“Sebentar, sebentar. Sepertinya aku kelelahan.” Vlurk bersandar di pohon dengan posisi tubuh miring. Napasnya tersengal-sengal akibat kelelahan. Tak lama dari situ, mata laki-laki tersebut kemudian menangkap sepotong batang pohon tergeletak di tanah. Cepat-cepatlah dia duduk di atasnya agar penat itu cepat hilang.
Namun, bukannya hilang, napas Vlurk malah justru kembali kembang-kempis. Dia kini memegangi pinggang kanannya—tepat pada bagian bekas ginjal berada. Dapat terlihat jelas dari wajah laki-laki itu bahwa dia kini tengah merasa begitu kesakitan. Namun, cepat-cepat disembunyikannya hal tersebut dengan menundukkan kepala supaya Gluttoni tak mengetahuinya.
Gluttoni yang sukses termakan tipuan itu pun berjalan ke arah Vlurk dan ikut duduk. Keduanya saling diam. Hingga akhirnya, Gluttoni menghela napas sebab keringat pada pelipis mengucur cukup deras sampai-sampai perlu dilap menggunakan pakaian sendiri.
Sepanjang mereka menyusuri hutan ini, masih saja tetap nihil hasilnya. Tidak ada satu pun jejak Heggie yang tertinggal. Vlurk dan Gluttoni bahkan sudah hampir menyerah untuk mencarinya. Medan hutan yang begitu sulit juga lumayan menyusahkan mereka berdua. Apa lagi, hutan ini becek sekali sebab guyuran hujan. Sekadar berjalan di atasnya saja sudah cukup sulit.
Fajar bahkan juga menyerah dalam membantu menerangi mereka dalam pencarian itu. Sungguh, mereka telah sangat-sangat bingung perlu berbuat apa lagi untuk bisa menemukan Heggie. Mereka jadi disudutkan oleh pilihan bergegas kembali saja ke rumah—tenaga mereka telah berada di ambang batas.
“Mau sampai kapan kita akan terus mencari bocah itu, Baginda?”
“Entahlah. Tetapi, apabila ingin memaksa untuk mencari Heggie lagi ... aku tidak akan kuat.”
“Aku benar-benar pusing dan tidak tahu harus mencari Heggie ke mana lagi, Baginda,” keluh Gluttoni menuangkan isi hatinya. “Bukan bermaksud berpikir negatif, tetapi kemungkinan besar pasti dia sudah begitu jauh dari kita—mengingat bocah itu telah menghilang selama berhari-hari. Atau, barangkali malah bertemu dengan Tromor yang kita temui pada tempo hari.”
Vlurk tidak menjawab kata-kata Gluttoni. Akan tetapi, dapat tergambar dengan begitu jelas sekali bahwa dia khawatir mengenai apa yang dituturkan oleh laki-laki botak itu apabila betul-betul menjadi kenyataan. Namun, apa boleh buat? Hari telah menjelang gelap. Pun, tenaga mereka sudah berada di titik penghabisan. Tidak tersedia pilihan lain selain pulang.
“Gluttoni,” panggil Vlurk membuat laki-laki itu langsung spontan menoleh ke arahnya. “Apakah kau juga merasa bahwa ada sesuatu yang aneh di rumah kayu itu?”
“Apa maksudmu, Baginda? Aku sama sekali tidak mengerti.” Gluttoni malah bertanya balik.
“Aku sering mendengar ada suara berbisik yang muncul di rumah itu.”
Gluttoni mengerjapkan matanya beberapa kali. “Maaf, Baginda. Tetapi aku benar-benar sama sekali tidak pernah mendengar apa pun di sana. Dan kalau pun ada, apakah kau tahu dari mana asal suara tersebut?”
“Itu dia,” jawab Vlurk. “Pada saat tengah malam kemarin, aku mencoba mencari tahu sumber suaranya. Dan ternyata, ia berasal dari karung milik Mimir yang berisi anak rusa itu.”
“Lalu, masalahnya di mana?” tanya Gluttoni semakin bingung.
“Apa kau tak merasa curiga?” Vlurk bertanya balik. “Semua hewan yang ada di hutan ini telah terinfeksi. Pada saat kita mengobservasi pun ... mereka telah resmi membusuk tak bernyawa. Lantas, dari mana Mimir bisa mendapati anak rusa yang sama sekali tidak terkena infeksi?”
Gluttoni melongo mendengar ucapan Vlurk, dia berpikir apa yang sang Baginda tuturkan itu ada benarnya juga. Pun, sebelum ini telah dilihat oleh kedua matanya sendiri bahwa tak ada satu saja hewan layak makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGOTTEN VALLHALLA
Viễn tưởng[18+] Dark Fantasy | Adventure | Hard Violence [On-Going] Perkara ihwal abdi apapun yang ditumpahi Thomas Vlurk selalu cacat tumpul di kedalaman pupil mata masyarakatnya, dari awal ia memang lanjut laun telah dicap sebagai otoriter bangsa yang tak e...