AKU diberi dua pilihan yang berat dalam hidupku sejak kontrak konyol itu hadir. Aku harus melenyapkan Nenek Sarina sekeluarga supaya bisa bertemu kembali dengan Bu Rita. Tapi jika aku melenyapkan mereka, tentu saja aku tidak tega. Apalagi jika aku harus membunuh dia.
"Heh! Bangun kamu! Sudah pagi! bagaimana kamu bisa menjadi istri yang baik kalau bangun pagi saja susah." Omel seseorang, yang sukses mengusik tidurku.
Aku pun membuka kelopak mataku sedikit untuk melihat wajah si pemarah itu. Dia benar-benar tidak pernah berubah. Masih sama seperti saat pertemuan pertama kami.
Rasanya ingin tertawa mengingat momen pertemuan pertama kami. Harus sekali ya ditakdirkan bertemu ketika sama-sama tercebur ke kolam?
"Jamie! Bangun atau saya gelitiki?" Tawar Mas Mihun, masih mencoba membangunkanku.
Tapi aku tidak peduli. Biarkan saja dia ngomong sendiri. Lagi pula aneh juga, bukannya dia sedang marahan sama aku?
Oh iya, pasti kalian penasaran kenapa aku bisa berada di kamarnya ini kan. Jawabannya, karena semalam aku tidak diperbolehkan pulang oleh Mas Mihun. Dia bilang jika aku nekat keluar pasti Nenek akan curiga.
Benar juga. Apalagi aku kan tidak hadir di acara pertunangan Mas Mihun sebagai seorang Kakak ipar. Tia yang bilang kalau aku sedang ke kamar mandi saat itu. Pastinya sampai sekarang pun Nenek Sarina masih mencariku untuk ia jejali beragam pertanyaan.
"Jamie! Jamieeeee! Jaaaamieee!" Aku buru-buru membekap mulut lemes Mas Mihun yang teriak-teriak itu.
Bahaya juga kalau teriakkannya didengar oleh Nenek Sarina. Bisa ketahuan aku nanti. Siapa tau kan, dia sedang lewat di dekat mansion bagian Mas Mihun. Telinganya kan tajam sekali saat mendengar suara.
"Jangan teriak-teriak dong Mas! Nanti kalau Nenek dengar gimana?" Ucapku, lirih.
"Bagun juga kamu. Memangnya kenapa kalau dia dengar?"
"Nenek kan gak tau kalau Jamie istri Mas. Nenek maunya Jamie itu istrinya Mas Mail."
"Jadi kamu lebih suka jadi Istri dia dari pada saya?"
Aku pun menggeleng. Lalu menambahkan, "takdir Jamie bukan bersama Mas Mail."
Jawabanku malah membuat Mas Mihun tertawa. Kebiasaan deh dia itu. Padahal aku tidak sedang melucu tapi dia malah ketawa. Coba saja kalau aku sedang melucu. Dia pasti malah diam saja.
"Jangan bilang kalau takdir kamu itu saya? Hahaha... kamu segitu cintanya sama saya Jamie?" Terka Mas Mihun, begitu percaya diri.
"Tolong jangan Gr dulu ya Mas. Gak baik buat kesehatan."
Tidak mau melanjutkan keributan ini, aku pun berjalan hendak keluar dari kamar Mas Mihun. Meskipun sebenarnya aku masih rindu dengan sofa tempat biasanya aku tidur dan juga karpet hangat di bawahnya. Tapi aku harus bangun pagi ini.
Suasana sepi terlihat di dalam bangunan mansion. Kelihatannya seluruh anggota keluarga sedang melaksanakan sarapan pagi. Karena para pelayan juga terlihat membawa banyak hidangan ke arah meja makan.
Mungkin acara sarapan hari ini diadakan spesial untuk menyambut tunangan cucunya. Yang artinya Farah lah tokoh utama dalam acara ini. Kalau begitu, aku harus bagaimana? Apakah aku bersikap seperti biasa saja.
"Nyonya! Nyonya Jamie!" Panggil Tia, saat aku melewati dapur.
"Iya, ada apa Tia?" Tanyaku, penasaran.
Bukannya menjawabku, Tia malah memberikan secarik kertas berisi tulisan kepadaku. Isinya, ikutlah sarapan pagi dengan keluarga. Kamu harus ada di hadapannya hari ini. Jangan bicara dengan Tia. Baca saja surat ini. Begitu isi surat yang aku baca.
Tepat saat aku selesai membaca surat itu, Tia pun hilang dari hadapanku. Agaknya ini waktu yang Luna tentukan untuk melaksanakan misi selanjutnya. Entah dugaanku ini benar atau salah. Habis setiap ada misi baru pasti selalu ada hal-hal misterius. Misalnya surat dari Tia ini.
Lupakan. Lebih baik aku segera bergegas menuju meja makan sekarang. Lagi pula perutku juga sudah keroncongan.
Sesampainya di meja makan, aku langsung di sambut omelan kecil dari Nenek Sarina. Dia bilang, "bangus! Kalau makan saja kamu datang. Ke mana saja kamu kemarin?! Kenapa tidak hadir di pertunangan adik ipar kamu sendiri?"
Aku yang diomeli pun hanya dapat diam membisu. Lagi pula kalau aku angkat bicara, aku tidak tau apa yang akan diangkat Nenek Sarina untuk memukulku. Bisa jadi gelas di depannyalah yang ia angkat untuk ia lempar kepadaku.
"Bisa tidak Anda diam saat di meja makan?" Tidak kusangka, Mas Mihun berani menanyakan hal itu ke Nenek Sarina.
"Memangnya kenapa hah? Lagi pula dia bukan istri kamu. Dia istri Kakak kamu. Lebih baik kamu yang panggil tunangan kamu ke sini daripada mengurusi urusan saya!" Balas Nenek, tidak mau kalah.
Aku pun berlagak pura-pura tidak tau. Lalu menyendok nasi di piring hendak sarapan. Biarkan saja mereka bertengkar. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan mereka ini. Sayangnya tepat saat aku hendak menyendok nasi, telingaku mendengar jawaban mengejutkan dari Mas Mihun.
"Jamie memang istri saya. Kenapa? Terkejut? Bahkan kami sedang program momongan. Iya kan, Jamie sayang?"
Apa? Jamie sayang?
Apa telingaku tidak salah dengar ini. Jamie sayang? Mas Mihun kesurupan setan jenis apa sih. Tapi aku harap Nenek Sarina tidak percaya dengan ucapannya tadi. Semoga saja.
"Apa? Kamu ahahaha... kamu mimpi ya? Sadar Gavin, sadar. Haruskah saya mencubit kamu supaya sadar?" Jawab Nenek Sarina, tidak percaya.
Aku yang takut semua rahasiaku terbongkar pun hanya bisa diam seribu bahasa. Biarkan saja Mas Mihun mengoceh sampai membongkar semua rahasiaku. Nenek Sarina saja tidak percaya. Jadi mungkin aku akan selamat. Mungkin.
"Anda tidak percaya? Silakan cek kamar saya. Semua barang-barang Jamie ada di sana." Celetuk Mas Mihun, menantang Nenek Sarina.
Apa? Gawat!
Jika Nenek Sarina benar-benar mengeceknya, maka tamatlah riwayatku. Ingin rasanya aku memukul Mas Mihun habis-habisan.
"Baik. Jamie! Ikut saya mengecek kamar Gavin sekarang!" Perintah Nenek Sarina.
Benar saja. Nenek Sarina penasaran dan langsung menyuruhku untuk membuntutinya menuju kamar Mas Mihun. Kalau begini caranya, aku pasti akan ketahuan. Tapi jika memang barang-barangku masih ada, kenapa semalam aku tidak melihatnya?
Aha! Pasti Mas Mihun sengaja menyembunyikannya. Karena kan selama ini Farah selalu merawatnya di kamar itu. Tentu saja dia tidak mau ketahuan. Tapi sekarang, apa yang mau ia lakukan dengan mengakui segalanya. Mengusirkukah? Jadi dia sangat ingin aku pergi.
Langkah kakiku mengikuti ke mana Nenek Sarina hendak melangkahkan kaki. Rasanya memang inilah saat yang tepat untuk mengusir istri gadungan sepertiku.
Ingin rasanya aku menyalahkan takdir. Takdir saat aku dihantui arwah Nenek Sarina yang sekarang aku buntuti ini. Takdir menikah dengan cucunya Nenek Sarina yang kedua, bukan yang pertama seperti maunya.
Takdir yang mempertemukan aku dengan Mas Mihun dan perlahan mampu membuatku jatuh padanya. Seharusnya aku tidak pernah menyentuh takdir itu.
Bunyi pintu kamar yang dibuka oleh Nenek Sarina menyadarkanku dari lamunan. Kini kami telah memasuki ruangan dalam kamar Mas Mihun. Keadaan dalam kamar masih sama. Ada tambang panjang penyekat antara wilayah kekuasaanku dan wilayah kekuasaan Mas Mihun. Jantungku makin terpacu ketika satu persatu lemari dibuka oleh Nenek Sarina.
"Anda tidak perlu susah-susah membuka setiap lemari. Itu. Ada di sebelah sana." Ucap Mas Mihun, menunjuk ke ruang rahasianya.
Apa? Jadi barang-barangku ada di ruang rahasianya itu. Dasar! Padahal aku sudah mencarinya ke mana-mana. Karena dia sembunyikan semua barangku, aku jadi harus meminjam pakaian milik Tia.
Nenek Sarina pun mengikuti instruksi dari cucunya itu. Dia berjalan menuju ruang rahasia, tempat dulu aku merusak benda berharganya Mas Mihun yang berisi foto Mba Lisa. Perlahan pintu ruangan itu dibuka dan tamatlah riwayatku sekarang.
Benar. Memang ada di sanalah semua barang-barangku. Baiklah jika begitu. Aku juga tidak berhak tetap berada di mansion yang bukan milikku. Jika kehadiranku memang sudah tidak diafirmasikan lagi, maka afirmasikanlah kepergianku.
"JAMIE! beraninya kamu menipu saya! Apa ini?! Baju kamu, tambang panjang itu, lalu istri Gavin?! Saya kira kamu itu jujur, polos dan tulus dengan saya. Ternyata ini yang sebenarnya terjadi." Bentak Nenek Sarina, sambil menatap galak ke arahku.
Sementara aku diam tidak mau menjawab. Lagi pula jika dilogikakan akulah yang salah. Meskipun Mas Mihun yang mengafirmasikan pernikahanku. Tapi Nenek lah pihak yang paling dirugikan di sini.
"Puas kamu menipu saya, Jamie?! Kamu juga menipu cucu saya Marvin!" Lanjutnya, masih dengan tatapan penuh amarah.
"Sudahlah Nenek, Jamie tidak salah. Lagi pula saya sudah tau Jamie istrinya Gavin." Tiba-tiba Mas Mail datang dengan mengatakan pembelaan untukku.
"Tidak salah?! Kamu tidak lihat dia menipu Nenek? Harusnya dia malu. Pergi kamu! Pergi sekarang dari hadapan saya! Saya tidak mau memiliki cucu menantu seperti kamu, Jamie!" Usir Nenek Sarina, sebelum akhirnya pingsan karena syok.
Lebih baik aku pergi saja. Karena jika tidak maka akan memperkeruh keadaan. Di saat Mas Mihun dan Mas Mail tergopoh-gopoh merangkul Nenek Sarina yang pingsan, aku pun bergegas mengambil barang-barangku dan pergi.
Mungkin dengan cara ini aku akan menemukan kebahagiaan lain, selain menjadi istri dari Mas Mihun. Lagi pula bukan namaku yang diucap saat janji suci. Jadi, nampaknya aku tidak pernah menikah dengan siapa pun bukan.
Langkah gontaiku menelusuri gerbang depan mansion. Beruntung, ada sebuah angkutan umum di delan gerbang. Jadi, kuputuskan untuk naik. Sebelum aku benar-benar menaikinya, seseorang lebih dulu menarik tanggaku.
"Jamie, selamat atas terbongkarnya rahasia kamu. Oh iya, ingat! Sekarang aku bukan adik ipar kamu lagi." Katanya, diakhiri dengan senyuman sinis.
"Iya Liha, kalau begitu Jamie pergi dulu. Jaga Nenek buat Jamie ya! Jagain bunga mawar oren juga! Dadah!"
Aku pun menaiki angkutan dengan rasa campur aduk. Teganya Liha mengatakan perkataan itu kepadaku. Padahal saat pertama kali mengenal dia aku mengira dia gadis yang baik. Tapi rupanya persepsiku agak meleset.
Di dalam angkutan aku duduk dengan beberapa ibu-ibu. Salah satu dari mereka ada yang membawa serta anaknya. Anak kecil dengan rambut keriting itu mengingatkan aku dengan aku di masa lalu. Kecil dan tidak terawat.
Setiap pagi aku harus berangkat ke sekolah bersama sepupu dari Kakak ibuku. Nama sepupuku adalah Oliv. Oliv sangat cantik dan populer di sekolah. Hal itu dapat aku kecil simpulkan saat melihat banyak teman sekolah laki yang menggodanya. Tapi, Oliv tidak suka dengan kehadiranku. Dia juga tidak suka aku satu sekolahan dengan dia.
Karena aku tidak terima, aku pun sering menunjukkan perlawanan. Menjambaknya, menamparnya, semua itu aku kecil lakukan karena kesal selalu di rendahkan. Hingga Oliv yang anak Mama, mengadukanku telah memukulnya. Karenanyalah, aku diusir dari rumah Kakak ibuku.
Ah iya! Sebelum diusir, aku pernah disuruh bekerja di rumah orang kaya di desaku waktu itu. Tapi aku bekerja hanya saat sore hari saja. Karena ketika pagi aku harus bersekolah. Tentu saja, Kakak ibuku yang memaksa aku bekerja.
Suatu hari, aku memecahkan guci mahal milik keluarga kaya itu. Karena ketahuan, aku pun berlari hendak mencari tempat sembunyi. Hingga aku menemukan gudang bawah tanah dan memutuskan untuk sembunyi di sana. Malangnya, aku tidak tau kalau bukan hanya aku yang menetap.
Aku bertemu dengan seorang lelaki yang usianya lebih tua dariku. Dia mungkin dapat kusebut sebagai lelaki pertama yang aku cintai. Walaupun dia agak jahil denganku. Bahkan dia suka mengganggu. Tapi, sayangnya setelah kabar keluarga itu pindah, aku tidak lagi bertemu dengan dia.
JEDUK!
"Aduh!"
"Kenapa Neng? Kepentok kepalanya? Si Eneng ngelamun aja sih, makanya fokus Neng!" Omel ibu-ibu gendut di depanku.
Aku pun hanya mengangguk-angguk malu. Lagian aku juga sih yang terlalu larut dalam ingatan masa lalu. Sampai aku baru sadar kalau angkutan berhenti tepat di depan sebuah bangunan tua.
Kalau tidak salah, ini sih rumah Luna. Ya! Benar. Rumah bergaya kuno yang pernah aku kunjungi saat mendapat kontrak istri jalur afirmasi itu. Kenapa angkutan ini membawaku kemari?
"Bagus! Sudah sampai rupanya. Ini saya bayarkan untuk penumpang itu. Ambil kembaliannya." Ujar seseorang yang dari suaranya sih aku sangat kenal.
"Luna? K-kenapa Jamie bisa sampai di rumah kamu?"
"Aku tau kamu diusir. Tia yang bilang. Dan karena itu, kontrak resmi aku ubah." Luna mengambil lipatan kertas dari saku bajunya, lalu merobeknya tanpa rasa bersalah. Dia lalu berkata, "kontrak ini sudah tidak berlaku. Sekarang, tugasmu adalah membantai keluarga Aldeharun. Semuanya! Tanpa tersisa secuil nyawa pun."
Aku pun ternganga mendengar perkataan Luna. Benar-benar sadis sekali gadis ini. CCSM. Cantik-cantik suka membunuh.
"Bagaimana kamu setuju?" Tawarnya.
Duh, bagaimana ya, padahal aku lagi gak mau berdosa loh ini. Padahal aku baru saja membuat masalah sama si Nenek, eh! mau bunuh dia pula. Makin runyam hidupku.
"Atau kamu mau Bu Rita lenyap?" Ancamnya, sontak membuatku takut.
"I-iya! Jamie setuju kok Luna. Kapan misi ini akan kita lakukan?"
"Besok! Jadi, bersiaplah sejak sekarang!" Putusnya, dengan senyuman senang.
Besok? Tamatlah aku. Bahkan aku mempercepat dosaku sendiri. Selamat datang dosa Jamie.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI JALUR AFIRMASI [TERBIT]
RomanceStory 1 ISTRI JALUR AFIRMASI [TERBIT] GENRE: HUMOR-HALU-ROMANCE "Selamat datang di acara pendaftaran calon istri baru, silahkan mendaftar dengan 2 jalur yang sudah kami sediakan. Pilih jalur yang paling tepat dengan keadaan anda." Kata siapa cuma s...