LANTUNAN SIKSA

186 41 6
                                    

Langit sepenuhnya telah tertutup oleh lipatan kapuk awan, warna berbalut merah jingga menandakan sang fajar ingin menenggelamkan sekujur awak fisiknya.

Yang tadinya jingga bertransisi menjadi hitam gelap, hari mulai malam disusul oleh gonggongan setiap anjing yang tinggal di penjuru bukit berkabut ini. Semua terlihat hening, tetapi bukannya tak ada orang. Semuanya telah memasuki rumah masing-masing untuk beristirahat, begitu pula para petani yang pulang dalam keadaan letih.

Asap mulai mengepul keluar di setiap atap rumah, aroma kayu bakar mulai semerbak mengarungi setiap hilir udara yang kebetulan saja lewat. Jika dapat ditafsirkan, mungkin rerumputan kecil pun dapat mencium betapa khas aromanya.

Ketika mereka pulang, ada yang langsung lelap tertidur, ada yang menghabiskan waktu dengan keluarga, dan ada pula yang bercumbu hingga suaranya terdengar sampai ke rumah tetangga. Bukan bermaksud tak sopan, tetapi tiap rumah di desa ini memang saling berdempetan. Wajar saja para pasangan suami istri sering mengeluhkan masalah privasi kerap kali.

Sedangkan Heggie baru saja pulang dengan membawa hasil tangkapan ikan yang langsung dia berikan kepada neneknya.

“Kalau sudah memancing pasti tak ingat waktu.”

Sang nenek terus menggerutu sambil membasuh tubuh Heggie dengan handuk hangat, Heggie yang sedang menerima umpatan neneknya itu hanya bisa tertawa kecil dan menggaruk kepala.

“Nenek akan membuat makan malam, cepat ganti bajumu,” tegasnya sambil menjewer pipi Heggie saking gemas.

Entah mengapa malam ini hujan datang, rerintikan air yang jatuh ke genting membuat suara bising. Heggie yang telah berganti pakaian hanya duduk terdiam di depan mistar kekayuan jendela. Dipandangnya hujan gerimis itu sambil tercenung, entah apa yang dia pikirkan sedari tadi.

Mengetahui hal tersebut, neneknya lantas menggosok kepala Heggie dan berkata, “Jangan dibiasakan melamun. Apa yang kamu pikirkan?”

Heggie membalas itu dengan senyum kecil. “Sudah lama sekali Ibu tidak menjengukku, Nek.”

“Ibumu, ya. Nenek mengerti perasaanmu. Kau pasti sangat rindu dengannya. Sudah lama sekali ketika ia terakhir kali menjengukmu, mungkin sekitar enam bulan yang lalu.” Si nenek tahu betul bahwa ibu Heggie adalah salah satu orang yang paling berpengaruh di kerajaan. Pasti menjalani pekerjaan seperti itu tidaklah mudah, banyak kesibukan yang harus ditangani. Apalagi menyangkut soal aspirasi rakyat maupun kerajaan istana itu sendiri. Mungkin karena hal itu ia jarang melakukan kunjungan kesini.

“Tapi menurut Nenek, ibumu itu adalah sosok yang keren, lho.”

“Sosok yang keren?”

“Ibumu adalah tangan kiri seorang raja. Lebih tepatnya ibumu adalah penasihat raja.”

“Penasihat raja?”

“Iya, ibumu adalah orang yang membantu kinerja seorang raja ketika memimpin sebuah negeri tahu,” ucapnya sambil berbalik ke dapur mengambil semangkuk nasi, lalu diberikannya mangkuk itu ke Heggie dengan lauk ikan bakar yang barusan ditangkapnya.

Nasi pulen yang mengeluarkan asap berpulun, jelas saja bocah itu langsung lahap memakan semuanya dalam sekejap. Sedangkan si nenek sibuk menghidupkan lilin untuk cahaya penerangan.

“Ibumu sudah menitipkanmu dari kecil kepadaku. Walaupun bukan darah dagingku, kau sudah kuanggap sebagai anakku sendiri.”

“Nenek juga sudah kuanggap sebagai nenekku sendiri, soalnya masakan Nenek enak semua. Siapa juga yang bisa masak seenak ini selain Nenek coba.”

Malam yang dingin, ditemani jari-jemari hujan diluar jendela. Sampai pada akhirnya mereka berdua menghabiskan satu malam itu dengan obrolan makan malam, lalu tertidur pulas di bantalan kasur yang super hangat. Lilin pun dimatikan, bukit Gromhood terlihat gelap karena semua orang sudah tenggelam dalam bunga tidur. Hujan pun ikut berhenti.

FORGOTTEN VALLHALLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang