"Ah, aku lupa menaruh tehnya di mana,” gumam seorang nenek tua sambil menggaruk kepala. Semua rak yang ada di dapur kemudian dibukanya satu persatu supaya dapat menemukan teh tubruk untuk nanti diseduh.
Air yang dia rebus telah mendidih, sementara sang teh masih belum kunjung ketemu. Wanita itu bahkan sampai dibuat garuk-garuk kepala sebab berusaha menelisik otak untuk mengingat-ingat tempatnya—pikun memang sangat menyeramkan.
Hingga akhirnya, dia teringat bahwa teh tersebut dari tadi setia meringkuk di genggaman tangannya sendiri.
“Semakin tua, semakin mudah lupa juga aku ini, ya.” Nenek itu kemudian menepuk jidatnya sendiri.
Sudah terhitung sekitar setengah bulan Greenhorn berada di ambang kehancuran semenjak penyebaran infeksi. Semua penduduk berdiam di rumah masing-masing, termasuk wanita tua yang kini mulai mengaduk teh itu. Sebelumnya, dia merupakan pedagang tikar di pasar. Namun, sekarang dia hanya mampu sekadar mempertahankan detak jantung sendiri di dalam rumah dengan mengandalkan makanan yang telah tak bersisa lagi.
Ketika teh tadi mulai diseduh, dia lantas menghirup aroma wanginya secara lekat-lekat. Bagi wanita tua itu, satu-satunya kenikmatan pada masa tua adalah menghirup aroma teh yang baru diseduh di pagi hari.
Namun, sayangnya kenikmatan itu jadi terganggu akibat kemunculan suara bising dari luar rumah. Perihal ini pun jadi menggugah rasa penasarannya untuk memastikan asal suara hingga lantas berjalan ke jendela untuk mengintip pula.
“Malangnya ... mereka pasti sangat kelaparan,” kata wanita tua itu ketika mendapati bahwa suara tersebut berasal dari dua orang yang tengah mengorek-ngorek sampah.
Nenek itu kemudian beralih dan sedikit membuka pintu hingga menciptakan sebuah celah kecil untuk mengintip lebih jelas. Dia merasa sungguh tidak asing dengan wajah salah satu orang yang tengah mencari makanan di tong berisi sampah tersebut.
Rasa-rasanya aku kenal dengan orang itu. Jika menilik dari bentuk fisik dan gestur, dia persis seperti ... Baginda Vlurk?
Nenek itu kali ini membuka pintu dan keluar dari rumah untuk memastikan kedua matanya telah melihat dengan benar. Dan ketika diperhatikan lebih saksama, memang tidak salah lagi. Ternyata betul bahwa itu adalah pemimpin dari Greenhorn saat ini.
“Baginda Vlurk!” panggil wanita tua itu kemudian. “Ayo, masuklah ke rumahku saja. Kalian pasti lapar, 'kan?” Dia mengayunkan kedua tangannya.
Tanpa perlu basa-basi, Vlurk dan Gluttoni yang mendapat ajakan itu lantas masuk ke rumah sang nenek. Terlihat bahwa rumahnya begitu rapi dengan bumbu penerangan berupa lampu minyak pada atap. Kemudian, Setelah membuka tudung, sang Baginda lalu mengembalikan atensi kepada sang nenek. Dia kini tengah sibuk menyeduh teh untuk mereka berdua.
“Ini tehnya, Baginda. Maaf, hanya beginilah yang ada,” kata sang nenek sambil menyodorkan dua gelas teh hangat dengan asap beraroma khas mengepul.
Vlurk dan Gluttoni pun dengan senang hati menerima gelas itu dan meminumnya seraya lantas duduk di kursi kayu yang tersedia. Terdengar jelas bahwa ia berdecit ketika diduduki, menandakan bahwa kayunya telah lapuk. Namun, meski demikian kedua orang itu tetap bersyukur sebab masih ada orang yang sudi menerima mereka dengan terbuka.
Mata sang nenek kemudian menelisik pada mereka berdua dengan begitu detail hingga kemudian menimbulkan sebuah keterkejutan saat mendapati Heggie dengan kondisi mengenaskan—jelas siapa pun akan terkejut ketika melihat ini.
“Astaga, apa yang terjadi dengan anak itu?” tanyanya seraya menunjuk sang bocah.
“Ceritanya panjang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGOTTEN VALLHALLA
Fantasía[18+] Dark Fantasy | Adventure | Hard Violence [On-Going] Perkara ihwal abdi apapun yang ditumpahi Thomas Vlurk selalu cacat tumpul di kedalaman pupil mata masyarakatnya, dari awal ia memang lanjut laun telah dicap sebagai otoriter bangsa yang tak e...