𝓒𝓱𝓪𝓹𝓽𝓮𝓻 𝓣𝔀𝓮𝓵𝓿𝓮

1K 96 7
                                    

Angeline terus menerus belajar hal-hal yang baru ketika ia berada di rumah grand duke. Salah satu pelajaran yang paling membuatnya kaget adalah wajah gusar grand duke yang semakin hari semakin sering muncul.

Angeline tidak bodoh. Itu yang harus terus dicatat berulang-ulang. Ia hanya tidak mengutarakan perasaannya. Hal ini yang membuat sang grand duke merasa bodoh di sekitar Angeline. Tapi tentu ini tidak membuat sang grand duke hilang arah. Ia tetap ingin menikahi gadis itu. Yah, itu menunggu sampai Angeline sendiri mau terbuka untuknya.

"Nona Archeness hari ini menemukan ruang belajar, tuan." Lapor kepala pelayan pada grand duke yang sedang berada di ruang kerja kediamannya. "Ia menanyakan kepada saya apa ia bisa meminjam pulpen dan kertas untuk ia gunakan menggambar."

"Angeline bisa menggambar?" Nampaknya penemuan itu membuat sang grand duke sedikit kaget. "Saya pernah menemukan ini, tuan. Tertanda 'A' di ujung kiri kertas. Ini sepertinya milik nona." Kata kepala pelayan sambil menyodorkan secarik kertas yang terlipat tiga.

Ada gambar bunga dafodil dililit lavender di kertas itu. Apa Angeline suka bunga dafodil dan lavender? Apa arti dari dua bunga ini? Biasanya yang mengerti maksud dari sebuah bunga adalah nyonya rumah. Ibunya. Tapi grand duke pun tidak tahu dimana ia harus menemukan nyonya rumah yang sebelumnya itu.

"Terima kasih." Kata sang grand duke sebelum ia membersihkan semua pekerjaannya dari meja pada hari itu lalu berangkat menuju sisi gedung yang ditinggali Angeline.

Sang grand duke menyisihkan seperempat gedung untuk Angeline tinggali. Gadis itu tidak memintanya. Justru, Angeline hanya berkata ia ingin meminjam sebuah ruang belajar untuk ia tempati. Tapi sang grand duke memberikan kunci untuk belasan kamar lainnya kepada Angeline. Ia bilang hal ini untuk melatih Angeline memegang banyak kunci setelah ia menjadi nyonya rumah, tentunya.

Sang grand duke menemukan Angeline yang menggoyang-goyangkan kakinya di meja belajar yang menghadap pada taman samping rumah, membelakangi grand duke yang berada di ambang pintu. Sesekali gadis itu mengangkat secarik kertas dengan goresan tipis dari bunga-bunga yang ia gambar lalu bersenandung kecil karena suka dengan apa yang baru saja ia gambar.

"Kamu suka ruang belajarmu?" Tanya grand duke. Angeline yang tersentak segera berdiri dan menoleh cepat kepada grand duke, terkesiap karena kaget. Ia terkadang lupa kalau saat ini ia tidak lagi tinggal di rumah ayah dan ibunya yang tahu jadwal-jadwal saat ia ingin sendiri.

"Tuan!" Katanya di dalam satu sentakan napas. "Maaf, saya tidak sadar." Kata Angeline. "Apa ada yang bisa saya bantu?" Tanya Angeline. Sang grand duke tersenyum lalu menyerahkan sebuah kliping ke tangan Angeline. Sebuah kliping berisi pembukuan dari  acara penggalangan dana dan daftar tamu serta hidangan dari sebuah acara tiga tahun yang lalu. Siapapun yang membuat acara ini sepertinya melewatkan dua musim tanpa pesta karena tidak ada catatan lain selain riwayat dari acara tiga tahun lalu.

"Aku ingin membuatkan penggalangan dana lagi untuk tahun ini," kata sang grand duke. "Aku dengar dari ayahmu kamu adalah gadis yang cerdas dalam mengelola sumber daya dan sering membantu dalam acara tahunan Archeness yang selalu mengesankan."

Angeline tersipu malu mendengar pesan rekomendasi ayahnya yang selalu mendukung penuh apapun yang dipilihkan Angeline. "Aku harap kamu mau membantuku pada acara tahun ini."

Angeline tersenyum lalu membungkuk kecil, memberi hormat singkat. "Saya akan berusaha dengan baik, tuan." Katanya. Sejenak wajah grand duke mengendur menatap Angeline. Bukan wajah yang sering ia perlihatkan pada Angeline tapi menurut Angeline wajah itu adalah wajah ketika seseorang teringat akan sesuatu. Tapi tentu gadis itu tidak memiliki cukup waktu untuk berandai-andai tentang apa yang grand duke tiba-tiba ingat, karena ia punya sebuah acara yang harus ia urus.

Tentu bagi grand duke hal itu adalah hal yang besar yang membuatnya kepikiran sampai malam tiba. Angeline begitu berkesan baginya. Ia ingin memeluk, menyentuh, memanjakan gadis itu dengan berbagai cara yang ia tahu. Tapi apa untuk gadis secemerlang dan sehebat Angeline seseorang sepertinya cukup? Ia tidak tahu ia harus apa kalau 'dia' kembali kerumah itu. Tapi selama Angeline disana, grand duke yakin ia bisa berusaha beranjak dari masa lalunya yang masam itu.

Malam itu grand duke diam-diam mengunjungi wilayah kediaman Angeline yang ia siapkan di rumahnya itu. Ia tidak ingin kepala pelayannya atau siapapun tahu jadi ia harus menyusuri lorong rahasia yang dibangun untuk menjadi jalan melarikan diri kalau terjadi pemberontakan. Rumah itu penuh dengan lorong-lorong seperti itu. Dan ada satu yang langsung menuju ke hadapan kamar Angeline.

Tepatnya ke belakang sebuah lukisan yang bagian matanya bisa dibuka. Grand duke menghela napasnya. Ia tidak pernah melakukan ini sebelumnya dan ia yakin ia pernah bersumpah kalau ia tidak mau menggunakan kesempatan seperti itu untuk mengintip gadisnya.

Tapi ia rasa ia setidaknya harus tahu dan mendengar apa yang Angeline katakan pada dayang-dayangnya, bukan?

"Jadi apa nona merasa nyaman tinggal disini?" Tanya seorang pelayan yang sedang menyisir rambut Angeline.

Angeline tertawa gugup mendengar pertanyaan itu lalu menoleh dari kaca yang ada di hadapannya. "Bisa dibilang begitu."

"Saya dengar Anda dulu tinggal di pedesaan, apakah disana menyenangkan?"

Angeline terdiam sejenak lalu tersenyum ketika pelan-pelan keduanya matanya menatap nanar kepada meja rias kayu di hadapannya. "Sangat sangat menyenangkan. Apa kamu pernah ke Archeness?"

"Belum pernah, nona. Tapi saya banyak mendengar keunikannya. Akhir minggu ini beberapa gadis pelayan yang lain mengajak saya untuk ambil hari libur dan pergi kesana."

"Kalau kamu ingin kesana kamu sebaiknya meminta kusir kereta untuk mengitari bukit pertama yang kalian temui. Jalannya sangat berlumpur di sekitar sana."

"Baik, nona. Lalu apa kediaman nona di Archeness mirip dengan Reed?"

Angeline lagi-lagi tersenyum lalu menggeleng. "Tidak sama sekali. Reed Manor memang indah dan megah. Tapi Archeness adalah rumahku."

"Benarkah? Tapi saya dengar Anda pindah kesana ketika Anda berumur sepuluh tahun?"

"Ya, itu benar. Ketika raja menurunkan jabatan ayahku."

"Oh.. Maafkan saya karena membawa topik ini, nona."

Angeline menggeleng, "tidak, tidak. Itu sudah jadi rahasia umum. Lagipula rumah lamaku sangat membosankan. Ayahku tidak punya waktu ketika ia masih menjadi earl dan ibuku sering sakit karena harus banyak mengurus sana-sini. Rumah itu adalah rumah yang menyedihkan." Kata Angeline sambil menggedikkan bahunya.

"Tapi apa Anda merindukannya?"

"Merindukan apa?"

"Menjadi seorang putri earl?"

"Tidak." Jawab Angeline dengan cepat. "Memang benar kalau kedudukan itu bisa membuat Archeness memiliki kehormatan yang tinggi. Tapi pun begitu banyak yang ingin menghancurkan kami. Jadi entah bagaimana, aku rasa pilihan raja untuk menurunkan kami sudah tepat untuk kesejahteraan kami."

"T-tapi nona, Anda akan menikah kepada seorang grand duke. Anda akan menjadi ratu juga di kemudian hari apabila tuan naik takhta. Anda akan kembali naik, bahkan lebih tinggi dari yang sebelumnya."

Angeline tersenyum lagi. Tapi sang grand duke melihat senyuman yang rusak dari balik lukisan itu. Sebuah senyuman terpaksa karena Angeline tahu kalau ini bukan nasib yang bisa ia ubah.

Angeline menghela napasnya kecil lalu menggedikkan bahunya, "aku rasa ini adalah beban yang harus aku genggam untuk menjaga keluargaku."

***

Grand Duke Of SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang