🧡Namanya Gavin

61 6 1
                                    


         USAI melewati malam saat aku dengan begitu beraninya melukai dan menembak Mas Mihun, akhirnya aku menyendiri di pojok kamar. Sementara itu, Mas Mihun yang tergeletak di gubuk telah dilarikan ke rumah sakit beberapa menit setelah kejadian.

Hal itu kuketahui dari suara histeris yang Mba Luna gaungkan. Agaknya wanita yang amat memuja Mas Mihun itu benar-benar syok. Bahkan dia menangis sekencang-kencangnya tanpa peduli komentar orang lain.
Aku akui Mba Lisa memang totalitas saat menunjukkan rasa sedihnya. Tapi bagiku, kesedihan yang aku tampung lebih menyedihkan berkali-kali lipat darinya.

Bagaimana tidak?
Aku inilah penyebab Mas Mihun celaka. Akulah yang melukainya tanpa perasaan saat tau hatiku mulai menyimpan rasa padanya. Meskipun Luna berkata yang aku lakukan ini benar, tapi aku tetap sedih karena tau akulah penyebab celakanya Mas Mihun.

Kuseka airmata yang lancang meluncur di pipiku. Jika dihitung, mungkin sudah tiga hari aku bertahan dengan banjir air mata ini. Tidak ada senyuman manis lagi setelah kejadian penembakan itu.
Setiap kali mengingatnya, ketakutan menyerangku. Rasanya hantu kawin kalah seram dari peristiwa penembakan yang aku lakukan kepada Mas Mihun. Aku jadi penasaran bagaimanakah keadaannya sekarang.

TOK! TOK! TOK!
Bunyi ketukan pintu menyadarkanku dari lamunan. Aku jadi takut. Karena posisiku berada di kamar Mas Mihun sekarang, mana mungkin orang lain tau kalau aku ada di sini? Apalagi Nenek Sarina dan Mba Luna kan mengira aku ini istrinya Mas Mail.
Atau, mungkin yang mengetuk pintu adalah Mas Gewa atau Mas Mail? Ah! Entahlah. Lebih baik aku bangun dan membuka pintunya sekarang daripada aku semakin penasaran.
Kubuka pintu kamar Mas Mihun dengan hati-hati. Tidak aku sangka seseorang yang mengetuk pintu adalah Ibunya Liha. Dia langsung masuk setelah kubukakan pintu kamarnya. Kelihatannya ada sesuatu yang penting ingin dia sampaikan kepadaku.

"Ada perlu apa ya Bu?" Tanyaku, penasaran.

"Stt... diam! Singkat saja, saya tau kamu yang mencoba melukai Gavin. Jadi, jika kamu tidak ingin ini menyebar kamu harus mengabulkan permintaan saya." Tuturnya, agak berbisik.

Apa? Jadi dia sudah tau. Kalau begini jadinya aku tidak hanya akan dibenci oleh Mas Mihun saja. Namun seluruh keluarganya juga. Apalagi begitu Nenek Sarina tau kebohongan yang aku buat tentang pernikahan yang ia mau. Semuanya pasti akan terbongkar satu persatu.

Tidak. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk diusir dari sini. Ada beberapa langkah lagi yang belum aku penuhi di kontrak itu. Sedangkan aku tau jika tidak kupenuhi semuanya, aku tidak akan pernah bertemu dengan Bu Rita lagi.

"Apa yang Ibu mau, Jamie akan penuhi."

"Bagus. Saya mau kamu mengambil kartu memori di handphone Gavin. Mudah kan?"

Aku terdiam. Berusaha mencerna permintaan yang Ibunya Liha ucapkan. "Maaf Bu, tapi Jamie gak tau memori itu ada di mana." Kataku, sambil menggaruk kepala.
"Sudah saya duga kamu ini memang bodoh." Cibirnya, sebelum mengambil HP-nya di dalam saku baju. "Jadi kartu memori yang kamu cari itu berada di sini!" Katanya, sambil memperlihatkan sisi samping HP-nya yang telah ia buka.

Aku yang baru tau letak kedua lubang itu pun ber-oh singkat. Ternyata di sanalah tersimpan kartu memori yang akan aku ambilkan untuknya nanti pada Hp Mas Mihun. Dan itu akan aku laksanakan malam ini saat mengunjungi Mas Mihun di rumah sakit.

🧡🧡🧡

Malamnya, aku pun mempersiapkan diri untuk mengunjungi Mas Mihun. Rencananya keluarga besar Mas Mihun akan menengoknya malam ini. Termasuk Ibunya Mba Lisa. Tentunya hal ini membuat aku harus berpura-pura lagi menjadi istri Mas Mail.

Seakan tau dengan apa yang aku pikirkan, Mas Mail segera menggenggam tanggaku sesampainya di rumah sakit. Bahkan hingga kami semua memasuki ruang rawat Mas Mihun pun, Mas Mail tidak melepaskan tanganku. Jujur saja itu membuatku takut dan risi.

ISTRI JALUR AFIRMASI [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang