Riziq bergegas mengambil dua papan kayu usang yang sudah tak terpakai, kemudian menyerahkannya kepada Doni. Pikiran mereka penuh dengan arus kekhawatiran.
"Ayo Don, gali kuburan untuk Pak Paimin, aku takut pagi datang!"
Doni segera mengangguk, "I-Iya!" Ia kemudian mengambil papan yang diberikan Riziq, lalu mulai menggali tanah di bawah jembatan tempat tinggal mereka untuk menguburkan jasad Pak Paimin.
Saat mereka mulai menggali, di beberapa masjid, mulai berkumandang adzan subuh. Mendengar itu, Doni dan pria yang juga mengurusnya, mempercepat proses penggalian mereka. Menahan air mata, Doni terus menggali, ia tak lagi memikirkan Pak Paimin, melainkan bagaimana caranya agar galian mereka mencapai kedalaman yang cukup untuk menguburkan jenazah pria tua itu.
"Sepertinya sudah cukup dalam," kata Riziq sembari menghela napas. "Tolong bawa Pak Paimin kesini, Don."
Doni kembali mengangguk, ia segera membawa Pak Paimin menuju lubang yang mereka buat. Karena Doni tidak sanggup menggendong Pak Paimin, mau tak mau, dirinya hanya bisa menyeret tubuh Pak Paimin menuju liang lahat yang mereka siapkan.
Sembari menahan air mata yang hendak menetes, Doni memasukkan tubuh pria tua ke dalam liang lahat, dirinya kemudian menutup kembali galian mereka, dan menancapkan sebuah batu yang ia gunakan ke tempat di mana nisan seharusnya berada.
Keduanya kemudian terduduk, napas mereka terengah, kemudian mereka saling menatap satu sama lain. "Aku ... tidak pernah menyangka Pak Paimin akan pergi secepat ini," ujar Riziq sembari mengatur napasnya perlahan.
Doni hanya terdiam. Tatapannya kosong, dirinya merenung. Ia mengerutkan dahinya, memikirkan bagaimana kedepannya, juga memikirkan kalau satu-saya orang yang merawatnya, kini sudah pergi untuk selamanya. Air matanya mulai menetes, sekeras apapun ia mencoba untuk menyeka air matanya, air mata itu terus menetes tanpa henti.
Riziq menghela napas. "Aku ..." Ia memulai tanpa menoleh untuk sekadar menatap Doni ataupun makam Pak Paimin. "Aku tahu kalau makam yang kita buat untuk Pak Paimin ini tidak bisa dibilang layak." Pria itu kembali menghela napas. "Tapi mau bagaimana lagi? Kita tidak punya cukup uang untuk membayar biaya penggalian kuburan untuk Pak Paimin, beserta tanah, kain kafan, dan nisannya."
Lagi, Doni hanya mematung dengan tatapan kosong. Doni sudah berhenti menangis, namun ia terus saja menatap makam Pak Paimin yang dengan tulus merawatnya.
"Sepertinya jika pagi tiba, kita harus langsung pergi dari sini. Entah kemana, aku tidak tahu, tapi yang pasti, kita tak bisa berada di sini lagi. Bisa saja polisi akan menemukan mayat Pak Paimin lalu kita dituduh yang tidak-tidak."
***
Saat pagi tiba, keduanya bergegas untuk segera melarikan diri dari bawah jembatan tersebut. Tentu saja mereka tidak mau terlibat dengan kepolisian, itu akan sangat menyulitkan, apalagi dengan status sosial mereka yang sangat rendah. "Ayo Doni, cepat, kita harus pergi!"
Doni mengangguk, ia segera bersiap-siap. Mereka tak tahu harus pergi ke mana, yang mereka tahu, mereka berdua harus pergi. Tetapi di satu sisi, mereka berdua tidak bisa pergi terlalu jauh, mengingat pengepul itu adalah satu-satunya jalan mereka mendapatkan uang.
Keduanya berjalan menjauh dari jembatan tersebut. Riziq berjalan di depan, dan Doni mengikutinya dengan langkah yang lambat dan tertatih. Tentu saja Doni tak mampu berjalan secepat Riziq, ia saja sebenarnya baru bisa berjalan. Namun, sayang sekali, perlahan sifat Riziq berubah, pria itu mulai menunjukkan warna aslinya pada Doni.
"Ayo cepat, Don! Kamu lambat sekali!"
Riziq terus-terusan membentak Doni karena langkahnya yang sangat lambat, tentu saja dirinya kesal, ia tak ingin dirinya dan Doni terlibat dalam suatu masalah yang membuat mereka berdua harus berurusan dengan bui. Terpaksa, mau tak mau, Doni mempercepat langkahnya. Sulit, tentunya, tetapi daripada dirinya terus menerus menerima bentakan dari Riziq.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGOTTEN VALLHALLA
Fantasy[18+] Dark Fantasy | Adventure | Hard Violence [On-Going] Perkara ihwal abdi apapun yang ditumpahi Thomas Vlurk selalu cacat tumpul di kedalaman pupil mata masyarakatnya, dari awal ia memang lanjut laun telah dicap sebagai otoriter bangsa yang tak e...