12

124 117 89
                                    

"Dijual sebagai mainan dan pemuas Obsesi."

--o0o--

"Dean."

Sang pemilik nama menoleh ke asal suara , kedua alisnya terangkat saat melihat tisu yang disodorkan kepadanya.

Teddy menatap kearah Dean dengan ekspresi khawatir. Ia mendekatkan benda kecil yang berbentuk persegi itu kepada anak laki-laki di sebelahnya sembari menghela nafas.

Dean yang masih tidak paham, enggan menerima tisu itu. Lagipula untuk apa?

"Kau mimisan." Teddy menunjuk dengan dagunya.

Benarkah?

Dean mengusap pelan area lubang hidungnya dan benar saja, cairan merah bernama darah keluar dari dalam sana.

Dia bahkan bisa melihat beberapa tetes darah yang sekarang jatuh di atas lembar soalnya.

Dean benar-benar tidak menduga akan mimisan seperti ini.

"Cepat bersihkan." Ujar Teddy sekali lagi, Dean yang mendengarnya lantas meraih tisu itu setelah mengucapkan terima kasih.

Kau itu sebenarnya kenapa?

Teddy bertanya sekali lagi dalam hati sembari melihat Dean yang masih sibuk membersihkan darah dengan tisu pemberiannya.

"Kau baik-baik saja kan?" Teddy bertanya untuk memastikan. Dia tidak mendengarkan suara apapun selain dari anggukan kepala yang ditunjukan Dean. Mengkonfirmasi kalau dia memang baik-baik saja.

Selalu seperti itu, Teddy sampai kesal. Bukan tanpa sebab, Dean tidak pernah mengatakan kalau dirinya memang sakit ,sedih atau apapun. Bahkan dia tidak pernah sekalipun mendengar Dean menggerutu.

Anak itu selalu mengunci mulutnya rapat-rapat. Dari pada ditahan lebih baik kan diutarakan, Teddy tidak masalah jika harus mendengarkan keluh kesah dari Dean Berjam -jam. Tapi selama apapun dia menunggu. Dean tidak pernah membuka mulut.

"Mau kuantar ke UKS?"

Dean menggeleng sekali lagi, membuat Teddy merasa semakin khawatir saat melihat wajah pucatnya itu.

Luka di leher yang mulai membiru ,nampak dari kerah seragam yang tidak tertata rapi.

"Dia tidak mungkin berkelahi sesering itu."

Teddy masih ingat betul dengan apa yang dikatakan Fany kemarin,
Mungkin Fany tidak berterus terang tapi teddy tahu apa yang adik perempuan nya pikirkan, seolah olah Dean dipukuli. Dia menampik semua keraguan mentah-mentah.

Dengan kalimat, "impossible."

1 hal yang sekarang ia pikirkan ,bagaimana jika kalimat impossible itu berubah menjadi possible?

Dean bisakah kau berterus-terang atau ini hanya kekhawatiran ku yang tidak berlandaskan kebenaran?

Seberusaha apapun Teddy, saat melihat ekspresi lugu anak laki-laki disampingnya itu. Dia akan sulit percaya kalau Dean berbohong.

Sosok lugu yang jujur itu seperti kertas kosong yang tidak ternodai oleh tinta hitam.

"Kau hanya terlalu khawatir Ted."

Maybe.

Teddy menghela nafas lalu melanjutkan aktivitas nya yang tadi tertunda.

Sorot matanya menatap kebawah, pada lembar jawaban yang ada diatas meja. Tapi meskipun seperti itu dia tidak bisa menyangkal kalau pikirnya masih tertuju pada Dean.

DEAN : LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang