author mau ngasih tau kalian kalau author iseng-iseng buat video nih. Ngakak juga karena jatuhnya kayak mau promosi. Ya, mungkin gak bagus sih, tapi jangan lupa tonton ya!
PERISTIWA kemarin sore sukses membuat Nenek Sarina membatalkan seleksi calon istri untuk Mas Mihun. Sementara itu, kelima kandidat pun pulang dengan rasa kesal. Aku? Tentu saja aku bahagia. Hus! Pikiran apa ini Jamie!
Tapi, sebagian gantinya pagi ini akan dilaksanakan acara pertunangan antara Mas Mihun dan Farah. Ya, tentunya ini agak berat bagiku. Tidak! Maksudku ini berita baik untuk Nenek Sarina. Karena ini artinya dia tidak perlu mencari calon istri lagi untuk cucunya.
Aku tau kok. Meskipun sepedas apa pun perkataan Nenek Sarina kepada Mas Mihun, sebenarnya dia itu sangat menyayangi cucunya. Semuanya. Tidak hanya Mas Mail saja yang ia sayangi. Tapi Mas Mihun juga. Itu semua dapat aku lihat dari matanya yang menyiratkan rasa bahagia kini.
"Nek! Nenek bahagia kan cucu Nenek akan segera bertunangan?" Tanyaku, kepada si Nenek.
"Tau apa kamu tentang bahagia? Kamu sendiri, apa kamu ikut bahagia dengan pilihan dia?" Bukanya menjawab pertanyaan sederhana yang aku ajukan, Nenek Sarina malah balik bertanya padaku.
Apakah aku ikut bahagia?
Sejujurnya aku pun tidak tau, aku ikut bahagia atau tidak. Yang aku harapkan kini hanya dapat mengalihkan pertanyaan dari Nenek ke topik lain. Karena menurutku ini sama sekali tidak penting untuk dibahas.
"Bahagia dong Nek! Kan Gavin itu adik ipar Jamie." Pret! Bohong kalau aku mengatakan bahwa aku bahagia.
Apanya yang bahagia? Jelas-jelas aku ini masih Istrinya Mas Mihun. Walaupun hanya jalur afirmasi. Tapi kan tetap saja ini seperti aku merelakan suami sendiri untuk gadis lain. Apalagi gadis itu Farah si asisten pribadi baru. Huh! kenapa aku jadi emosian sih sekarang?
"Oh, iya juga ya, Jamie. Bagus kalau begitu."
Dasar si Nenek ini! Dengan mudahnya dia membalikkan topik pembicaraan agar dia tidak jadi menjawab pertanyaanku. Sudah begitu dia juga pamit pergi lagi.
Tapi aku tau, dia pasti terlalu gengsi untuk mengakui betapa sayangnya dia kepada Mas Mihun. Terserah Nenek saja lah.
Kembali ke acara, kini halaman depan mansion telah disulap menjadi aula pesta pertunangan yang indah. Nuansa putih berpadukan kelopak-kelopak bunga di sana sini semakin menambah cantiknya.
Padahal aku tidak sempat melihat bunga warna apa yang dulu dipakai untuk menghiasi pernikahanku. Tapi sekarang, aku malah bisa mencium bau harum bunga di acara pertunangan suamiku sendiri. Sungguh menyedihkan.
"Jamjam!"
Panggilan itu. Panggilan yang selalu aku tunggu. Hanya dia yang memanggilku dengan panggilan itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Mas Gewa.
"Mas Gewa? Mas kok di sini? Bukannya Mas harusnya di sana ya?" Tanyaku, sambil menunjuk kerumunan pelayan dan koki mansion yang sedang menata makanan.
"Tidak Jamjam, saya ingin bersama kamu di pesta nanti. Lihat sendiri, saya pakai setelan jas. Mana mungkin saya mendekat ke sana." Ujarnya, memperjelas kedatangannya.
Baguslah, ada yang menemaniku saat pesta nanti. Itu artinya aku tidak akan terlihat terlalu menyedihkan di hadapan Mas Mihun.
Sekalian juga aku akan menempel senempel-nempelnya di dekat Mas Gewa supaya Mas Mihun marah. Tapi kelihatannya dia tidak akan marah dengan itu deh. Mas Mihun saja masih marahan sama aku.
Sayangnya, mimpiku untuk menikmati pesta dengan Mas Gewa harus urung karena Nenek Sarina. Dia tiba-tiba saja memanggilku di saat Mas Gewa ingin membawaku untuk duduk di kursi tamu. Huh! Benar-benar merusak suasana.
"Jamie, saya mau kamu menjemput Farah ke kamarnya." Pinta Nenek Sarina, kepadaku.
"Loh, kenapa bukan Nenek saja yang..." Belum sempat aku menolak, Nenek Sarina buru-buru memotongnya.
"Sudah, sana kamu ke kamar Farah! Cepat!" Perintah Nenek Sarina, menyela penolakanku.
Aku pun berjalan menuju kamar Farah seperti yang diperintahkan Nenek. Kamar Farah terletak bersama dengan kamar Tia. Jadi, aku tidak takut tersesat. Maklum, masih ada banyak bagian mansion yang belum aku ketahui.
Ketika aku sampai di ambang pintu kamarnya, pintu kamarnya tertutup rapat. Aku pun segera mengetuknya, memastikan adanya Farah di dalamnya.
TOK! TOK! TOK!
"Farah, Jamie boleh masuk gak?" Tanyaku, sebelum membuka pintu kamarnya.
Awalnya tidak ada jawaban dari kubu Farah. Namun setelah beberapa detik kemudian, aku baru mendengarkan jawaban darinya. "Boleh Ka, silakan masuk." Jawabnya, dari dalam kamar.
Aku pun membuka pintu kamar Farah perlahan. Ketika daun pintu terbuka, aku langsung dibuat kaget ketika melihat Farah belum mengenakan gaun pertunangannya. Sementara itu, setelah aku memasuki kamarnya, Farah segera menutup kembali pintu kamarnya.
"Farah, kenapa belum siap-siap? Pesta pertunangan kamu akan segera dimulai loh."
"Pelankan suara Kakak! Tidak penting aku mengenakan gaun itu atau tidak. Karena aku sama sekali tidak mau menjadi tunangan dia." Katanya, sambil membekap mulutku.
Benar juga. Mana mungkin Farah mau diajak bertunangan secara tiba-tiba seperti ini. Bagaimanapun Farah juga seorang gadis yang mungkin telah menyimpan perasaan kepada orang lain. Lagian Mas Mihun sih! Ada-ada saja dia memutuskan untuk bertunangan dengan Farah.
"Kakak tau? Aku ini bukan seorang asisten pribadi. Aku ini gadis jalanan yang di pungut Nenek Ray untuk bekerja di yayasannya." Ceritanya, sambil menuntunku duduk di sofa.
"Jadi, Farah bukan cucu Nenek Ray?"
"Bukan. Aku dipaksa mengikutinya dan bekerja di yayasannya sebagai asisten. Dan sekarang, aku harus bertunangan? Tentu aku tidak mau! Sudah cukup aku dipaksa oleh Nenek Ray. Aku ingin bebas seperti dulu." Curhatnya, dengan mata yang berkaca-kaca.
Melihatnya seperti ini, membuatku teringat saat ditinggal Ibu dan Bapak di kampung dulu. Sebelum aku dirawat Bu Rita, aku juga pernah ikut Kakak dari Ibuku di kampung dulu. Namun karena aku sering memecahkan barang-barangnya, dia mengusirku secara paksa.
Pada akhirnya, aku tinggal di rumah Kakak dari Bapakku di kampung sebelah kampung asalku. Di sanalah aku mulai di perkenalkan dengan sekolah. Juga, di sanalah aku bertemu dengan seseorang yang selalu mengganggu hidupku.
"Jadi, bagaimana cara kamu menolak pertunangan yang sudah disiapkan Nenek Sarina ini?"
"Kita tukar posisi!" Usulnya, sambil menjentikkan jarinya di depan wajahku. Lalu ia melanjutkan, "sekarang, Kakak pakai gaunnya! Lalu gantikan aku bertunangan dengan Tuan Gavin." Perintahnya, setengah berbisik.
Apa? Coba ulangi sekali lagi perintah yang barusan Farah gaungkan. Jadi, dia menyuruhku memakai gaun pertunangannya, lalu menggantikannya bertunangan dengan Mas Mihun. Tidak. Mana mungkin begitu.
"Tapi Farah, Jamie mana mungkin gantiin kamu. Kan..." Belum sempat aku mengemukakan penolakanku, Farah malah lebih dulu memotongnya.
"Mungkin. Sekarang Kakak tinggal pakai saja gaun ini. Ayo cepat!" Paksanya, sambil mendorongku pelan menuju kamar mandi. Ya, sama seperti dalam kamar Mas Mihun, di kamar ini juga terdapat kamar mandi.
Farah mendorongku hingga aku masuk ke dalam kamar mandinya. Lalu, ia pun menutup pintu kamar mandi rapat-rapat dari luar. Terpaksalah aku menuruti maunya. Aku pun mengganti pakaian yang aku pakai dengan gaun pertunangan milik Farah.
Perasaanku campur aduk ketika mengenakannya. Begitu mudahnya aku mengikuti maunya, sementara aku tidak tau hal apa yang mungkin menimpaku nantinya. Itulah aku, mudah sekali diperintah. Mudah sekali mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan aku mudah untuk mempercayai seseorang.
Jika aku ini anak kecil yang lucu, mungkin sudah sejak lama aku dibawa penculik. Karena hanya dengan iming-iming permen saja aku bisa sebegitu percayanya dengan orang. Itulah yang membuat aku ingin memaki diri sendiri.
Usai mengganti pakaianku dengan gaun pertunangan milik Farah, aku pun menarik gagang pintu kamar mandi. Ketika aku keluar dari kamar mandi, Farah pun memandangiku terkagum-kagum. Hal itu dapat aku lihat dari matanya yang menatap lurus ke arahku.
"Wah! Kakak cocok sekali memakai gaun ini. Aku penasaran, apakah sebenarnya gaun ini diperuntukkan untuk Kakak?" Celetuknya, memuji-muji penampilanku.
"Farah, Jamie gak yakin bisa menolong kamu sekarang. Bagaimana kalau gagal?" Tanyaku, tanpa memedulikan pujian yang ia celetukkan.
Raut wajah Farah yang semula tersenyum berubah cemberut. Aku tau dia pasti kecewa. Tapi aku benar bukan? Semua ini pasti akan ketahuan. Apalagi mengingat Nenek Sarina itu menganggapku sebagai Istri Mas Mail. Bisa marah besar dia nanti.
Meskipun sebenarnya aku ini istri Mas Mihun, tapi semua itu akan aku ungkap nanti bukan sekarang. Ini benar-benar bukan waktu yang tepat untuk membuka semua kebohongan yang aku dan Mas Mihun simpan. Lagi pula kenapa harus salah menikahi orang sih Jamie? Bikin ribet saja.
"Lakukan saja Kak! Aku berjanji ketika Kakak kesusahan nanti, aku juga akan melakukan hal yang sama. Menolongmu. Pegang kata-kataku!" Ujarnya, sungguh-sungguh.
Mau tidak mau, aku pun menganggukinya. Benar juga. Aku juga akan membutuhkan bantuannya suatu saat nanti. Jadi, kini aku harus membantunya. Tanpa rasa ragu sedikit pun. Baiklah Jamie, ayo!
"Dan... ini dia! Gadis pilihan cucu saya sudah datang. Silakan, Farah." Sambut Nenek Sarina, menggunakan pengeras suara.
Sementara itu, aku yang kini berpura-pura Menjadi Farah pun berjalan seanggun mungkin menuju aula pesta. Apa? Ketahuan? Tentu tidak! Karena sebelum berjalan kemari Farah menyuruhku memakai kain penutup wajah. Jadi, kini aku tampak seperti mempelai di film-film India.
Bedanya, kain yang aku pakai untuk menutupi wajahku ini berwarna putih. Jujur saja itu cukup menyusahkanku. Untungnya, ada Tia yang setia menuntunku supaya aku tidak tersandung di tengah jalan. Sehingga aku tidak perlu khawatir lagi.
"Tia, kenapa kamu yang mengantar Farah? Ke mana Jamie?" Tanya Nenek Sarina, tanpa menggunakan pengeras suara.
Benar saja. Sudah kuduga dia pasti akan mencariku. Mendengarnya, aku yang terhalangi oleh kain putih panjang ini pun semakin dag dig dug. Beruntung Tia segera menjawab, "tadi Nyonya Jamie terburu-buru menuju kamar mandi. Katanya dia kebelet."
Benar-benar alasan yang sukses membuatku tertawa kecil. Tentu saja itu hampir membuat penyamaranku terbongkar. Untungnya, Tia segera menepisnya dengan tertawa lebih keras. Huh, hampir saja.
"Ya sudah. Bawa dia ke sana!" Perintah Nenek Sarina kepada Tia.
Aku pun dituntun Tia menuju samping Mas Mihun. Ketika aku berada di sampingnya, aku jadi rindu padanya. Aneh bukan. Padahal biasanya orang akan rindu pada seseorang jika berjauhan. Namun aku malah rindu dengan orang yang jelas-jelas di sampingku.
Entahlah. Tapi aku benar-benar merindukan kemarahannya, merindukan caranya menyuruhku mengerjakan ini dan itu, juga merindukannya saat mulai perhatian padaku. Tapi sudahlah, lebih baik kita buang jauh-jauh rasa rindu ini. Karena sama sekali tidak ada gunanya jika dia sama sekali tidak merindukanku.
Oh iya, Mas Mihun sekarang tidak lagi menggunakan kursi rodanya. Dia sudah bisa berdiri tegak di sampingku. Melihatnya dari balik kain penutup wajahku ini, aku pun bersyukur sekaligus gembira.
"Silakan, kalian berdua boleh bertukar cincin." Ujar seorang pembawa acara yang sudah sangat kukenal. Ya, dia adalah Neng Shila.
Mendengar perintah darinya, aku pun berusaha untuk menghadap ke arah Mas Mihun. Sayangnya karena tertutupi kain panjang, aku jadi kesulitan sendiri. Beruntung, Mas Mihun segera menggenggam tanganku dan menuntunku ke hadapannya.
Deg deg deg
Jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Dan entah mengapa kakiku jadi lemas secara tiba-tiba. Tapi semua itu aku abaikan. Sementara itu, Mas Mihun meraih jari manisku untuk nantinya ia sematkan cincin pertunangan.
Aku hanya diam saat bulatan cincin masuk ke jari manisku. Yap! Pada akhirnya cincin pertunangan pun melingkar indah di jariku.
Selanjutnya, giliranku yang memasangkan cincin kepada Mas Mihun. Aku pun meraba-raba karena tidak bisa melihat di mana letak jari manis Mas Mihun. Untungnya, dia segera menyerahkan jari manisnya kepadaku. Jadi aku bisa menyelesaikan ini secepatnya.
Acara pertunangan ini akhirnya selesai dengan dua cincin yang tersemat indah di tanganku dan Mas Mihun. Para tamu undangan pun bertepuk tangan riuh. Aku penasaran apa Mas Gewa juga ikut bertepuk tangan? Ah! dia pasti sedang mencariku sekarang. Kasihan Mas Gewa.
"Kamu, ikut saya sekarang!" Ujar Mas Mihun, agak berbisik di sampingku.
Tanpa banyak bicara, aku pun meraih tangannya dan membuntutinya kabur dari aula pesta. Di tengah jalan, tiba-tiba aku tersandung dan jatuh tersungkur. Lagian Mas Mihun cepat sekali larinya, mana bisa aku sejajar dengan langkahnya.
Namun tidak kusangka, Mas Mihun langsung menggendongku dan melanjutkan jalannya menuju mansion miliknya. Setibanya di mansionnya, ia buru-buru mendudukkanku di sofa. Sementara dia berlari mengambil sesuatu.
"Buka sepatu kamu!" Perintahnya, sekembalinya mengambil sesuatu.
Aku pun hanya mengangguk dan melaksanakan perintahnya seperti sedang terhipnotis. Dapat kurasakan kain hangat yang menyentuh telapak kakiku. Rasanya sangat nyaman. Seperti seorang ratu.
Hingga tiba-tiba kain itu berhenti menempel di kakiku. Digantikan dengan terangkatnya kain penutup wajahku ke atas. Tentu saja aku kaget dan tidak bisa berkutik saat akhirnya penyamaranku terbongkar.
"Saya tau sebenarnya ini kamu, Jamie." Bisiknya di telinga kiriku, lirih.
Jadi dia sudah tau ini aku? Lalu kenapa dia tidak mengusirku saja sejak tadi. Padahal dia sedang marah padaku. Tapi kenapa dia malah menggendongku pasca aku terjatuh dan mengelapi kakiku. Beribu-ribu pertanyaan kini berputar di otakku.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI JALUR AFIRMASI [TERBIT]
RomanceStory 1 ISTRI JALUR AFIRMASI [TERBIT] GENRE: HUMOR-HALU-ROMANCE "Selamat datang di acara pendaftaran calon istri baru, silahkan mendaftar dengan 2 jalur yang sudah kami sediakan. Pilih jalur yang paling tepat dengan keadaan anda." Kata siapa cuma s...