Feel so bad

120 28 2
                                    

I feel so bad for the time.

~~~

Rhea berada tepat di hadapan ayahnya, Wira.

Sepulang dari menjenguk Gibran, dia meminta Flora untuk mengantarnya pulang ke rumah terlebih dahulu, meski beberapa barangnya masih tertinggal di rumah sahabatnya itu.

"Sebagai hadiah karena kamu menang, papa kasih kamu tiga permintaan. Langsung sebutkan saja, apa yang kamu mau, beserta alasannya," ucap Wira to the point.

Tunggu. Apa pria itu tidak berniat untuk meminta maaf kepadanya terlebih dahulu atas semua perbuatan yang kemarin? Sungguh ayah yang buruk.

Namun, ini tetaplah kesempatan yang bagus.

Tidak mau membuang waktu, Rhea pun langsung pada intinya saja.

"Papa yakin ucapan itu bisa dipertanggungjawabkan?"

Wira mengangguk pasti.

Rhea tersenyum miring. Bagus sekali. Ayahnya terlihat tidak bermain-main dengan yang dia ucapkan.

"Satu,"

"Jadwal yang papa kasih buat Rhea, dirombak," ucap Rhea lalu menunjukkan selembar kertas berisi jadwalnya sehari-hari yang dibuat ayahnya.

Jadwal Harian

Senin - Jum'at
06.54 - 15.30 (Sekolah)
15.30 - 16.30 (Kegiatan ORKESKI)
16-30 - 18.30 (Les Private)
18.30 - 20.00 (Karate)
20.00 - 22.00 (Belajar ulang materi)
22.00 - 23.00 (Tes lisan)

"Rhea bakal tetep ikut ORKESKI, tapi bukan jadi anggota inti. Terus les private, ditiadakan. Belajar ulang materi cuma sampai jam 9 malam. Terakhir, tes lisan juga ditiadakan."

"Alasannya, selama ini Rhea kurang istirahat. Kalau jam tidur Rhea lebih ideal, pasti hasilnya lebih maksimal dari ini," ucap Rhea panjang lebar.

Wira rupanya tak perlu menunggu banyak waktu. Lelaki itu langsung saja mengangguk. "Permintaan pertama, disetujui," ucapnya tegas. Sungguh, diluar ekspektasi.

"Yang kedua, Rhea nggak mau pindah ke kelas unggulan."

Sejujurnya Rhea sudah nyaman bersama anggota kelas MIPA 2. Namun, kalau menggunakan alasan itu, dia ragu sang ayah akan menyetujuinya.

"Alasannya, karena Rhea yakin kalau tanpa menjadi bagian dari kelas unggulan, Rhea bisa sama baiknya atau bahkan lebih baik dari mereka yang ada disana," jelasnya.

Ayahnya nampak berpikir sejenak, sampai dia kembali mengangguk. "Permintaan kedua, disetujui."

Sekarang, saatnya permintaan terakhir. Ini adalah permintaan yang menurutnya paling penting, karena bukan hanya soal dirinya, tapi orang lain juga.

"Yang terakhir, Rhea mau papa minta maaf secara langsung di hadapan Gibran."

Rhea berharap sekali ayahnya akan mengiyakan permintaan itu. Toh, bukan sulit. Daripada meminta soal hal yang berbau materi seperti anak lain, ini jauh lebih penting.

"Alasannya apa? Kamu belum menjelaskan itu," ucap Wira.

"Alasannya, karena dia nggak salah. Malem itu papa cuma salah paham. Gibran baru aja dateng buat ngobatin kaki Rhea yang luka karena jatuh. Dia bukan cowok brengsek kayak papa," jawab Rhea sambil menambahkan sedikit cacian untuk sang ayah.

Wira lalu menarik napas dalam-dalam. "Oke, kalau memang cuma itu yang kamu mau. Bahkan papa akan bayar semua biaya perawatannya sebagai ganti rugi."

RHEA! [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang