09. Rasa yang Temaram

12.1K 527 173
                                    

Sudah jam 8 malam, Nevan belum pulang-pulang ke rumahnya sendiri setelah memberikan Jelita case yang mirip dengan miliknya di pukul setengah 6 tadi. Mereka kini sedang di ruang TV, dengan TV yang menyala, namun tidak ditatap. Sebab keduanya sedang serius bercakap.

"Udah jam 8 aja, aku kirain baru jam 7," ujar Jelita pada Nevan yang duduk di sebelahnya.

Nevan melihat jam tangannya. "Iya juga, ya? Gak berasa. Saya kirain juga baru jam 7," balas pria itu lalu tersenyum.

"Mas Nevan udah mau pulang?" tanya Jelita kemudian.

Nevan menatap Jelita sebentar, dengan senyuman tipis serta sorot yang sulit diterka. "Iya. Kalau kemaleman, gak enak dilihat tetangga," jawabnya.

Iras Jelita terlihat menyimpan kata. Tak ingin diungkap karena ragu masih berkuasa.

"Kenapa, Dek?"

Gadis itu menggeleng.

"Kok mukanya begitu? Kenapa?" tanya Nevan lagi dengan lembut.

Jelita tersenyum malu, namun sebenarnya hatinya agak murung. Ke belakang telinga ia menyelipkan rambut. Suatu kebiasaan yang Nevan mulai hapal dan tahu.

"Aku... kalau malem, kadang suka takut, Mas," aku Jelita jujur.

"Takut apa?" Suara itu makin halus, menyapu rungu membuat haus.

"Takut... eumm." Jelita terkekeh canggung.

Nevan menunggu dengan senyuman teduh.

"Takut aja, soalnya... kayak sepi gitu. Kadang... suka kebayang setan yang serem-serem, terus takut penjahat. Macem-macem gitu, Mas... hehe." Ia terkekeh masam, menundukkan pandangan selama menjelaskan. Tuturnya terdengar ragu dan lambat. Ia malu sebenarnya, namun entah, bawaanya mau jujur saja kalau pada Nevan.

Nevan sudah menduga sejak lama, sejak hari pertama Mama dari Jelita meninggal. Pasti gadis itu akan merasa waswas tinggal sendirian. Nevan semakin kasihan. Rasa ingin melindungi kian mencuat di dadanya.

Pria itu pun menggenggam tangan Jelita. Dan yang digenggam pun kaku seketika. Pelupuk matanya refleks membesar, jantung pun tak mau kalah, ia berdegup keras. Tak mampu mencegah, apalagi melawan.

"HP kamu jangan jauh-jauh, biar bisa telfon saya kalau ada apa-apa. Kalau kamu takut, kamu juga boleh telfon saya. Nanti saya temenin ngobrol," ucapnya lembut, menatap Jelita lekat begitu tulus.

Gadis itu terenyuh ingin menangis. Keluarga dan temannya saja tiada yang seniat ini untuk menemani. Ia menatap Nevan tanpa berkedip. Tangan itu sedang memagut tangannya dengan kasih, namun belum berani dirinya menggenggam balik.

Iya, tangan yang sudah bercincin kawin, malah menggeggam tangan wanita lain, bukan tangan milik sang istri.

"Iya, Mas Nevan. Makasih," balas Jelita pelan. Suaranya ayu sedikit bergetar, begitu halus tidak kasar. Nevan suka sekali perempuan yang bersuara lemah lembut.

"Sama-sama," balas Nevan seraya melepas genggaman.

Tangan Jelita menjadi dingin saat Nevan melepas, sebab sebelumnya begitu hangat menjalar hingga sukma. Gadis itu kian terbuai rupanya.

"Saya pulang, ya." Nevan berujar sambil mengusap kepala si gadis. Kemudian, ia berdiri membuat kepala Jelita terangkat mengikuti gerak si lelaki.

"Iya," sahut Jelita pelan. Ia pun ikut berdiri, mengekori Nevan sampai di pintu depan.

Nevan tersenyum lagi, sebelum benar-benar meninggalkan rumah tersebut. Ketika tiba di halaman, pria itu menatap ke kiri dan kanan. Memastikan tak ada yang melihat dirinya keluar dari rumah Jelita. Sudah di rasa aman, Nevan berjalan lumayan cepat, menyeberangi jalan kosong tiada orang, hingga sampailah dia di area rumahnya.

LOVING, CHEATING ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang