"Umi!"
Ainun tersentak saat mendengar suara nyaring di belakangnya. Dibarengi langkah kaki kecil-kecil yang terburu, Ainun berbalik dan melihat putri kecilnya datang menghampiri.
"Astaghfirullah, Ai. Umi kaget, tau. Pelan-pelan. Umi udah bilang gak boleh teriak kalau di dalam rumah," ucap Ainun setengah kesal.
"Eh. Maaf, Umi," ucap gadis kecil itu sembari terkekeh seolah tak bersalah.
"Ini, ada undangan."
Ainun menerima undangan dari tangan gadis berusia lima tahun itu. Ainun membacanya dengan seksama dan mulai tersenyum saat membaca kata demi kata.
"Masyaallah, Kak Miftah buka cabang lagi? Wah, keren banget," gumam Ainun.
"Undangan apa Umi?"
"Tante Miftah buka kafe baru lagi, kita diundang ke acara pembukaannya."
Ucapan Ainun membuat mata gadis kecil itu berbinar. "Ai boleh ikut, gak?"
Ainun tersenyum kemudian mencubit gemas pipi gadis di hadapannya. "Kita datang. Ajak Baba juga, sana. Acaranya besok."
"Asyik! Ai ajak Baba!"
Gadis itu kemudian berlari meninggalkan Ainun dengan segala kegiatannya di dapur--menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya.
Hampir dua ratus detik berlalu. Kembali lagi, suara si kecil terdengar dan membuatnya mengalihkan perhatian.
"Umi..."
Kali ini wajah putrinya muram. Di gendongan pria yang disebut gadis kecil itu dengan Baba, tangannya dilipat di depan dada.
"Loh, kenapa cemberut?" tanya Ainun.
"Tanya aja dia," cicit gadis kecil yang disebut 'Ai' tadi sembari menunjuk dada bidang pria yang menggendongnya.
"Kenapa?" Kali ini Ainun bertanya pada pria dewasa yang baru menurunkan putri mereka di kursi.
"Besok aku masih harus kerja, Ai. Jadi kalian datang berdua aja, ya?"
"Baba, iiih! Baba harus ikut Umi sama Aisyah! Pokoknya Baba harus ikut!" Gadis yang duduk di kursi itu memekik kesal.
"Aisyah, gak boleh teriak gitu sama Baba," tegur Ainun dengan tegas. "Gak sopan ngomong sama orang tua begitu. Baba besok memang masih harus kerja. Aisyah sama Umi aja."
"Baba kerja terus..." Gadis bernama Aisyah itu mencibik dan di detik kelima mulai menangis. Pria dewasa di dapur itu menarik nafas panjang sebelum menghembuskan nafasnya secara perlahan. Dia duduk di samping putrinya menunggu hingga gadis itu sedikit lebih tenang dan tangisannya mulai reda. Percuma menjelaskan jika anak sedang menangis, kan?
Setelah dirasa lebih tenang. Pria itu memindahkan putri kecilnya ke pangkuannya dan menghujani wajahnya dengan ciuman ringan sebelum menjelaskan alasannya tak bisa datang ke acara bersama. Setelah diberi pengertian, akhirnya Aisyah menurut, mengangguk dan mengikhlaskan jika dia harus datang sendiri dengan uminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ainun [END]
Romantizm[18+] Religi-Romance "Bahkan, batu yang ditetesi air terus-menerus akan hancur. Tapi, kenapa egomu tidak?" Ainun, gadis tuna netra yang dijodohkan dengan sepupu jauhnya, Nizyam harus menerima kenyataan jika Nizyam tak mencintainya. Nizyam hanya meng...