"Mau ke mana?" Reliya yang sedang ingin membuka pintu membalikkan tubuhnya mendengar suara Gama.
"Ke luar," jawabnya tanpa ekspresi.
"Ini udah malem." Gama melirik jam dinding, yang ternyata sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
"Cuma sebentar aja, kok." Gama menghela napas kasar.
"Bisa enggak nurut sendikit?" Reliya menatap Gama datar, langsung memalingkan wajahnya.
"Aku cuma mau cari angin ke luar!" bantahnya kesal.
"Tapi ini udah malem!" sanggah Gama.
"Jangan sok peduli, deh!" sentak Reliya. Gama melihat itu tak habis pikir, padahal dia sedang mengkhawatirkan istrinya.
"Plis deh, Re. Kalau ada apa-apa di jalan gimana?" Gama mencoba bersikap lembut.
"Aku mati juga bukan urusan kamu!"
"Re!" Dada Gama naik turun setelah membentak Reliya. Pria itu berjalan mendekat ke arah istrinya, menatap wanita itu dengan tatapan tajam.
"Kenapa kamu makin kekanakan kayak gini?"
"Kekanakan?" Reliya tersenyum miring menatap Gama.
"Terus kamu apa?" tanyanya.
"Re, plis. Di sini bukan kamu aja yang kehilangan. Aku kira kita bakal baik-baik aja setelah kehilangan dia, tapi kenapa kamu malah gini?"
"Gini? Kamu jadi nyalahin aku?" Gama mengacak rambutnya.
"Aku enggak nyalahin kamu."
"Terserah! Kamu juga salah di sini. Terus kenapa kamu salahin aku, karena aku yang ngandung dia?!" Air mata yang sedari tadi dia tahan langsung turun deras.
"Aku juga sedih, Mas!"
"Tapi kenapa kamu malah jauhin aku, seolah aku yang salah!" teriaknya. Gama menghela napas lelah menghadapi semuanya.
"Aku cuma pengen kasih kamu waktu, Re. Aku juga sedih, aku juga butuh waktu untuk semua ini."
"Aku mau kita cerai!" Gama menatap Reliya kecewa. Apa semudah itu Reliya ingin mengakhiri semuanya.
"Aku bener-bener terima kasih karena keluarga kamu udah ngurusin aku, aku hargai itu. Sekarang aku pengen mandiri, aku pengen mulai semuanya dari awal." Mata Gama memerah menahan tangis, tangannya terkepal kuat seolah siap meninju apa saja di dekatnya.
"Re?" Gama yang ingin menyentuh tangan Reliya, langsung ditepis kasar oleh wanita itu.
"Kalau kamu cinta sama aku, tolong hargai keputusan aku." Reliya menghapus air matanya kasar. Ke luar dari rumah meninggalkan Gama yang masih mematung di tempat.
Sebenarnya Reliya tak menginginkan ini. Dia mencintai Gama, sangat. Namun, dia rasa mereka memang harus mengambil jalan yang berbeda, walau menyakiti hati satu sama lain.
"Kenapa malah jadi gini?" Gama menyugar rambutnya. Kepalanya terasa ingin pecah.
"Argh!" Gama menendang guci di dekat kakinya hingga hancur berkeping-keping. Dia sadar ini juga sakahnya, tak seharusnya dia tetap diam saat keadaan rumah tanggamya sedang tidak baik-baik saja.
***
Reliya memutuskan untuk menyewa kamar hotel. Sebenarnya dia ingin pulang ke rumahnya saja, tetapi dia yakin Gama akan mencarinya di sana.
Wanita itu menatap pantulan dirinya di cermin dengan sendu. Apakah benar semua keputusannya ini.
"Tapi kenapa rasanya makin sakit?" lirihnya, sambil menyentuh dadanya yang terasa begitu sesak.
"Maafin mama, Sayang. Mama tau pasti di sana kamu sedih." Air matanya kembali turun. Rasa sesak kini semakin menggerogoti hatinya.
Reliya melepas sepatunya, merebahkan diri di ranjang dengan menghadap langit-langit. Kedua matanya sudah bengkak, bahkan penampilannya acak-acakan. Mungkin jika orang-orang melihatnya akan mengira jika Reliya adalah orang gila yang kabur dari rumahnya.
"Semoga ini keputusan yang benar," ucapnya sebelum memejamkan mata.
Halo!
Aku mau bocorin dikit, nih.
Insya Allah beberapa part lagi menuju ending. Menurut kalian cerita ini bakal sad ending atau happy ending?Jangan lupa vote dan komen dong biar aku semangat. Jangan lupa follow juga wattpad dan instagram aku @dillamckz siapa tau ada yang mau saling sapa.
Yuk jangan lupa spam komen biar aku cepet upnya, hehe.
Jangan lupa jaga kesehatan guys!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Tetangga (End)
Romance[Tetangga series] Complete Reliya terbiasa hidup dekat dengan keluarga Gama, bahkan dia sudah menganggap kedua orang tua Gama itu sebagai orang tuanya. Reliya itu cengeng, manja, jahil. Karena itu sedari kecil Gama tak menyukai gadis itu, tetapi ka...