CHAPTER 1

157 18 4
                                    

Merenung sambil menatap jendela mobil. Memperhatikan tetesan hujan yang kini mulai membasahi bumi dan menjatuhkan air hingga menimbulkan suara bising.

Jalanan kota tengah sangat di padati oleh masyarakat yang akan kembali ke rumahnya, padahal ini sudah pukul sembilan malam waktu setempat.

Di balik bising yang mengudara, ada perasaan cemas yang kini hinggap dalam diri seorang gadis yang tengah malamun meski guntur terus bersahutan seperti tegah marah.

Namun semua suara memekakkan telinga itu ia hiraukan sebab pikirannya tengah kacau. Amat kacau.

"Cerrys? Mau sampai kapan kau seperti itu?" tanya seorang pria yang kini memegang setir mobil.

Tidak ada suara alunan musik yang menguar seperti biasanya, hanya ada suara hujan dan guntur yang mengudara.

Wanita yang dipanggil Cerrys itu masih diam. Tidak menanggapi karena kalimat apapun yang akan ia sampaikan jelas tidak akan berpengaruh apapun dan malah akan membuat suasana kian runyam meski ia utarakan.

"Biarkan Suga bahagia. Kau bukan pilihannya, makna kehadiran dirimu hanya sampai di sana. Jangan masuk terlalu dalam," ucap pria itu lagi membuat hati gadis yang sedang melamun kian menyesak.

Seolah rongga dada dalam tubuhnya menyempit, si gadis hampir hilang akal jika saja pria yang kini mengantarkannya pulang tidak menahannya.

"Kau mungkin mencintainya, tapi dia tidak. Dia menganggapmu sebagai teman jika kau lupa," ucap pria itu lagi membuat setetes air mata kini jatuh membasahi pelupuk matanya dan mengalir melewati pipinya.

Tidak ada pergerakkan, bahkan bibir gadis itu tetap diam. Air wajahnya mengandung kesedihan, namun tanpa ekspresi. Jika saja kaca jendela mobil ini tidak gelap, mungkin orang-orang yang melihat penampilannya akan terkejut.

"Jangan seperti ini, kau hanya akan menyiksa dirimu sendiri," ucap pria itu lagi membuat pertahanan si gadis runtuh. Ia menangis. Mengeluarkan suaranya sebab dirinya tidak bisa menampik fakta yang sudah pria ini beberkan dan ingatkan.

Benar. Suga hanya menganggapnya teman saja. Seharusnya dari awal ia tidak boleh menyukai pria itu.

Cerrys menangis, membiarkan suara tangisnya berbaur dengan suara rintikkan hujan dan juga guntur. Membiarkan sosok pria di sampingnya ini mendengar tangisannya. Toh ini bukan pertama kalinya Cerrys menangis di depan pria ini.

"Ke-kenapa di-a ma-malah membuatku ter-terluka, Vante? Ke-kenapa?" isaknya sambil menghadapkan tubuh pada presensi pria yang di sebut Vante.

Vante sendiri kini merasakan apa yang gadis ini rasakan, tapi mungkin tidak semuanya. Vante juga merasakan sakitnya, sudah cukup lama sekali. Ia tidak senang melihat gadis di sampingnya berantakkan seperti ini meski sesuatu dalam dirinya merasa lega.

"Dia tidak membuatmu terluka, Cerrys. Kau yang membuat luka itu sendiri. Jangan jadi wanita yang merasa tersakiti karena Suga tidak mencintaimu sejak awal."

Sejujurnya, Vante tidak ingin mengatakan kalimat yang sangat menyakitkan itu. Hanya saja tidak ada cara lain untuk membuat Cerrys bisa lebih menerima.

Cerrys masih menangis, menderngarkan ratusan kalimat mengandung fakta dari Vante. Hatinya teriris, sakit sampai ia merasa ingin menyalahkan keadaan karena tidak pernah berpihak padanya.

"Lagipula sudah kukatakan berapa kali padamu, jangan berharap pada Suga. Dia hanya akan membuatmu sakit. Tapi kau tidak pernah menurut padaku. Melakukan apa yang menurutmu benar dan menghiraukan saran dariku."

Suasana di luar sana semakin tak terkendali. Hujan seolah tidak mau berhenti dan jalanan cukup macet entah karena apa. Tapi Vante tidak mau membuang waktu. Ia menarik tubuh Cerrys yang masih menangis sesegukkan ke dalam peluknya.

IDIOSYNCRATICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang