

Muara mengelus dadanya sebelum mengeluarkan kalung yang yang berbandul cincin pernikahnnya dengan Juanda. Matanya menelisik jari manis ditangan kanan Juanda, dia tersenyum tipis kala matanya tak menemukan cincin yang sejak tiga bulan lalu terpasang disana.

Muara berbalik cepat saat Juanda memutar tubuhnya kearahnya. Dia berjalan cepat meninggalkan toko itu sebelum air mata mengalir dari matanya yang sudah memerah. Dia terus berjalan, kakinya melangkah pasti keatas eskalator yang membawanya turun kelantai dasar. Bahkan dia terus melangkah dengan cepat setelah kakinya menginjak lantai dan mengabaikan begitu saja Jody yang memanggil sambil berlari mengejarnya.

Dia butuh sendiri.

Dia ingin sendiri.

Muara menghentikan taksi yang berlalu dihadapannya lalu memasukinya dengan cepat. Meninggalkan Jody yang baru saja tiba didekatnya dengan tangan yang membawa sebotol air mineral dingin.

"Jalan pak." Ucapnya pada supir taksi yang ditumpanginya. Segera setelah taksi melaju menjauhi mall dan Jody, Muara menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia sudah tidak sanggup bahkan untuk menahan sedikit lebih lama air matanya.

Berusaha keras tak mengeluarkan suara saat air matanya bahkan dengan deras mengaliri pipinya amat menyakitkan bagi Muara. Dia kembali teringat dengan Juanda dan Tiara. Suaminya dan sang mantan itu memilih cincin couple. Memilih cincin pernikahan. Bahkan cincin pernikahan mereka sudah tidak ada dijari manis Juanda.

Setengah jam kemudian taksi yang ditumpanginya berhenti didepan pagar rumahnya. Mengeluarkan uang seratus ribu, Muara memberikannya kepada supir sebelum membuka pintu mobil dengan cepat. Dia sudah tidak peduli dengan apapun termasuk uang kembalian. Dia hanya ingin segera masuk kedalam kamar dan menangis keras disana.

Dan hal itu segera terkabul kala tubuh lemahnya berhasil mendarat diatas kasur empuk dikamarnya. Muara membungkukkan tubuhnya sambil menangis sesegukan. Dia tidak ingin menjadi lemah. Tapi sungguh, rasanya sangat menyakitkan. Amat sangat menyakitkan untuk dialami remaja berusia 19 tahun sepertinya.

Apalagi yang harus dihadapinya? Selain dinginnya Juanda apakah dia juga harus menerima dimadu?

☆☆☆

Jangan lupa voteee

-yessasaputri

Dunia MuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang