Ainun sebenarnya ragu akan pemeriksaan yang akan dia lakukan pagi ini. Dia masih di dalam mobil, dalam perjalanan menuju rumah sakit di mana Labib berdinas. Labib bilang, di rumah sakit kota fasilitasnya cukup lengkap. Labib pun sudah membantu untuk membuat janji dengan dokter spesialis mata terbaik di sana. Harapan Ainun tak banyak, tapi sekecil apapun itu Ainun yakin dia bisa kembali melihat indahnya dunia.
"Kamu tegang, ya?" Suara lembut Uminya; Sarah menembus gendang telinga Ainun.
Ainun mengangguk. "Iya, Umi. Ai takut kecewa sama hasilnya. Dulu dokter bilang kebutaan Ai permanen, kalau sekarang pasti sama aja."
"Ainun, insyaaallah kalau memang Allah berkehendak, gak ada yang gak mungkin. Ingat? Kun fayakun."
Ainun tersenyum tipis. Dia mengangguk, mengiyakan pertanyaan uminya.
Dalam waktu setengah jam, dua wanita itu sampai di rumah sakit. Sarah memberikan kabar pada Labih sebelum memasuki rumah sakit dan menuju poli. Katanya Labib akan menyusul nanti karena masih ada beberapa pasien. Sarah pun membawa Ainun lebih dulu ke poli sembari menunggu Labib.
"Duduk, sini. Umi mau ambil antrian. Jangan kemana-mana, ya?"
Ainun mengangguk. Dia pun diam, duduk sembari menunggu uminya.
"Ainun, assalamualaikum."
"Wa-walaikumsalam," jawab Ainun.
"Ai, Alhamdulillah udah datang. Umi kamu di mana? Kenapa sendirian aja?"
Ternyata itu Labib. Pria jangkung itu langsung mendaratkan bokongnya di samping Ainun.
"Katanya ambil antrian, Kak," jawab Ainun sambil tersenyum.
"Oh... Gimana perasaan kamu? Excited? Gugup? Atau gimana?"
Ainun meringis. "Hehehe... Deg-degan, Kak. Ai takut gak sesuai harapan. Tapi bismillah, kata Umi Allah kalau berkehendak kun fayakun."
Labib terkekeh. "Iya. Benar. Gak papa, berserah sama Allah. Nanti aku anterin masuk. Dokternya cewek, kenal deket sama aku. Aman lah..."
"Oh ya? Ceweknya Kakak, ya?" tanya Ainun asal.
"Enak aja, enggak. Masa aku doyan ibu-ibu," sergah Labib dan langsung mengundang tawa pelan Ainun.
"Loh, Labib. Udah lama di sini?" ujar Sarah yang baru datang.
"Tante, assalamualaikum." Labib bangkit kemudian menangkupkan kedua tangannya di depan dada untuk memberi salam wanita itu.
"Waalaikumsalam. Nak Labib, makasih ya udah mau direpotin. Harusnya gak usah ditemenin, Nak Labib pasti banyak kerjaan."
"Ah, enggak Tante. Alhamdulillah NICU lagu sepi jadi bisa agak longgar. Tante udah dapat nomornya?"
"Oh, udah."
"Sini, Tante biar saya aja yang bantu urus ke dalam. Poli mata lagi sepi, kok. Biar saya bantu kasih ke polinya," kata Labib.
"Loh, apa gak papa?"
"Gak papa, Tante. Tante duduk aja, biar saya yang bantu."
"Gak usah, kamu temenin Ainun aja, ajakin ngobrol. Tante gak mau makin ngerepotin kamu. Udah, di sini aja, ya?"
Labib mau tak mau mengangguk. Dia pun kembali duduk sementara Sarah memasuki poli mata untuk memberikan formulir.
"Makasih ya, Kak. Kakak baik banget. Ai beruntung kenal Kakak."
Labib tersenyum sembari menatap Ainun yang tatapannya tak pasti.
Bukan kamu Ai, aku yang beruntung bisa kenal kamu. Maaf, aku benar-benar sulit menjaga pandangan di dekat kamu. Aku ingin memiliki kamu, tapi aku masih takut. Takut kalau perasaan kamu ke aku itu terpaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ainun [END]
Romance[18+] Religi-Romance "Bahkan, batu yang ditetesi air terus-menerus akan hancur. Tapi, kenapa egomu tidak?" Ainun, gadis tuna netra yang dijodohkan dengan sepupu jauhnya, Nizyam harus menerima kenyataan jika Nizyam tak mencintainya. Nizyam hanya meng...