PEMUKUL GELANDANGAN

51 15 5
                                    

Setidaknya hari ini, banjir yang terjadi di Jakarta sudah surut. Pak Paimin hanya tersenyum melihat betapa banyak barang rongsok yang ia lihat bertebaran di jalanan.

Dalam hati, pria tua itu berharap kalau penghasilannya hari ini akan sedikit lebih banyak dari biasanya. Ya, walaupun perutnya benar-benar menyakitinya, tapi apa daya? Pak Paimin adalah orang yang sangat miskin, satu-satunya cara untuk menangani penyakitnya ya, hanya dengan bekerja keras, sangat keras.

"Wahh, hari ini banyak ya, Don." Pak Paimin tersenyum sembari mendorong kursi roda yang dinaiki Doni.

Doni mengangguk. "Be- bena-r," Anak itu tertawa kecil, membuat hati Pak Paimin perlahan mulai terasa hangat. Rasanya menyenangkan bisa merawat seseorang selayaknya merawat anak sendiri.

Walaupun banjir yang sudah surut cukup menguntungkan mereka, di sisi lain, banyaknya petugas Satpol PP yang berkeliaran semakin banyak saja. Hal itu tentunya sangat menyulitkan Pak Paimin, mengingat penampilannya yang mirip gelandangan, para petugas Satpol PP itu sudah pasti akan menangkap mereka berdua, setidaknya, memukuli mereka hingga para petugas itu puas.

Bayangan yang mengerikan itu membuat Pak Paimin menggeleng, ia tak ingin mengalami hal itu. Baginya, hal itu memang bukan masalah, dan memang sudah risiko pekerjaannya, tetapi bagaimana dengan Doni? Anak angkatnya itu bahkan tak mampu berbicara.

Sebenarnya, dari lubuk hati terdalam Pak Paimin, ia tak ingin mengajak Doni ikut memulung bersamanya, tetapi siapa yang akan menjaga Doni di bawah kolong jembatan? Tentu saja tidak ada. Riziq juga terkadang memulung di tempat lain dan tak ada orang yang bisa Pak Paimin percayai hanya untuk menjaga anak angkatnya yang cacat.

Akhirnya, dengan berat hati, Pak Paimin mengajak Doni memulung kemanapun, termasuk ke tempat sampah, dan lain sebagainya. Omong-omong soal banjir dan petugas Satpol PP, hal itu membuat Pak Paimin hanya berani mencari rongsok di gang-gang kecil yang sumpek dan bau.

Tubuhnya yang semakin renta, semakin lama tak mampu menahannya. Beberapa kali pria tua itu memuntahkan darah akibat rasa sakit yang menghujam perutnya sedemikian kerasnya.

Tentu saja Pak Paimin mengabaikannya. Walaupun ia ingin beristirahat dengan tenang, pikirannya tentang Doni sukses menghalangi pria tua itu untuk berhenti memulung.

Botol-botol, kaleng, kardus, dan apapun yang sekiranya berharga, akan dimasukkan Pak Paimin ke dalam karung yang ia bawa. Gang-gang yang mereka lalui layaknya surga bagi mereka, betapa banyaknya barang rongsok yang akan mereka dapat. Otomatis, hal itu turut menambah penghasilan mereka.

Pak Paimin kemudian memutuskan untuk menjual semua barang rongsok yang ditemukannya. Namun, ketika mereka berdua sedang berjalan menuju ke tempat pengepul, kedua pria yang berbeda jauh usianya itu mendengar sebuah teriakan yang sangat nyaring, syarat akan kesakitan yang tak terkirakan.

"Ampun Pak! Saya bukan pengemis!"

Dari suaranya, sepertinya adalah seorang lelaki. Pria itu terus menerus berteriak, memohon ampun diselingi ringisan kesakitan.

Sayang sekali, petugas itu tak mempedulikan teriakan dan permohonan pria tersebut. Dengan acuh tak acuh petugas yang kejam itu terus memukuli pencari barang rongsokan tersebut menggunakan tongkatnya.

Setelah dilihat lebih teliti lagi, barulah Pak Paimin menyadari kalau pencari barang rongsok yang dipukuli itu adalah Riziq.

Pak Paimin tentu saja tidak tega melihat kejadian itu. Hati nuraninya tersentuh melihat kejadian naas tersebut. Apalagi, orang yang dipukuli petugas itu adalah orang yang juga sangat dekat dengannya, tentunya selain Doni.

Sembari mengumpulkan keberaniannya, Pak Paimin menghela napas. Ia tahu dirinya akan mendapat masalah setelah ini, tetapi Riziq adalah sahabatnya. Tentu saja dengan gagah berani, Pak Paimin mengambil risiko itu.

FORGOTTEN VALLHALLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang