MALAM ini begitu dingin. Apalagi dinding bangunan kuno tempat tinggal Luna ini juga sangat dingin jika disentuh. Belum lagi kesan kusam yang terlihat dari bangunan yang Luna pilih untuk menjadi rumahnya ini. Begitu kusam dan terkesan mencekam bagiku. Apa Luna tidak memikirkan untuk mengganti cat bangunan ini menjadi lebih cerah. Ah! Kelihatannya sih tidak.
"Jamie! Kesini!" Panggilnya, saat aku berada di balkon.
Aku pun segera menghampirinya yang berada beberapa meter dari tempatku. Luna duduk di tempat duduk balkon dengan dua cangkir kopi yang tersaji di mejanya. Aku pun duduk di salah satu kursi kosong tepat di depannya.
"Minumlah kopi itu! Lalu dengarkan ceritaku." Pintanya, yang segara aku lakukan.
Kuseruput kopi yang ia sajikan, sebelum akhirnya aku harus memasang telinga untuk mendengarkan ceritanya. Luna bilang aku tidak boleh mengantuk sedikit pun. Karena ceritanya ini akan memakan banyak waktu. Aku pun mengangguk mantap. Penasaran juga cerita macam apa yang hendak ia katakan padaku.
Dia pun mulai bercerita. Semua dimulai dari kehidupan seorang wanita penghibur di sebuah tempat hiburan malam. Malam itu begitu sial untuknya. Karena dia harus mengandung anak dari salah satu pelanggannya. Dia begitu kesal, namun tidak mau menghabisi janin dalam perutnya.
Dia membiarkannya hingga waktunya dilahirkan. Setelah bayi itu tumbuh menjadi anak-anak lima tahunan, berbagai penyiksaan mulai ia lampiaskan. Mulai dari pukulan, ditelantarkan di jalanan, sampai sayatan kecil, semua diterima oleh sang anak. Tangisan sang anak tidak pernah surut.
Hingga sang anak berumur 17 tahun, saat itulah sang ibu nekat menerjunkan anaknya untuk menjadi penghibur sama sepertinya.
"Hiks... kasihan anak itu Luna." Rengekku, sambil mengguncangkan tubuh Luna.
"Jamie! Berhenti mengguncangku! Mau kuteruskan tidak?!" Bentak Luna.
Aku pun mengangguk. Lalu berhenti mengguncang tubuh Luna. Memang dasar akunya yang lebay. Tapi benar kok, cerita Luna ini begitu menyayat hati. Mari simak kelanjutannya.
Saat hari pertama gadis itu menjadi penghibur, ia langsung mendapat pelanggan. Begitu juga dengan ibunya. Mereka pun menjalankan tugasnya, meskipun sang anak begitu terpaksa.
Saat memasuki ruangan penuh dosa, sang anak menemukan seorang pria yang memanglah pelanggan yang memesannya. Dia masih muda, mungkin hanya terpaut dua tahun dengannya. Dan kelihatannya dia datang ke tempat hiburan tidak sepenuhnya untuk memuaskan hasrat. Tetapi karena dia cukup kesepian dan bersedih hati.
"Sebentar. Nama anak itu siapa sih? Terus Ibunya? Sama cowok itu?" Tanyaku, bertubi-tubi.
"Penasaran sekali? Maka, dengarkan sampai habis! Jangan banyak bertanya!" Balas Luna, geram.
Aku pun menurutinya. Dia bercerita panjang lebar kali tinggi tanpa berhenti. Hingga tengah malam tiba, dia masih setia bercerita. Sementara mataku sudah naik turun hendak terpejam. Untuk menahannya, aku pun meminum kopi yang tinggal setetes. Tidak sampai di situ, aku juga menahan mataku agar tetap terjaga.
Tapi semua usahaku gagal total. Yang tersisa hanya suara ngorokku yang mungkin terdengar jelas oleh Luna. Habis aku ngantuk sekali sih. Mau di tahan pun, tidak bisa. Jadi, lebih baik aku tidur. Lagi pula besok kan harus melaksanakan misi utama. Jangan sampai aku ngantuk saat itu.
️️
Aku bangun dalam keadaan masih mengantuk. Tuh kan benar! Harusnya tadi malam aku tidur lebih cepat saja. Mendengarkan semua cerita dari Luna membuatku ngantuk berat paginya. Semoga saja saat menjalankan misi aku sudah tidak ngantuk lagi.
"Jamie! Ayo sarapan!" Ajak Luna, saat aku baru sampai ke meja makan.
Aku pun menjawabnya dengan anggukkan sambil mengelap belek di kedua mataku. Jangan ditiru ya! Ini karena aku tidak tau di mana kamar mandi. Jadi, tidak bisa mencuci muka. Hehe.
Aku pun duduk di kursi yang berada tepat di depan Luna. Dia tampak cantik hari ini dengan gaun panjang berwarna hitam tanpa lengan. Berbeda jauh dengan aku yang masih bau iler dan rambut keriting acak-acakan.
"Sebelum kita berangkat, baca dulu ini!" Perintahnya, sambil menyodorkan gulungan kertas kepadaku. Dia lalu melanjutkan, "di dalamnya ada strategi dan apa saja yang akan kita kerjakan. Pahami dan lakukan." Tambahnya, sambil mengiris daging di piringnya.
Aku pun menyimpan gulungan kertas itu. Lalu mulai memakan hidangan yang tersedia di meja makan. Barulah setelah urusan perut ini selesai, aku akan mengecek gulungan kertasnya.
Acara sarapan pagi bersama Luna selesai. Aku pun bergegas ke kamar untuk mengganti pakaian.
Saat aku memasuki kamar, di atas kasur telah tersedia beberapa potong baju. Ada baju warna putih dengan tali spageti, jaket bulu bercorak macan, dan celana panjang yang agak sobek di lutut. Kalau kata Mba Echa sih, celana sobek ini sangat digemari oleh anak muda jaman sekarang.
Aku pun mengenakannya satu persatu. Memang sesudah sarapan bersama tadi, Luna bilang ia sudah menyiapkan pakaian di kamarku. Jadi, aku tidak ragu lagi untuk mengenakannya.
Berkali-kali aku melihat ke arah cermin besar di kamarku. Karenanya, aku jadi lupa untuk mengecek gulungan kertas yang Luna berikan. Saat aku ingat dengan gulungan itu, Luna malah menarik tanganku paksa. Terpaksalah, aku mengikuti maunya.
Kami pun pergi dengan mengendarai mobil milik Luna. Luna menyetir, sementara aku duduk di sampingnya. Perjalanan kami cukup jauh. Karena letak rumah Luna berada di dekat hutan. Jadi, diperlukan waktu lama untuk sampai di mansion.
Perjalanan yang lama membuatku mengantuk. Aku pun tertidur dengan pulas hingga kami sampai di depan gerbang mansion.
"Jamie! Bangun kamu! Kita sudah sampai." Seru Luna, sambil mengguncangkan tubuhku pelan.
Aku pun terbangun dan langsung mengusap ilerku. Barulah setelahnya aku turun dari mobil untuk membuntuti Luna.
Keadaan mansion masih sama. Namun, aku tidak tau apakah Nenek Sarina masih bersikap sama seperti sebelum rahasiaku terbongkar. Entahlah.
Kami berdua pun membuka gerbang mansion. Satpam yang melihatnya pun mencoba menghalangi. Namun, Luna dapat mengatasinya hanya dalam satu tembakan. Peluru pun langsung menuju ke jantung si satpam. Dan akhirnya, satpam itu pun sudah tidak bernyawa lagi.
Aku yang menyaksikannya pun jadi ngeri sendiri. Beginikah membunuh orang? Menakutkan. Aku bahkan tidak dapat membayangkan saat aku yang membunuh nantinya. Pasti akan sangat berdosa.
"Kamu lihat caranya? Ini! Giliran kamu!" Ucap Luna, sambil melempar sebuah pistol ke arahku.
Aku pun refleks menangkap pistol hitam itu. Keberadaan pistol di tanggaku membuatku gemetaran. Tapi Luna bilang kalau ini giliranku. Jadi, lakukan saja lah. Ingat Jamie! Kamu melakukan ini hanya untuk Bu Rita kembali.
Kami berdua pun kembali berjalan ke dalam mansion. Beberapa orang pelayan memandang kami penuh tanya. Hanya Tia yang datang menghampiri kami. Ya, tentu saja karena Tia itu kaki tangan Luna.
"Lewat sini! Mereka sedang berkumpul di kamar Nyonya Sarina." Bisik Tia, yang masih dapat aku dengar.
Kami bertiga pun mengikuti Tia menuju mansion bagian tengah, tempat di mana Nenek Sarina berada. Jika aku ingat-ingat, di mansion bagian tengah inilah untuk pertama kalinya aku datang. Saat itu aku ingin mengembalikan dompet milik Mas Mihun. Bahkan aku mengompol juga. Betapa memalukannya peristiwa itu.
Sesampainya di ambang pintu kamar Nenek Sarina, Luna pun kembali mengingatkan tentang strategi yang ia buat. Tentu saja aku jadi bingung karena aku belum mengecek gulungan kertas itu sama sekali.
"Jamie kamu tau kan harus apa?"
"Maaf Luna, Jamie gak baca kertas itu. Jamie..." Belum sempat aku melanjutkannya, kalimatku segera dipotong olehnya.
"Ya sudah. Kamu ikuti saya saja! Tia! Jalan di belakang saya!" Potongnya, meminta Tia berjalan di belakangnya.
"Baik Luna." Sahut Tia.
Luna pun membuka knopi pintu dengan hati-hati, sambil bersiap kalau-kalau ada serangan tidak terduga dari dalam. Tidak lupa ia juga mengarahkan aku untuk mempersiapkan pistolnya. Mau tak mau, dengan tangan gemetaran aku pun memegang pistol darinya kuat-kuat.
"Saat aku buka pintu ini, tembak langsung!" Perintah Luna, yang semakin membuatku takut.
"M-maaf, tapi Jamie kebelet pipis. Boleh ke toilet dulu gak?" Dasar aku! Di situasi yang genting begini masih sempat-sempatnya kebelet pipis.
Tapi syukurlah Luna mengizinkannya. Aku pun berlari tunggang-langgang menuju kamar mandi dapur. Lagian sih, sebelum sarapan tadi aku tidak pipis dulu. Habis aku tidak tau di mana kamar mandinya. Bahkan aku tidak mandi loh. Hanya ganti baju saja hehe... jangan ditiru.
Usai pipis, aku pun berjalan mengendap-endap menuju kamar Nenek. Tepat di samping pekarangan mansion, aku melihat Liha dan Ibunya tengah membicarakan sesuatu. Penasaran, aku pun mendengarnya.
"Ibu, apa ibu tau kalau Kakak Luna akan membunuh kita?" Tanya Liha, kepada ibunya.
"Pelankan suaramu! Ibu sudah tau. Itulah kenapa ibu memindahkan semua aset-aset Nenekmu menjadi milik ibu. Untunglah Gadis keriting itu mau mengambil kartu memori suaminya untuk ibu. Karena di sanalah bukti cctv ibu sedang mengambil aset." Jelas Ibunya Liha, menjelaskan pertanyaanku tentang misinya saat itu.
Ternyata aku malah jadi kaki tangannya untuk mengambil alih kekayaan Nenek Sarina. Jadi, Mas Mihun sudah tau kalau bibinya ini jahat dengan bukti yang ada di kartu memorinya. Ah! Bodohnya aku malah menyerahkannya ke ibunya Liha.
Kalau begitu, mungkin sekaranglah waktunya aku menebus semua kesalahanku. Kali ini, kalian tidak akan kuampuni. Aku pun menghampiri mereka, bersiap untuk mengatakan sesuatu.
"Jadi ini kalian yang sebenarnya?! Kalian hanya mau memperalatku?" Tanyaku, dengan lantang.
"Wah, panjang umur sekali. Baru saja kita membicarakannya, dia sudah ada di sini. Tapi, bukanya dia sudah diusir?" Cibir Ibunya Liha, mengungkit persoalan kemarin.
"Iya, agaknya dia sudah tidak tau malu sampai datang ke sini lagi." Tambah Liha, mengejekku.
Keduanya malah memojokkanku sampai berniat melukaiku. Seperti di drama-drama, jika ada saksi pasti dia akan diincar. Begitu juga dengan aku yang hendak ia lenyapkan. Tapi tidak apa. Aku akan melawannya.
Tapi melihat jumlah mereka yang berdua dan aku hanya sendirian, aku jadi tidak yakin dengan perlawanan. Kalaupun aku melawan, aku saja tidak paham caranya bela diri. Bisa-bisa aku habis oleh mereka berdua.
Untunglah seseorang datang untuk menolongku. Ya, dia datang di saat yang tepat. Meskipun dia hanya orang asing yang beberapa kali aku temui, namun dia memperlakukanku layaknya teman lama. Dialah, Mas Gewa.
"Jamjam! Mari lawan bersama!" Ujarnya, sambil memosisikan diri di sampingku.
Entah ini karena dia mengikuti perintah Luna, atau memang dari dalam hatinya, tak apa. Aku tetap berterima kasih atas semua yang ia lakukan. Melindungiku salah satunya. Jika tidak ada dia, mungkin aku akan lenyap kali ini. Jadi, mari kita lawan bersama.
Aku pun mengangguk, merespons ujaran Mas Gewa tadi. Kami pun bersiap menghadapi ibu dan anak jahat ini.
Pertarungan ini dimulai dengan Liha yang menendang Mas Gewa di bagian perut. Sayangnya, tendangan itu sia-sia. Karena Mas Gewa segera menghindarinya. Sementara itu, Ibunya pun mengincarku. Dia mencekal leherku kuat sekali. Tak sampai di situ, ia juga menjambak rambutku dengan tangannya yang lain.
Aku yang tercekik pun meminta bantuan Mas Gewa. Dengan sisa suaraku, aku memanggilnya. Tapi sayangnya ia berkelahi dengan Liha begitu serius hingga meninggalkan aku bersama Ibunya Liha.
Nampaknya inilah akhir dari hidupku. Akhirnya aku mati tercekik. Huhu menyedihkan. Bahkan putri dalam dongeng pun tidak mau kisahnya berakhir menyedihkan. Apalagi aku.
"Ck ck ck ck!"
Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara cicak. Apakah ini Farah cicak yang Mas Mihun takuti? Penasaran, aku pun mendongakkan kepala. Untungnya cekikkan ini belum terlalu kencang. Dan ternyata benar cicak itu adalah Farah.
Tanpa kuduga, ternyata cicak itu menjatuhkan dirinya ke dalam gaun yang Ibunya Liha pakai. Yap! Tentu saja cekikkannya padaku juga ikut terlepas. Tidak mau membuang waktu, aku pun segera kabur saat Ibunya Liha disibukkan dengan cicak yang masuk ke gaunnya.
Aku berlari tunggang-langgang menuju kamar Nenek Sarina. Berharap belum ada kejadian yang Luna inginkan di sana. Karena hati kecil berkata kalau aku harus mencegahnya.
Ya, memang aku diusir dan tidak dipedulikan lagi oleh Nenek Sarina. Tapi, dia tetaplah manusia. Bagaimanapun keluarga ini, bahkan meskipun aku hanya Istri jalur afirmasi yang menikah bukan atas namaku dengan Mas Mihun, aku tetaplah harus menyelamatkan mereka semua.
Karena balas dendam bukan hal yang baik. Luna harus menyingkirkan egonya. Semua kisah hidupnya, mulai dari ditelantarkan oleh ibunya yang juga sebagai ibunya Liha, kisah cintanya dengan sepupunya sendiri, bahkan perlakuan Nenek Sarina yang mengusirnya dari mansion. Dia harus melupakannya, menguburnya, dan keluar dari rasa dendam.
Ya, sekarang aku tau arti sebenarnya dari tulisan dalam kertas Mba Lisa yang aku temukan. Mereka bertiga sebenarnya adalah saudara tiri. Ibunya Luna juga ibunya Lisa dan Liha. Karena ayah Liha saat itu menjadi pelanggan ibu mereka di tempat hiburan. Nenek Sarina yang tau pun terpaksa menikahkan mereka.
Tentunya, kehidupan kelam ibu mereka pun ikut terangkat. Kini ia menjadi nyonya di mansion mewah milik keluarga Aldeharun. Jika kalian bertanya tentang siapa ayah Mba Lisa, maka kisahnya tidak berbeda jauh dari kisah Luna. Mereka sama-sama tidak tau siapa ayah mereka. Karena mereka terlahir di tempat terkutuk itu.
Aku sampai di kamar Nenek Sarina tepat saat Luna mengacungkan pistol ke arah Nenek Sarina. Aku yang bertekad menyelamatkan keluarga Aldeharun pun menghalanginya dengan berdiri tepat di depan Nenek Sarina. Melihatku bertindak tidak seperti kehendaknya, Luna pun memasang wajah marah.
"Minggir! Untuk apa kamu di sana?! Sudah lupa kontrak kita?!" Tanyanya, sambil memegangi pistolnya.
"Jangan Luna! Mereka juga keluargamu. Jamie tau semuanya. Mereka juga keluarga kamu." Sahutku, tetap mencoba setenang mungkin walaupun deg degan dengan pistol yang ia pegang.
Percuma saja, ucapanku tadi tidak ada gunanya untuk Luna. Ia malah menyibakkan roknya dan mengambil satu buah pistol lain di kakinya. Lalu dengan beraninya ia berkata, "baik! Sekalian saja dua-duanya yang aku bunuh."
Aku hanya bisa menelan ludahku dalam-dalam saat ia mengatakan itu. Rasanya memang inilah akhir hidupku. Padahal Mas Mihun saja belum mengafirmasikan cintanya padaku. Hiks lupa saja aku kalau dia sudah menolakku. Baiklah, hadapi saja Jamie.
DOR!
Tepat saat tembakan Luna telah dilayangkan, aku pun menutup rapat mataku. Takut. Begitu kiranya yang aku rasakan saat ini. Tapi kok, tidak terasa sakit ya? Apa tembakkannya meleset?
Merasa penasaran, aku pun memberanikan diri untuk membuka mata. Tepat saat mataku terbuka, aku terkejut setengah mati. Ternyata bukan aku yang tertembak melainkan Mas Mail. Mas Mail? Bagaimana bisa?
Ternyata saat tembakan dilayangkan Mas Mail segera menghalanginya agar tidak mengenaiku. Aku yang kaget pun langsung menghampiri dia.
"M-mas Mail? Kenapa Mas Mail halangi pelurunya? Hiks... kan sekarang jadi Mas yang kena." Ucapku, sambil menahan isakan tangis.
"Tidak apa, Jamie. Saya tidak apa-apa kok." Katanya, sambil menahan sakit.
"K-kamu?! Kenapa... ARGH! Kenapa kamu halangi aku menembak dia sih?!" Teriak Luna.
Tapi lama kelamaan, teriakan itu berubah menjadi pelan dan digantikan dengan tangisan kencang. Apa? Luna menangis? Apa Luna menyesal telah menembak Mas Mail.
"Hiks... Marvin!" Serunya, memanggil nama asli Mas Mail.
Dia pun merangkul Mas Mail dengan isakan yang semakin menjadi. Sepertinya aku tau kenapa dia bersikap begini. Mungkin Mas Mail ini adalah pria yang menjadi penyelamatnya saat ibunya tega memperkerjakannya di tempat hiburan. Ya, kisah yang ia ceritakan semalam adalah kisahnya sendiri.
Dan inilah akhirnya, dia harus menanggung penyesalan karena telah menembak orang yang sangat ia cintai. Ya, Dewi senyuman yang dimaksud Mas Mail saat aku pertama kali tinggal di mansion ini adalah Luna. Dia adalah gadis yang ia cintai. Begitu pula sebaliknya, Luna juga sangat mencintainya.
"Hiks... hiks... maaf. Maafkan aku." Ujarnya terus menerus, sambil memeluk Mas Mail erat-erat.
"T-tidak ap-pa, sa-ya te-tap men-cintai ka-kamu, Dew-wi sen-yu-man sa-ya. Sam-pai ber-te-mu la-gi." Ucapnya terbata-bata, sebelum akhirnya ia menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Dewi senyumannya.
"TIDAAAAKKK!!!" jerit Luna, tidak rela melepas Mas Mail untuk selamanya.
Inilah kisah Luna yang harus berakhir menyedihkan. Terbalut dalam penyesalan untuk selama-lamanya. Begitu juga denganku, yang terlepas dari kontrak itu untuk selama-lamanya.[]-TAMAT-
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI JALUR AFIRMASI [TERBIT]
RomanceStory 1 ISTRI JALUR AFIRMASI [TERBIT] GENRE: HUMOR-HALU-ROMANCE "Selamat datang di acara pendaftaran calon istri baru, silahkan mendaftar dengan 2 jalur yang sudah kami sediakan. Pilih jalur yang paling tepat dengan keadaan anda." Kata siapa cuma s...