CHAPTER MARKUS: Gairah Penjaja Birahi 0.2

6.9K 188 35
                                    

Mentari hari ini bersinar gagah. Meraja tanpa halau yang berarti. Bahkan awan pun tampak segan untuk mendampingi, kumpalannya menyiut hingga nyaris tak terlihat. Langit menjadi teramat cerah, birunya membentang tanpa sela. Secerah hati Lingga yang sedang tersenyum memandang ponsel di tangannya. Baru saja dia mengakhiri percakapan dengan istrinya di kampung. Istrinya mengabarkan kalau janin dalam kandungannya dalam keadaaan sehat.

Sejak Lingga mengirim uang dengan jumlah yang tak sedikit, istrinya memang menjadi lebih rutin memeriksakan kandungannya ke puskesmas. Sebagian dari uang yang dikirim itu memang digunakan untuk biaya pemeriksaan sekaligus biaya transportasi yang cukup mahal, karena jarak antara puskesmas dan kediaman mereka terbilang cukup jauh. Mengingat sarana transportasi di sana masih susah dan jarang tersedia, maka membayar tarif mahal untuk jasa mobil angkut penumpang menjadi hal lumrah bagi masyarakat di sana. Selain itu, uang tersebut juga digunakan untuk kebutuhan sehari-hari termasuk kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Istrinya tadi sempat bercerita kalau anak-anak mereka sangat bahagia karena memiliki perlengkapan sekolah yang baru dan lengkap. Mendengar segala kebahagiaan dari anak dan istrinya itu, sudah cukup untuk menepis rasa bersalah yang masih sering menghantuinya belakangan ini.

Markus benar, seharusnya dia hanya melihat dari sisi materi yang dihasilkan saat dia memilih terjerumus ke dunia yang penuh penyimpangan ini. Jangan berpusat pada penyimpangan itu sendiri. Itu malah akan membebani pikirannya saja. Dia harus memikirkan kebahagiaan keluarganya. Keluarganya butuh penghidupan yang layak, itu yang terpenting. Selama orang di sekitarnya—termasuk keluarganya—tak ada yang tahu apa yang dia kerjakan, maka semua akan baik-baik saja. Ya, semua pasti akan baik-baik saja!

Lingga meletakkan ponselnya ke dalam ransel yang dia gantung di salah satu tiang perancah. Kemudian dia kembali menikmati nasi bungkus yang masih belum sepenuhnya dia sentuh. Lingga dan tujuh orang buruh bangunan lainnya memang sedang beristirahat sambil menikmati menu makan siang mereka di dalam bangunan yang sedang mereka kerjakan. Sebenarnya tak bisa disebut menikmati karena makanan yang mereka terima tak nikmat sama sekali dan jauh dari kata layak. Mandor Johan memang terkenal pelit, dia hanya menyediakan nasi dengan lauk telur dadar dan sepotong tempe goreng, tanpa ada sayur atau pelengkap yang lain sama sekali. Malah terkadang tak ada air minum yang disediakan sehingga para buruh bangunan terpaksa membawa bekal sendiri. Untung hari ini, ada es teh manis berbungkus plastik yang disediakan bersama nasi bungkus tadi, kalau tidak, tenggorokan Lingga akan serat karena dia lupa membawa botol minumannya.

“Sudah lama, ya, Pak Lando nggak ngecek ke sini. Kita baru bisa makan enak kalau dia datang. Makanan yang dia bawa pasti banyak dan enak-enak.”

Lingga langsung melirik ke arah tukang yang berbicara tanpa melepas kunyahannya itu. Rekannya yang biasa dia panggil Karim itu duduk bersila tak jauh darinya. Tubuh bagian atasnya sudah polos karena baju yang ditanggalkannya digunakannya untuk mengikat kepalanya. Keringat sudah meleber di sekujur tubuhnya yang gempal. Tampak mengkilat dan memperjelas lekukan ototnya. Entah kenapa semenjak dia bersenggama dengan lelaki, ada perasaan aneh di dalam dirinya setiap kali melihat lelaki bertelanjang dan berpeluh di hadapannya, sekalipun itu hanya bertelanjang dada. Ditambah aroma keringat yang pekat semakin mengingatkannya pada persetubuhan panas yang beberapa kali dia lakukan. Persetubuhan yang selalu dibarengi dengan meluapnya keringat di tubuhnya beserta tubuh lawan mainnya.

Tak hanya itu, belakangan ini, Lingga beberapa kali memimpikan bersenggama dengan Lando: sosok yang mengajarkannya bercinta dengan sesama jenis. Bahkan dalam mimpi pun Lingga bisa merasakan betapa legitnya lubang anal Lando. Mimpi-mimpi itu pun selalu berakhir dengan celana dalam yang basah saat dia terbangun. Selama hidupnya hingga menginjak usia 30 tahun lebih, tak pernah dia bermimpi bercinta dengan laki-laki barang sedetik pun. Namun semenjak Lando masuk dalam hidupnya, hal itu seperti sebuah kefasihan.

L I N G G A - Kuli Jadi GigoloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang