“Dasar Cina homo ....”“Homo sipit ... minggir!”
“Jijik, ya, liat kamu ... sorry, kita nggak mau lagi temenan sama Homo.”
“Jangan pernah dekat-dekati aku lagi! Mau muntah rasanya tiap ingat kamu nembak aku ....”
“Sorry, ya, Van! Aku takut dimusuhi yang lain, kalo temenan sama kamu ....”
“Bangsat! Homo sialan! Sudah kubilang jangan muncul di hadapanku!”
BUUKKK!
DUGH!
“Aku sebenarnya jijik sama Gavan. Tapi mau gimana lagi, kan, kamu sendiri yang nyuruh aku moroti duit sahabatmu itu ....”
“Nggak bakal ada yang mau sama dia, kalo bukan karena uangnya ....”
Rekaman memori itu terputar kembali di kepalanya. Seolah tersadar, Gavan langsung mendorong tubuh Markus dan melerai ciuman mereka. Kenikmatan yang baru dirasakannya pun menguap bersama kesadarannya. Ada rasa sesal. Kehilangan. Namun tak sebanding dengan trauma silam.
“Kenapa, Koh? Ciumanku nggak enak, ya?” tanya Markus heran.
Bukannya menjawab, Gavan malah membenamkan wajahnya di kedua telapak tanggannya. Ada jeda sejenak sebelum dia mengangkat wajahnya.
Matanya panas. Pandangannya mengabur oleh riak di kelopaknya. Segera di hapusnya sebelum mengalir keluar.
“Koh, Ada apa?” ada khawatir dari suara Markus. Gavan tak tahu, apakah itu nyata atau kepura-puraan.
Di sisi yang lain, Lingga hanya termangu menatap Gavan. Namun tatapannya jelas menunjukkan keheranan yang sama.
“Maaf, Koh! Apa aku salah?” Markus mencoba menyentuh lengan Gavan, namun ditepisnya.
“Atau aku yang salah?”
Gavan langsung menoleh ke arah empu suara yang barusan bertanya. Kali pertama dia mendengar suara berat lelaki yang bernama Lingga itu. Sejak dari kedai hingga di Hotel ini dia belum mendengar Lingga berbicara padanya. Suaranya seksi, seseksi raganya.
“Maaf! Sebenarnya ini pengalaman pertamaku, jadi agak nggak tau bagaimana memuaskan,” Lingga menjelaskan dengan sedikit berhati-hati.
Pengalaman pertama? Jadi dia straight.
Fakta itu semakin menghantam Gavan. Dia kembali teringat akan mantan kekasih palsunya yang ternyata seorang gay gadungan.
“Sebaiknya aku pergi sekarang,” dengan sisa tenaga yang dimiliki Gavan beranjak dari tempat tidur.
Kedua lelaki itu terlihat semakin bingung dan tak tahu harus bereaksi bagaimana.
“Koh?” Markus mencoba menghampiri Gavan yang sedang mengenakan kemejanya kembali. “Maksudnya gimana ini, Koh? Kokoh nggak jadi ML sama kami?”
“Jangan khawatir! Aku tetap membayar kalian.” Gavan meraih dompetnya. Mengeluarkan semua lembaran uang seratus ribu di dalamnya dan meletakkan di atas nakas. “Kalian juga bisa menggunakan kamar ini sampai besok.”
“Iya, tapi kenapa?” sekali lagi Lingga bertanya. Dia kini berdiri di hadapan Gavan dengan tubuh telanjangnya. “Perjanjiannya, kan, nggak seperti itu. Kami dibayar setelah kami melayani kamu.”
Gavan lebih senang dengan cara Lingga memanggilnya. Panggilan kokoh membuatnya tak nyaman, apalagi jelas-jelas usianya lebih muda dari keduanya. Gavan memandangi ketelanjangan Lingga yang masih menggiurkan di matanya, namun tak lama, dia segera berpaling karena tak ingin niatnya pergi dari tempat ini terhalang oleh nafsunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
L I N G G A - Kuli Jadi Gigolo
Random⚠️ Warning: 21+ content. Apa jadinya jika seorang kuli bangunan yang straight terpaksa menjadi seorang gigolo bagi para pria penyuka sesama jenis demi memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga? Lantas pria-pria seperti apa saja yang aka...