Rafflesia melangkahkan tungkainya pelan. Jejaknya berdentum memecah hening koridor sepi itu. Terang saja, karena waktu belajar mengajar sudah dimulai. Guru-guru sudah berada di kelas masing-masing, memberi pengajaran atau hanya duduk manis dan memberi tugas.
Rambutnya yang jatuh terurai bergoyang dihempas angin. Seragam putih abunya melekat pas di tubuh indah gadis cantik ini. Mengundang mata-mata jahil untuk melirik dan mengagumi pahatan sempurna Sang Pencipta. Namun tidak untuk mendekat atau melempar godaan. Dengan sifat arogansi dan segala macam keburukannya, membuat mereka berpikir ulang untuk mengikis jarak dengan si jelita ini.
Naif. Mungkin satu kata yang cocok untuk orang tolol yang mendekatinya, mengajaknya berkenalan lantas dicampakannya begitu saja.
Langkah Rafflesia terhenti di pintu berwarna putih. Sebelum membuka pintu itu Rafflesia menilik sekilas arloji dipergelangan tangannya. Pukul 08.37.
Great, Rafflesia lo emang sekeren itu.
Sudut bibir gadis itu terangkat, merasa puas apa yang dilakukannya ini. Dan kira-kira apa hukuman yang akan menantinya? Dengan senyum yang tersungging dibibirnya, Rafflesia mendorong pintu itu.
"Keluar." Nada dingin serta delikan seluruh pasang mata penghuni kelas itu menyambutnya.
Rara terkekeh kecil sambil melepas tangannya dari hendle pintu, lantas memundurkan langkahnya hingga berada diluar kelas. Kedua tangannya kini terangkat seperti seorang buron yang tertangkap basah sedang melakukan kembali kejahatan.
"Kamu pikir terlambat satu jam tiga puluh tujuh menit itu lelucon?!" Bola mata sang guru Botak membeliak marah dibalik kacamata minusnya. Wajah guru itu memerah, menandakan luapan emosi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Membuat sebagian murid dikelasnya bergidik ngeri.
Tapi dengan tidak warasnya Rafflesia malah menganggap itu menggemaskan. Dalam otak cantiknya, wajah itu digambarkan Rafflesia seperti kartun-kartun idolanya. Muka yang memerah dengan asap yang menguap dari kedua telinga dan hidungnya. Oh, dan jalan lupakan kepala yang meluncur keatas karena ledakan emosinya.
Tawa gadis itu meluncur begitu saja. Sementara cibiran mulai berdenging memekan kelas.
"Rafflesia!"
Rafflesia seketika bungkam, lantas menggedikan bahunya acuh menjawab bentakan menggelegar itu.
"Keluar kamu dari kelas saya!"
Rara mengangkat sebelah alisnya bingung. Lalu menunduk melihat kakinya yang terbalut sepatu putihnya berada beberapa inci dari garis pintu. "Saya udah diluar." Katanya sembari menggerakan sepatunya.
Hembusan napas guru itu terbuang kasar. Hanya karena satu orang murid gilanya, jantungnya berdetak menyakitkan. Napasnya tersendat-sendat lantaran kekesalan yang bersarang di dadanya. Suara hentakan buku mendarat keras di meja. Membuat murid kelas itu memekik kaget.
"Selama dua kali pertemuan, saya tidak izinkan kamu masuk! Dan sebagai hukumannya kamu harus mengepel lorong yang di gedung ini selama jam kelas saya!"
"Anjirr pak?!"
"RAFFLESIA!"
"Ih saya kan cuma terlambat satu jam doang pa." Rafflesia melengos sambil kembali mengangkat tangan. Menyerah dengan semua kegilaan gurunya memberi hukuman.
Oh, ayolah. Rafflesia hanya terlambat satu jam tiga puluh tujuh menit! Bukankah kata orang-orang bijak, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Apa gurunya tidak memahami kalimat itu?
"Pergi sekarang dan laksanakan hukumannya. Pak David akan mengawasi kamu."
"Enggak, gak! Saya bukan anak kecil ya yang kudu diawasin, apalagi diawasin sama guru mesum macem Pak David. Eeww, enggak deh makasih."
Masih jelas diingatannya, ketika dirinya tengah duduk di depan kelasnya ini. Saat itu keadaan sekolah memang sepi karena bel pulang sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu. Sembari menyecroll timeline instagramnya dia menunggu kekasihnya yang berjanji menjemput.
Fokusnya teralihkan sepenuhnya ke ponsel yang dipegangnya, kala sebuah tangan mengelus lutut dan sebagian pahanya yang tidak tertutupi rok. Rafflesia berjengit kaget, dirinya berdiri dengan gerakan cepat. Pandangannya langsung menajam menatap guru BK itu.
Dengan suara paraunya si guru bertanya, kenapa dirinya belum pulang. Dan detik itu juga umpatan-umpatan kasar meluncur dari bibir gadis itu. Dan jangan lupakan tendangannya ke tulang kering guru mesum itu.
Sedikitnya Rara menyesali tindakannya, seharusnya bukan tulang kering yang menjadi sasarannya, tapi aset masa depan guru mesum itu.
Ohhh, jangan berpikir Rafflesia diam saja saat tangan kurang ajar guru terhormatnya menggerayangi pahanya. Esoknya dia melapor ke kepala sekolah, dan guru mesum itu mendapat teguran dan skorshing. Rafflesia puas? Tidak, sama sekali tidak. Tapi ya sudahlah. Beruntung, setelah kejadian itu guru mesum itu tidak berani menampakan batang hidungnya dihadapan Rafflesia.
Walaupun David sudah mendapat hukuman dari kepala yayasan, tapi sampai sekarang Rafflesia tidak akan melupakan kejadian menjijikan itu.
Tapi, ujaran dan tatapan kebencian menyerang Rara. Meraka adalah yang menamai diri mereka sebagai fans dari guru BK itu. Apa Rafflesia belum bilang bahwa guru cabul itu adalah seorang pria tampan?
Maka itu memang benar. Umurnya terbilang masih muda, 26 tahun. Single, mapan, dan tampan. Maka wajar saja saat hampir seluruh kaum hawa disekolah ini mengaguminya dan berebut mencari perhatian pada guru itu. Tolong kecualikan dirinya, karena untuk melihatnya saja Rafflesia sudah medecih jijik.
"Rafflesia." Panggilan itu terdengar lemah. Guru botaknya kini tengah memijit keningnya lelah. Sebenarnya nama guru itu adalah, Zainudin. Hanya karena kepalanya yang pelontos murid-murid mengenalnya dengan sebutan Bapak Botak. Tapi tentu saja mereka tidak akan memanggi pak Zain dengan sebutan Bapak botak. Mereka masih waras, dan pendidikan etika yang diajarkan orang tua dan guru masih tertanam diotak mereka.
"Siap pak botak!" Kecualikan lagi gadis tidak waras ini.
***
Rafflesia masih menjejakan kakinya di tempat yang sama. Bedanya, sekarang badannya sudah berputar seratus delapan puluh derajat menghadap tong sampah didepan kelasnya. Dahinya mengerut jijik, bau dari tumpukan sampah itu membuat dia mual. Astaga, siapa yang bertugas piket hari ini.
Dengan kesal, Rafflesia kembali memutar tubuhnya melangkah ke arah pintu kelas yang sudah tertutup rapat.
"Heh lo pada gak ada yang piket yaa?! Jorok banget njirr!" Sembur Rafflesia pada seluruh teman kelasnya, setelah membuka pintu dengan keras.
"Sekarang hari rabu, lo yang piket." Rafflesia lupa siapa namanya cowok si pemilik suara itu.
Kepalanya masih melongok ke dalam kelas, dengan kedua tangannya berpegangan di kusen dan handle pintu. Rafflesia mengangkat sebelah alisnya, mengingat apa benar sekarang jadwalnya untuk piket.
Namun di otak cantiknya tidak ada ingatan bahwa sekarang adalah harinya untuk piket. Entah dirinya yang memang sengaja tidak menyimpan itu dalam ingatan jangka panjangnya.
"Rafflesia." Panggilan lelah itu kembali terlontar dari bibir berkumis pak Zain.
"Bentar Pak! Ini mereka malesnya astagaaaa! Heh emangnya yang piket gue doang apa?! Pantesan Jakarta banjir mulu, orang-orangnya yang ngehuninya macem lo pada! Males banget buang sampah!"
"Kita-kita udah piket tinggal lo doang yang belum onenggg, tuh sisanya lo yang bersiin." Ucap seorang cewek berambut coklat yang sangat Rafflesia kenali.
Rafflesia mendelik pada Luna -sahabatnya- dan siap melemparkan umpatan ketika Pak Zain menyela. "Pergi dan laksanakan tugas kamu, atau saya tambah hukumannya."
"Ishh."
"Mamam tuh sampah" Ucapan itu memang pelan, tapi kuping Rafflesia masih berfungsi sangat baik. Maka sebelum menutup pintunya secara keras, Rafflesia mengacungkan jari tengahnya yang ditunjukan untuk Luna.
Dan.
Bedebum!
***
semoga suka yaa..
Jangan lupa klik bintangnya gess☺
👇
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafflesia
Teen FictionNamanya Rafflesia, hanya Rafflesia tidak ada tambahan nama dibelakangnya. Cukup singkat dan menyebalkan. Hidupnya layaknya bunga raksasa Rafflesia Arnoldi, kecantikan dan kesempurnaan yang dimiliknya tidak dapat menyembunyikan bau busuk hidupnya hin...