Part 8

21 5 0
                                    

"Dahh abang..! Nanti jemput kevin ya.."

Arsen tersenyum sembari melambai pada adik bungsunya. Setelah mendapat balasan lambaian dari Arsen, Kevin dengan antusias berlari ke arah gurunya. Memunggunginya hingga hilang dari pandangannya.

Ini sudah hari ke tiga dia mengantar-jemput Kevin. Dan di tiga hari itu dia masih setia merutuki kebodohannya. Sekolah Kevin dan gadis itu memang berdampingan, dari tempatnya berdiri bahkan terlihat jelas satpam penjaga sekolah itu sedang mengopi. Tapi ya, anak SMA mana yang berangkat jam setengah sembilan pagi? Bahkan perlajaran pun dimulai jam setengan delapan pagi. Jam pulang sekolah kevin pun lebih awal dibandingkan dengan gadis itu.

Arsen mengacak rambutnya, hingga detik ini kesempatannya untuk mencuri temu dengan gadis itu belum sempat terealisasikan. Sepertinya hari ini dia akan sengaja menunggu jam sekolah gadis itu usai. Menyapanya lebih dulu dan memulai pendekatannya dengan gadis itu.

Berbalik seraya mengusap tengkuknya, Arsen mengeluhkan kesibukannya akhir-akhir ini. Tugas akhirnya dan kegiatan magangnya yang mencekik waktunya. Hingga mau tak mau jam tidurnya harus dia kikis demi menyelesaikan kewajibannya.

Belum lagi setiap pagi dia harus direpotkan oleh adik-adiknya. Meski di rumah ayahnya memperkerjakan asisten rumah tangga dan baby sitter, namun Kevin mana mau menyerahkan dirinya pada orang lain sedangkan di rumah ada ayah dan abang-abangnya. Ditambah lagi dengan Bagas yang susah sekali bangun pagi. Bocah itu benar-benar merepotkan Arsen.

"Aduhh.. sialan kenapa dadakan gini sii.."

Arsen mengernyit mendapati seorang siswi berseragam putih abu tengah menundukan tubuhnya dengan tangan kiri meremas perutnya. Arsen tidak bisa melihat wajahnya karena rambut siswi itu yang menjuntai. Dia sepertinya habis lari-larian hingga perutnya terguncang dan menyebabkan nyeri. Tidak tega mendengar ringisan siswi itu, Arsen menghampirinya. "Lo gapapa?" Tanyanya sambil ikut menunduk.

"Gapapa apanya?! Perut gue sakit ini!"

Arsen mengerjap, sepertinya dia mengenal suara cewek ini. "Rafflesia?"

Dan benar saja, ketika cewek itu mengangkat wajahnya. Paras cantik yang akhir-akhir ini bermain dalam benaknya kini terlukis nyata dihadapannya. Bukan, ini bukan imajinasinya. Tapi gadis itu benar-benar nyata. Dan Arsen kembali dibuat terpesona oleh mata bulat itu. Jangan lupakan pipinya yang merona diterpa matahari pagi. Tapi bibirnya yang pucat dan keringat di dahinya suskses mengusiknya. "Lo ada penyakit magh?" Tanyanya khawatir, gadis itu tidak menjawab dia malah semakin meringis seraya memegangi perutnya membuat Arsen semakin cemas. "Kita ke klinik ya, biar gue anter."

Gadis itu menggeleng, "gak usah."

"Tapi lo sakit."

"Udah biasa, nanti juga ilang." Katanya keras kepala, kini gadis menegakan tubuhnya menarik napasnya dalam kemudian melangkah melewati Arsen seraya tangan yang masih memegangi perutnya.

Arsen berbalik menatap punggung cewek itu. Menghembuskan napasnya, Arsen menarik tangan gadis itu dan membawa ke samping mobilnya. Cewek itu tetap masih mau masuk sekolah ketika kondisinya kacau seperti itu? Ck, dasar keras kepala.

"Lo apa-apaan si?!"

"Tunggu di sini."

"Heh lo mau ngapain?!" Teriak Rafflesia ketika cowok di depannya itu malah membuka satu persatu kancing kemejannya. Dia gila?! "Lo macem-macem gue teriak!"

"Lo bocor."

"WHAT?!" Bola matanya seketika membulat seiring dengan detak jantung yang rasanya nyaris meloncat mendengar pengakuan cowok itu. "Lo serius?" Cicitnya, berarti dari tadi dia..? Astagaaa, tiba-tiba saja wajahnya terasa sangat panas. Sebenarnya dia tahu betul bahwa sakit diperutnya merupakan penyebab tamu bulanannya. Tapi kenapa dia sampai tidak sadar jika darahnya sudah sebanyak itu hingga merembes keluar?

RafflesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang