[disarankan untuk membaca 3 chapter terakhir secara sekaligus. Mohon untuk tidak menyebarkan spoiler di kolom komentar]
.
.
.“Ayo, Baginda. Bergegaslah, kita sudah tidak punya banyak waktu lagi.”
“Sebentar, Gluttoni. Aku harus mengenakan jubah terlebih dulu.”
Gluttoni yang tengah menggendong Heggie tampak meraih tasnya dengan buru-buru. Ini mengartikan bahwa mereka bertiga hendak bergegas meninggalkan rumah kediaman nenek itu. Pun, Vlurk juga terlihat ikut bersiap-siap dengan kembali mengenakan jubah serta tidak lupa pula untuk menutup tudungnya rapat-rapat.
“Aku tidak menyangka Greenhorn akan benar-benar mengalami kemarau,” gumam sang nenek sambil menatap pemandangan di luar rumah dari balik jendela.
Ketika semuanya telah dirasa siap, Vlurk dan Gluttoni kemudian lantas memantapkan kedua kaki untuk meninggalkan rumah tersebut. Akan tetapi, sang nenek pemilik rumah itu tiba-tiba menunda langkah mereka dan memberi ucapan selamat tinggal berupa petuah—dia berniat menyemangati sang Baginda yang ada di hadapannya.
"Baginda, aku paham di umurmu yang masih muda ini, pasti jelas sulit untuk mengemban tanggung jawab sebagai raja. Jadi, jangan terlalu memikirkan ucapan orang-orang di luar sana mengenai betapa buruk kinerjamu. Aku sadar bahwa kau sebenarnya pemimpin yang peduli dengan rakyatmu sendiri. Hal itu terbukti saat aku mengetahui bahwa kau ternyata sering diam-diam pergi ke pasar untuk memperhatikan kondisi mereka sambil menutupi identitas—semua orang tengah membenci apa yang sebenarnya diri mereka tidak mengerti sama sekali,” katanya. “Maka dari itu, teruslah jadi penyelamat mereka, Baginda. Jadilah malaikat serta penolong buat mereka. Walau kau harus melakukannya di balik layar. Aku percaya denganmu, dan aku juga yakin suatu saat pasti kau bisa menghadapi semuanya.”
Wanita tua itu kemudian menepuk pundak Vlurk. Entah mengapa hati lelaki tersebut jadi agak tenang kemudian. Dia sungguh tidak mampu berkata-kata lagi. Ternyata masih ada orang asing yang mendukungnya di sini dan mampu memahami bagaimana keadannya. Pemimpin Greenhorn itu lalu tersenyum tanda berterima kasih dengan begitu mendalam dan lantas melanjutkan langkah untuk beranjak pergi meninggalkan sang nenek beserta rumahnya.
Saat itu masih pagi sekali. Namun, cahaya Matahari tampak bersinar sekali hingga menyilaukan mata mereka bertiga. Mungkin ini sebab sebelumnya Matahari di Greenhorn agak tertutup para awan.
“Panas sekali,” kata salah satu warga di sana.
“Semua saljunya telah menghilang!” seru warga lain.
Banyak orang berbondong-bondong keluar dari rumah mereka dengan wajah pucat akibat serangan demam semalam. Tampak jelas betapa tercengangnya orang-orang itu ketika mendapati bahwa semua salju telah mencair dalam semalam saja hingga membanjiri jalanan. Atap-atap dan para pohon yang biasa diselimuti salju, kini jadi terlihat bersih.
Namun, sayangnya banjir ini terlihat mirip kubangan kotor nan menjijikkan sebab banyak mayat-mayat yang ditinggalkan begitu saja pada pinggiran jalan ikut terkena air bekas salju tersebut. Akibatnya, air itu jadi berbau busuk dan memiliki warna gelap karena tercampur oleh darah busuk.
Di tengah keramaian tersebut, Vlurk dan Gluttoni berniat meilipir dengan menelusuri gang-gang kecil yang sepi untuk menuju istana. Akan tetapi, sayangnya tak dapat ditemukan satu pun gang sepi sebab hampir semua orang di Greenhorn keluar rumah hanya demi menyaksikan kemarau hari itu. Pada akhirnya mereka memilih jalan yang ada saja sembari diselimuti ketakutan apabila identitas Vlurk sampai terbongkar—dia sampai merapatkan tudung berkali-kali.
“Gluttoni, kau yakin jika semua prajurit pasti berada di dalam istana?” tanya Vlurk di sela-sela langkah mereka.
“Yakin, Baginda.”
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGOTTEN VALLHALLA
Fantasy[18+] Dark Fantasy | Adventure | Hard Violence [On-Going] Perkara ihwal abdi apapun yang ditumpahi Thomas Vlurk selalu cacat tumpul di kedalaman pupil mata masyarakatnya, dari awal ia memang lanjut laun telah dicap sebagai otoriter bangsa yang tak e...