𝓒𝓱𝓪𝓹𝓽𝓮𝓻 𝓣𝔀𝓮𝓷𝓽𝔂 𝓕𝓸𝓾𝓻

395 30 0
                                    

Hugo kembali bersama seorang perawat yang membawa papan klip dan tas obat. Ia melihat Angeline yang duduk di kasur yang sama tempat ia meninggalkannya tadi dan gadis itu tengah menengadah menatap sesuatu yang dihalangi daun pintu ruangan itu.

"Nona, Anda akan diperiksa perawat ini. Saya sudah berbicara tentang mengirimkan dokter ke rumah dan pihak rumah sakit kebetulan tidak punya pasien gawat darurat, jadi pihak rumah sakit mau mengirimkan dokter untuk rawat jalan. Lalu..-"

"Hugo," kata sebuah suara yang tak asing dari belakang punggung Hugo. Ia segera menoleh pada pria yang menatapnya dengan wajah kaget.

Hugo segera tersungkur dan bertumpu pada satu kakinya lalu menundukkan kepalanya. "Hormat saya pada Yang Mulia Raja Sunset."

Angeline menoleh pelan kepada Hugo yang memberikan hormat paling dalam yang Angeline pernah lihat. Ia menengadah kepada pria yang ia kenal sebagai sang grand duke dengan kedua matanya yang bengkak dan panas, seperti habis menangis berhari-hari. Lalu gadis itu mengangkat tubuhnya pelan dan merendahkan dirinya di hadapan sang raja baru. Ia tahu sekarang ia secara pribadi bukan lagi seseorang dengan kelas yang sama seperti pria di hadapannya ini. Mungkin ia pun bukan lagi seseorang sekarang, melainkan sesuatu.

Seperti dipukul angin ribut tepat di wajahnya, sang Raja kembali disadarkan dari semua mimpi yang bermain di depan matanya pada siang hari itu. Tentang semua kenangan jauh yang selama ini ia ingat dari kehidupan yang Angeline kenal sebagai kehidupan miliknya sebelum disekap di menara dingin itu.

Melihat Angeline yang tak kunjung memberikan hormat, salah satu ajudan Sunset berdehem, "Saya perkenalkan. Yang Mulia Johan Sunset, Raja Agung Kerajaan Ann-Gardoux."

Angeline menoleh pelan lalu tersenyum simpul kepada ajudan itu. "Hormat saya pada Matahari Kerajaan." Kata Angeline dengan nada lirih selagi membungkukkan seluruh badannya, hampir mencium lantai.

"Berdirilah, kalian berdua. Kita ini teman lama." Kata Sang Raja dengan senyum simpul. "Kamu sakit.. Angeline..?"

"Ini bukan apa-apa, Yang Mulia." Kata Angeline sambil kembali berdiri dengan bantuan Hugo. "Kata Hugo, kamu memerlukan dokter ke rumah..?"

Angeline menoleh kepada Hugo yang ikut menatapnya balik. Mereka sama-sama khawatir kalau ini akan menjadi sebuah masalah di hadapan penguasa dari kerajaan yang baru saja melewati masa krisis dan masih membutuhkan seluruh tenaga medisnya untuk fokus mengobati korban peperangan. Jadi sebenarnya permintaan manja dari bangsawan untuk mengirimkan dokter ke rumah mereka sebenarnya harus ditolak mentah-mentah oleh pihak rumah sakit. Entah rayuan macam apa yang diberikan Hugo sampai pihak rumah sakit mau mengirimkan dokter ke kediamaan keluarga Angeline.

"Hu.. Hugo, aku rasa aku tidak memerlukan dokter ke rumah," kata Angeline berusaha menanggapi seperti panglima perang yang mempersiapkan diri dengan mitigasi bencana. "Mereka bisa memeriksaku disini saja. Ini cuma demam." Kata Angeline sebelum mengatupkan mulutnya rapat-rapat karena tangan besar milik Sang Raja mendarat di dahinya beberapa saat setelah ia menyatakan kalau ia sedang demam. Untungnya kali ini ia tidak berbohong, jadi seluruh tubuhnya memang panas. Apalagi dahinya.

"Hm. Kamu panas sekali." Kata Sunset mengonfirmasi ulang kondisi Angeline. "Ya. Sebaiknya dokter dikirim saja ke rumah. Apa kamu masih bisa jalan sendiri?" Kata Sunset sambil melambaikan tangannya kepada salah satu ajudan dari banyak yang daritadi mengikutinya. "Ya. Saya bisa minta bantuan Hugo." Untuk beberapa saat Sunset lupa keberadaan Hugo di sebelah Angeline. Daritadi ia berpikir kalau ia hanya bersama Angeline.

"Psst. Apa ini akan baik-baik saja?" Bisik Angeline kepada Hugo ketika Johan Sunset sibuk berdiskusi bersama ajudannya tentang dokter mana yang sebaiknya dikirim dan bagaimana sebaiknya rencana rawat jalan untuk Angeline kedepannya. Tapi sebelum Hugo bisa menjawab, Sunset bersiul memanggilkan seorang perawat pria yang daritadi berjaga dekat pilar besar di tengah ruangan. "Siapkan kereta kuda. Pasien ini ada dibawah bantuan langsung dari istana." Kata Sunset sambil menoleh kepada Angeline dengan dua mata yang selama ini Angeline rindukan. Dua mata yang teduh dengan sekelibat sendu.

Tidak. Ini bukan waktunya bagi Angeline untuk terlena pada hal-hal sepele. Ia punya begitu banyak rencana di pikirannya selama waktu ia disekap di menara. Ia punya sederet hal lain yang bisa di lakukan selain jatuh cinta. Tapi, ya Tuhan... Dua mata itu adalah hal yang selama ini ingin Angeline lihat.

"Saya..-" Sebelum Angeline bisa melanjutkan kata-katanya, seorang wanita muncul dari belakang Sunset, tatapannya hanya tertuju kepada pria itu. Seakan tidak ada orang lain selain mereka berdua disana. "Johan." Panggil wanita itu. Suaranya terdengar dewasa dan lembut. Angeline menatap dalam-dalam kepada wanita itu selama ia bersenda gurau dengan Johan yang kelihatan merespon wanita itu seadanya.

"Kalau begitu saya sebaiknya mengantarkan Nona Angeline kembali ke rumah. Kedatangannya dinanti keluarga besar Archeness." Kata Hugo. "Antar Angeline dengan kereta kuda saja." Kata Johan. "Dia 'kan sakit." Lanjutnya. Hugo menatap Johan sejenak lalu mengangguk pelan, menurutnya sepertinya keputusan itu lebih baik untuk kenyamanan Angeline.

Di dalam kereta kuda Angeline tidak bisa berhenti memikirkan pertemuan itu. Ia berandai-andai siapa kira-kira wanita itu untuk Johan Sunset sampai ia tidak merasa sungkan merangkul lengan pria itu. Ia mengingat saat tangan lentik wanita itu muncul dari balik pundak Johan. Kemudian ia menoleh kepada kedua tangannya yang lebam dan lecet, kedua tangannya dulu mirip seperti tangan wanita itu. Setelah tangannya, Angeline menyadari betapa anggun perawakan wanita itu. Pasti ia menggunakan korset dari penjahit kota. Angeline kemudian menyadari kalau saat ini ia sedang duduk membungkuk. Ia segera menegakkan tubuhnya dan duduk sebagaimana biasanya ia duduk ketika ia masih merasa dirinya adalah seorang lady dari keluarga bangsawan.  Ia merasa tubuhnya terasa bungkuk karena tak lagi menggunakan korset dengan benar. Ia membandingkan dengan seksama satu persatu perbedaan mereka. Rasanya wanita itu adalah sosok Angeline kalau ia tak pernah diculik dan disekap.

Angeline mengalihkan pikirannya dengan melihat pemandangan di luar jendela. Banyak yang sudah berubah. Banyak bangunan yang tengah dibangun ulang karena pengaruh peperangan. Banyak hal yang kini sudah asing di mata Angeline. Lagi-lagi tubuh Angeline menggigil selagi hatinya terasa seperti remuk. Ia banyak berpikir dengan permulaan 'kalau saja aku tidak disekap' selama ia berada di kota itu.

Ia semakin sering menggunakan kalimat permulaannya itu ketika ia melihat kearah mana ia dibawa. Ia melihat kanan-kirinya dan tak melihat satupun pemandangan yang familiar. Ia tidak dibawa ke pedesaan yang ia kenal sebagai rumahnya. Ia tidak melihat ternak dan lumbung lusuh. Ia tidak melihat hamparan ilalang yang tak sanggup diurus.

Alih-alih melihat rumah kecilnya, ia melihat sebuah bangunan marmer yang megah ketika kereta kuda memasuki sebuah gerbang yang terbuat dari besi putih ketimbang kayu. Dimana ini? Pikirnya ketika kereta kuda sudah berhenti dan Hugo membukakan pintu kereta kuda untuknya.

"Selamat datang kembali, nona." Kata Hugo sambil membantu Angeline untuk turun.

Angeline mendongakkan kepalanya kepada rumah besar yang menjulang tinggi di hadapannya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya kepada beberapa pelayan yang bergegas keluar dan membungkuk di sisi jalan setapak menuju teras, memberikan hormat sebagai sambutan selamat datang antara kepada Angeline atau Hugo, Angeline tidak begitu yakin saat itu. Kemudian ia segera sadar kalau sambutan itu ditujukan kepadanya ketika ia melihat seorang gadis berlari keluar dari pintu depan. "Angeline!" Pekiknya sambil berlari berhamburan kedalam pelukan Angeline. "Aku sangat sangat sangat merindukanmu!" Lanjutnya.

"...Ariana..?" Tanya Angeline samar-samar mulai mengenali gadis dalam pelukannya itu. Ariana sesenggukan sambil menganggukkan kepalanya. "Kamu pasti melewati masa yang sangat mengerikan!" Kata Ariana sambil menyeka air mata bahagianya.

"Apa ini... rumah kita?" Tanya Angeline. Ariana kembali mengangguk dengan senyuman. "Tapi ini bukan desa kita." Angeline mengernyitkan dahinya, bingung.

"Tuan Grand Duke memenuhi janjinya untuk merenovasi rumah kita di desa. Lalu peperangan terjadi dan ayah menjadi salah satu dewan yang mendukung Grand Duke Sunset untuk naik takhta. Grand duke mengangkat jabatan ayah dan sekarang kita punya tambang permata dan rumah ini di kota." Ariana menyisir rambut di sisi pipi Angeline. "Ayo. Aku akan menjelaskan semuanya selagi kita makan siang." Ariana menarik tangan Angeline pelan menuju pintu depan.

Angeline menganga mendengar penjelasan singkat dari Ariana itu. Apa Angeline siap dengan kelanjutan dari penjelasan Ariana?

***

Grand Duke Of SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang