CHAPTER GAVAN: Philophobia (Membungkam Birahi) 0.1

11.2K 326 77
                                    


Sebelum membaca pastikan kalian tidak akan terpengaruh sepenuhnya oleh isi cerita.

Cerita ini fiktif.

Segala hal penggambaran cerita, termasuk penggambaran identitas dengan ras atau etnis tertentu hanya untuk menunjang isi cerita. Jika ada ras atau etnis didiskreditkan dalam cerita, maka itu hanya sudut pandang dari karakter rekaan saja-bukan dari penulis. Tak ada sama sekali niatan untuk merendahkan atau menghina ras atau etnis apa pun. I love Indonesia

Terima kasih.

------------------

AWAN pekat membentang, menyelubung langit yang mestinya masih membiru. Mendung membuat petang menyambang lebih awal. Sesekali gemuruh bertingkah dengan lagaknya, membuat sekumpulan burung menggericau tak tentu arah. Angin pun seolah tak mau kalah, menderu membawa debu yang menghalau jalanan.

Lingga menggerutu. Kalau saja matanya tak perih dan pernapasannya tak terganggu akibat ulah debu-debu jalanan itu, mungkin dia akan terus melanjutkan langkah kakinya menuju bangsal kontrakannya. Bukannya malah terpojok di sudut kedai di pinggir jalan, dengan secangkir kopi panas yang harganya membuat isi dompetnya menjerit-jerit. Sebenarnya harga kopinya tak mahal, hanya saja jika harus memilih, dia lebih memilih menggunakan uangnya untuk membeli mie instan sebagai menu makan malamnya nanti daripada untuk secangkir kopi yang bahkan tak mampu memupuskan dahaganya.

Lingga sudah mati-matian menghemat pengeluarannya, namun tetap saja harga segala macam kebutuhan tak sebanding dengan penghasilannya. Bahkan uang-yang tak sedikit-yang diberikan Lando sudah hampir tak tersisa lagi di tangannya.

Nyaris sebulan Lingga melewati kejadian yang teramat aneh dalam hidupnya. Dia masih sulit memercayai bahwa dia mengalami hal ganjil itu. Adegan-adegan liar bak binatang yang birahi masih terekam di benaknya. Ingin dia enyahkan namun justru semakin kuat dan menyelusup membentuk kepingan-kepingan memori yang mengakar dalam mindanya.

Manusia Nista. Itulah yang Lingga simpulkan tentang dirinya. Rasa malu dan marah bergejolak bersahut-sahutan di relung rasanya. Menindih gairah yang turut hadir bersamaan. Tak bisa dipungkiri, persenggamaan liar itu mengulas hasrat lain yang meringkih bagai nyali yang dipertantangkan.

Lingga mendesah. Dia tak tahu harus bersikap apa pada hatinya yang telah redam. Dia memejamkan mata sambil menggelengkan kepalanya pelan, seolah itu mampu membuang segala resah yang membebani benaknya belakangan ini.

Harusnya saat ini yang kupikirkan, bagaimana caranya mendapat uang lebih? Kebutuhan istri dan anak-anakku jauh lebih penting dari apa pun.

Lingga kembali membuka matanya. Menghela napas. Berusaha menerima realita yang melingkup di dirinya. Kamu bukan lelaki cengeng. Itulah kalimat yang selalu diingatnya dari mulut seseorang yang dulu pernah berarti baginya.

Lingga mendongak mengintip langit. Mendung kian menghebat namun gerimis tak jua mengikuti. Hembusan angin yang meracau, tak hanya mengundang bulu kuduk untuk meremang, namun juga membuat debu yang berbaur dengan daun-daun kering menghantarkan bau yang tak sedap dan menyesak.

Dengan menahan gigil, Lingga meraih cangkirnya. Aroma kopi robusta yang menguar sedikit mengaburkan resahnya. Dia tersenyum sambil menikmati aromanya yang pekat. Saat dia mulai menyesapi, rasa hangat pun langsung merasuk di tubuhnya.

Hujan mulai merinai. Gemericiknya terdengar berisik membasuh seng yang mengatapi kedai. Kembali Lingga mengamati alam di luar. Mencoba menebak seberapa deras dan lamanya hujan akan bertandang. Namun hujan masih terus merinai lambat, padahal langit kian pekat dengan gemuruhnya yang bising. Saat dia terus mengamati gerimis di luar, saat itulah dia menyadari ada sesosok pria yang tampak mencuri-curi mengamatinya. Pria itu duduk tak jauh di depannya. Penampilannya yang berkelas membuatnya tak pantas duduk di kedai pinggir jalan yang amat sangat sederhana ini.

L I N G G A - Kuli Jadi GigoloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang