Di pagi hari yang bahkan masih terlalu dini untuk bangun, mata Ben sudah terbuka akibat pria itu tak bisa tidur nyenyak sepanjang malam. Pikirannya dipenuhi berbagai hal yang mungkin akan terjadi pada Teresa, dirinya, dan Edward yang telah menghamili Teresa.
Entah apa yang akan dilakukan Ayah Teresa jika pria tua itu tahu soal ini. Ya, yang paling sederhana, mungkin hanya memenjarakannya. Tetapi siapa yang akan tahu jalan pikiran Raja yang haus akan kehormatan itu. Ben menatap Teresa yang masih tertidur, masuk akal mengapa wanita itu tak kunjung terbangun.
Ini masih subuh dan Ben tak bisa kembali tidur. Pria itu akhirnya hanya berdiri sembari menopang dagunya, menatap keluar jendela Teresa, lebih tepatnya, menatap sisa-sisa festival terbesar yang diadakan kemarin. Pikirannya melayang jauh, mengembara entah kemana. Satu sisi, ia ingin menuruti Teresa untuk tidak buka mulut, namun di sisi lain, Ben harus membuktikan sumpah setianya kepada sang Raja. Ia masih ingin mengabdi di kerajaan besar ini, sebenarnya tujuan pengabdiannya hanyalah satu, bukan uang dan tempat tinggal, melainkan sebuah kesempatan untuk terus bersama Teresa dua puluh empat jam per tujuh hari.
Ben menghela napas, memang dia bisa saja menyimpan rahasia bahwa Teresa dihamili orang lain, tetapi sumpahnya seolah berkata kalau sumpah itu harus ditepati, sesulit apapun sumpahnya. Berbagai pikiran buruk berseliweran di benak Ben, salah satunya, bagaimana ceritanya Teresa mau-mau saja disentuh pria yang bahkan berada di strata terendah di dalam istana ini.
Bagi Ben, pria itu jelas sekali tidak pantas untuk Teresa. Apa yang dimiliki pria itu hingga berani mendekati Teresa, Edward hanyalah tukang kebun biasa. Yang dimiliki Edward hanyalah sebuah gubuk kayu yang kumuh. Bahkan gaji Edward tidak sampai satu per sepuluh gaji Ben. Lantas, darimana datangnya keberanian Edward untuk mendekati seorang Putri Raja?
Sebenarnya, alasan Ben tidak setuju bukan karena persaingan antar lelaki, melainkan perbedaan 'kelas dan kasta' yang ada. Itulah yang membuat Ben takkan pernah menyetujui hubungan mereka berdua. Selain perbedaan itu, Ben juga diam-diam menilai fisik Edward. Baginya, pria sialan itu benar-benar tidak cocok dengan Teresa.
Sudah botak, cacat lagi.
Sinar mentari pagi yang perlahan muncul dari ufuk timur. Ben tersadar dari lamunan panjangnya. Pria itu melirik Teresa yang masih tertidur, ia lalu menghela napas, kemudian memutuskan untuk melaporkan tentang Teresa kepada Ayah wanita itu.
Walaupun terasa berat, Ben memejamkan matanya. Pria itu kembali menghela napas, ia tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya.
Dengan berat hati, Ben melangkahkan kakinya menuju ruangan Ayah Teresa yang terkenal bringas. Pria muda berambut blonde itu terus memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya. Ia akhirnya sampai di ruangan sang Raja. Dengan perlahan, sang Ksatria mengetuk dan membuka pintunya.
"Permisi Tuan," ujar Ben sembari masuk dan menatap punggung sang Raja. Raja yang sudah tua itu berbalik, menatap Ben. Kentara sekali wajah lelah sang Raja yang baru saja pulang dari kunjungan ke negeri lain. Ben sebenarnya tak sanggup, tetapi ia harus mengatakannya. Ini semua berkaitan dengan Teresa.
"Ada apa, Ben?" Sang Raja manaikkan alis.
"T-Teresa ditiduri lelaki asing ..." bisik Ben terbata-bata sembari menunduk.
Sang Raja . "Apa kau serius?!" pekiknya memastikan.
Ben hanya sanggup mengangguk perlahan sembari menggumamkan permintaan maaf dan hal itu sukses memantik emosi sang Raja yang juga sedang dalam kondisi kelelahan.
"Aku sudah memintamu menjaganya baik-baik, sialan!"
Dengan penuh emosi, pria yang sudah berumur tersebut segera mencengkram kerah Ben, dan langsung membanting Ben ke lantai, kemudian memukuli sang Ksatria dengan kejamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGOTTEN VALLHALLA
Fantasy[18+] Dark Fantasy | Adventure | Hard Violence [On-Going] Perkara ihwal abdi apapun yang ditumpahi Thomas Vlurk selalu cacat tumpul di kedalaman pupil mata masyarakatnya, dari awal ia memang lanjut laun telah dicap sebagai otoriter bangsa yang tak e...