"Lo baik-baik aja?" tanya Gama yang sedari tadi melihat Reliya hanya mengaduk-aduk makanan.
"Iya," jawabnya tak bersemangat. Gama menghela napas lelah, akhirnya menggenggam tangan gadis di depannya.
"Apa lagi yang lo khawatirin?" Mata Reliya meneduh.
"Aku cuma masih kaget sama kedatangan papa sama mama." Lina yang melihat itu tersenyum tipis. Walau kemarin dia sempat kesal, Lina rasa kedatangan Sandra juga membawa pengaruh baik untuk hubungan Gama.
Dapat Lina lihat Gama semakin berubah, dan Reliya sepertinya mulai menerima kehadiran putranya.
"Aku mau ke rumah depan dulu."
"Mau gue temenin?" Reliya menggeleng, "aku cuma mau ambil peralatan mandi sama baju." Gama akhirnya mengangguk membiarkan gadis itu pergi.
"Gama," panggil Anton.
"Iya, Pa."
"Masalah kemarin kamu serius?" Gama menghela napas, dan akhirnya mengangguk.
"Aku enggak bisa diem aja lihat Reli tinggal sama saudra tirinya. Kita enggak tau bagaimana sikap mereka nanti kepada Reliya."
"Tapi Reliya adik kamu," sela Lina.
"Aku cuma anggap dia adik aku, Ma."
"Tapi apa kamu enggak punya pilihan lain?" tanya Lina tak yakin. Jangan sampai hanya karena ingin melindungi Reliya, hubungan Gama dengan perempuan di luaran sana buruk.
"Gama enggak punya pacar," jawab Gama cepat.
"Kamu masih laku, kan?" tanya Anton curiga. Gama mendengkus sebal mendengar kedua orang tuanya masih tak yakin.
"Mama enggak usah pikirin soal pernikahan, semua bakal aku yang urus." Lina mengangguk pasrah, yakin putranya bisa menyelesaikan masalah.
"Satu pesan papa, jangan sampai kamu sakiti Reliya. Kamu tau kan kalau papa anggap dia sebagai anak papa sendiri?" Gama mengangguk, lagi pula dia tak berniat menyakiti gadis itu.
"Udah?" tanya Lina saat melihat Reliya datang dengan tas yang lumayan besar.
"Maaf kalau aku nyusahin kalian." Reliya menyengir lebar.
"Enggak apa-apa, sana taruh di dalam." Reliya mengangguk langsung masuk ke dalam kamarnya yang memang tak jauh dari dapur. Dia sengaja memilih di tempat itu, karena Reliya memang suka mencari makan saat malam hari.
"Mama kamu belum pergi?" tanya Lina saat Reliya sudah kembali duduk. Reliya menggeleng, "mungkin besok," jawabnya cuek.
"Kamu enggak ada niatan mau ngobrol sama mereka?" Lina yakin di dalam lubuk hati terdalam Reliya ingin bercerita bersama kedua orang tuanya, apa lagi setelah sekian lama tak bertemu.
"Aku udah punya kalian, aku rasa itu udah cukup buat aku cerita," jawab Reliya dengan wajah datar. Lina akhirnya memilih diam, dia tak mau Reliya malah semakin kepikiran tentang kedua orang tuanya.
Sedangkan Gama makan dengan diam, walau hatinya kesal setengah mati. Sedari dulu dia yang paling tau bagaimana perasaan Reliya sejak ditinggal orang tuanya. Walau Gama terkesan cuek dan tak mendengarkan, tetapi cowok itu tetap mendengar dan mengingat apa pun yang Reliya bicarakan.
"Gama udah selesai." Gama menggeser kursinya lalu bangkit dari sana meninggalkan meja makan. Yang lain menganggukkan kepala sambil melihat punggung Gama yang mulai menjauh.
"Reliya udah juga." Reliya ikut bangkit masuk ke dalam kamarnya. Melihat itu Lina dan Anton saling tatap.
"Yakin Ma bakal kuat ngeliat mereka bersatu bukan sebagai saudara?" Lina menggeleng tak tau, semoga saja kedua tak sering lagi bertengkar seperti biasanya.
***
"Mas Gama buka woi!" Reliya mengetuk brutal kamar Gama, tak peduli sang empunya terganggu dan akan mengamuk nanti.
"Mas Gama pinjem laptop, dong!" teriaknya masih tetap tak mendapat balasannya.
"Woi manusia es ke luar!" pekiknya dengan suara yang benar-benar tak enak di dengar.
Tak lama dari itu Gama ke luar dengan tubuh basah tanpa atasan, bisa Reliya tebak jika cowok itu baru saja selesai mandi.
"Pinjem laptop!" Reliya mengadahkan tangannya.
"Untuk apa?" tanya Gama kesal. Karena acara mandinya diganggu oleh gadis menyebalkan seperti Reliya.
"Mau nonton drakor." Reliya menyengir lebar membuat Gama mendengkus sebal.
"Ogah! Laptop gue udah penuh dengan film enggak jelas itu," tolak Gama mentah-mentah.
"Dih udah pelit ngehina lagi!" Gama mengedikkan bahu, lalu ingin menuntup pintu. Namun, Reliya lebih dulu menahannya.
"Mas Gama, laptop aku rusah. Pinjem, ya?" Gama menghela napas kasar, akhirnya pasrah meminjamkan laptopnya.
"Makasih!" Setelah mendapatkan apa yang dia mau gadis itu langsung berlari menuruni tangga, bahkan tak peduli dengan tatapan menyeramkan Gama.
"Dasar bocah," cibir Gama.
***
"Jadi orang tua lo pulang?" tanya Lea sekali lagi, dia masih tak percaya dengan apa yang Reliya ucapkan.
"Yups," jawabnya.
"Kok elo kelihatan biasa aja?" Reliya mengedikkan bahu. "Emang gue harus gimana?" tanyanya malas.
"Ini penantian lo selama bertahun-tahun."
"Tapi gue enggak menanti perpisahan dari keduanya," sela Reliya membuat Lea bungkam.
"Untuk apa datang kalau cuma gores luka di tempat yang sama." Lea dapat melihat tatapan kesedihan dari mata sahabatnya. Walau terlihat biasa saja, Lea menyadari tatapan kehilangan itu.
"Mereka cuma mau bawa gue ketemu sama anak-anak mereka."
"Anak?" tanya Lea kaget.
"Gue juga kaget," ucap Reliya sambil tertawa paksa.
"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Lea memastikan.
"Lebih dari itu," balas Reliya yakin.
Reliya menatap danau di depannya dengan tatapan sulit diartikan. Siang ini mereka sengaja berkunjung ke sini untuk membahas tentang Reliya.
"Gimana pendapat keluarga Kak Gama?"
"Mereka enggak terima," jawab Reliya.
"Itu udah pasti, Re. Mereka udah ngerawat lo dari kecil, dan yang mereka tau orang tua lo pergi karena masalah pekerjaan. Kalau begini mereka pasti merasa kecewa juga."
"Gue jadi ngerasa semakin nyusahin," ucapnya.
"Karena mas Gama malah mutusin buat nikahin gue."
"What!"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Tetangga (End)
Romance[Tetangga series] Complete Reliya terbiasa hidup dekat dengan keluarga Gama, bahkan dia sudah menganggap kedua orang tua Gama itu sebagai orang tuanya. Reliya itu cengeng, manja, jahil. Karena itu sedari kecil Gama tak menyukai gadis itu, tetapi ka...