02. Permulaan

20.1K 733 118
                                    

Denting jam dinding terus berjalan. Membawa luka hati semakin basah bak disirami air pedas. Bagaimana bila semua ini berakhir nahas? Sebuah jiwa mungkin takkan kuat tuk memikulnya.

Sejak Senin sore kemarin sampai sekarang-Selasa malam, gadis cantik berhati rapuh itu tidak pulang-pulang ke rumahnya. Harus siaga 24 jam menjaga ibunya yang sedang sakit keras.

"Ma. Mama harus kuat, ya, buat Jeje..." kata seorang gadis cantik bernama Jelita, begitu lirih dan sarat akan permohonan.

Namun sia-sia saja. Wanita yang Jelita panggil 'Mama' enggan merespon. Lebih tepatnya, tak dapat lagi merespon. Jelita yang melihat Mamanya semakin hilang kesadaran dengan napas yang tersendat-sendat pun semakin sedih dan panik.

Lantas, berlarilah gadis itu. Keluar dari ICU untuk mencari perawat atau dokter atau tenaga medis siapapun untuk memeriksa keadaan Mamanya.

*BRUK

"Aduh."

"Maaf maaf, saya gak sengaja. Eh, Jelita?"

"Eh, Mas Nevan..."

"Kamu ngapain di sini? Besuk orang? Kok lari-larian?" tanya seorang bernama Nevan tersebut.

"Enggak, Mas. Mama aku sakit. Aku mau cari dokter," jawab gadis itu agak tergesa.

Nevan melebarkan matanya. "Bu Siska sakit?" tanyanya kaget.

"Iya, Mas," jawab Jelita dengan raut kesedihan yang tak dapat disembunyikan.

"Kamu sama siapa?"

"Sendiri."

"Ya ampun... ya udah, kamu tenang dulu, ya. Mama kamu di kamar mana? Nanti saya jagain," ujar Nevan ikut buru-buru.

"Di ICU, Mas. Iya," jawab Jelita cepat saja.

Nevan pun hanya mengangguk sebelum mereka berpisah arah lantaran tujuan yang berbeda.

Lantas, pria yang baru membesuk salah satu teman kerjanya itu mulai melangkahkan kaki dengan agak berlari supaya cepat sampai di kamar ICU. Setibanya di sana, ia masuk dan langsung menatap keadaan wanita berusia 47 tahun itu dengan iba.

Pikiran pria itu pun melayang-layang cemas. Ia melipat tangan kiri di depan dada, sedang tangan kanannya menyentuh bibir dan dagunya. Memikirkan kemungkinan terburuk yang mungkin saja terjadi pada Bu Siska.

Beberapa menit kemudian, terdengar pintu ruang ICU terbuka. Menampilkan seorang dokter dan dua orang suster, tidak ada Jelita.

"Maaf, Pak. Bisa keluar sebentar? Kami mau mengambil tindakan," ujar dokter lelaki itu dengan ramah.

"Oh, iya iya, dok. Saya keluar," kata Nevan dengan senyum singkat sebelum bergegas keluar dari sana. Kepalanya menengok pada Bu Siska hingga dirinya menghilang di balik pintu ICU.

Di depan ICU, sudah ada Jelita yang sedang duduk menangis tanpa suara. Menutup wajahnya dengan kedua tangan. Nevan semakin kasihan. Ia pun menghampiri dengan langkah pelan dan raut iba.

Suara kursi besi yang berdecit akibat ada yang menduduki pun membuat kepala Jelita terangkat. Ia menoleh ke sebelah kiri, menatap siapa yang baru saja duduk. "Gimana, Mas?" tanyanya dengan wajah merah basahnya.

"Lagi ditangani sama dokter dan perawat. Kamu sabar, ya," ujar Nevan lembut.

Mendengar itu, raut Jelita malah semakin muram. Seolah dirinya sudah tahu, kalau semuanya akan memburuk bukan membaik.

"Sabar, Dek. InsyaAllah Mama kamu gak kenapa-napa, ya," ucap Nevan lagi.

Jelita menyeka air mata, hanya untuk mengeringkan wajahnya sesaat. Sebab air mata baru sudah mengantre untuk membasahi pipi tirusnya.

"Aku takut. Aku gak punya siapa-siapa lagi soalnya..." lirih Jelita pasrah.

Nevan menatap sendu. Kasihan sekali membayangkan Jelita yang akan hidup sendirian jika Mamanya pergi. Pasalnya, Jelita adalah anak tunggal. Tidak punya saudara kandung yang setidaknya bisa menemani dirinya melewati kesedihan pasca kehilangan.

"Kita berdoa aja, Dek. Jangan mikirin macem-macem, ya," kata Nevan lagi. Gadis itu hanya mengangguk pelan.

. . .

Bermenit-menit pun dilewati dengan keheningan. Jelita menoleh ke sebelah, pada Nevan yang sedang duduk bersandar, meluruskan kakinya, dan melipat tangan di depan dadanya.

"Mas, udah malem. Mas Nevan kalau mau pulang, pulang aja," ujar gadis itu tidak enak, terdengar lelah dengan mata yang sembap.

Nevan langsung menegakkan posisi duduknya, lalu menatap Jelita. "Gak apa-apa. Saya mau nunggu dokternya keluar dulu," ucapnya tersenyum.

Lagipula, di rumah Nevan pun tidak ada siapa-siapa. Jadi, dirinya tidak perlu buru-buru pulang, pikirnya.

Sepuluh menit kemudian, dokter pun keluar dengan wajah sedih dan tatapan bersimpati. Nevan agaknya sudah mengerti arti dari tatapan itu, namun tidak mau dirinya berburuk sangka dulu.

"Maaf, Mbak, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan punya kehendak lain..."

Nevan memejamkan matanya, mendesis pelan, tak mampu mendengar kelanjutan kalimat dokter. Dan Jelita, gadis muda itu mulai terdengar terisak. Begitu tersedu bagai tiada harap.

Yang lebih tua mendekat, merangkul tubuh ramping itu dan mengusap-usap lengannya. "Sabar, Dek. Yang kuat, ya." Hanya itu saja yang bisa Nevan ucapkan.

Tapi Jelita sudah tidak tahu lagi. Rasanya dunianya sudah runtuh. Dadanya sesak, sakit sekali. Sedihnya sudah tak tahu diri. Mengiris-iris hatinya menjadi potongan-potongan kecil.

Kakinya melemas, pandangannya memburam, dadanya terasa dingin dan kosong. Sedetik kemudian, gadis itu pingsan dengan lunglai. Nevan yang memang sedang merangkulnya pun dengan sigap menahan tubuh kurus itu dari keambrukan yang akan menyakiti tubuh sang gadis sebab menubruk lantai.

"Dek? Bangun. Hei, Jelita? Bangun." Pria itu berusaha membangunkan, tetapi nihil hasil. Ia pun membopong tubuh Jelita menuju tempat duduk yang syukurnya tak jauh dari posisi.

Untung saja, masih ada dua perawat tadi. Salah satu dari mereka meminjamkan minyak angin untuk Jelita hirupi. Berharap gadis itu lekas sadar dari pingsannya akibat terpukul sedih.

Dan malam itu, lantaran Jelita yang tengah begitu rapuh jiwa raganya, dan hanya sendirian menghadapi semuanya, Nevan-lah yang mengurusi semua urusan di rumah sakit sampai kepada pengantaran jenazah oleh ambulans ke rumah Jelita.

Kemudian Jelita, gadis itu Nevan antarkan dengan mobilnya ke rumah, sebab gadis itu hanya menggunakan taksi online ketika pergi ke rumah sakit membawa ibunya 2 hari lalu.

Nevan tidak perlu banyak bolak-balik karena rumahnya dan rumah Jelita berada di komplek yang sama. Bahkan, berhadapan.

🔸To Be Continued🔹️

LOVING, CHEATING ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang