Di dunia ini hanya ada empat yang Rafflesia sukai.
Satu. Uang, hidupnya akan terasa seperti di neraka tanpa adanya benda itu. Jika ada yang mengatakan uang bukan segalanya, maka percayalah orang itu tidak tahu artinya hidup.
Dua. Kebebasan, jangan percaya pada kalimat bahwa kebebasan akan menjerumuskanmu. Karena sesungguhnya kebebasan justru membawamu ke kebahagiaannya yang kalian cari dan tak ternilai. Apa enaknya hidup terkukung oleh aturan?
Tiga. Cogan aka cowok ganteng. Tidak usah munafik kalian juga pasti penggila cowok tampan.
Empat. Berjalan tidak tentu arah seperti sekarang ini. Tidak alasan. Dia hanya menyukainya.
Sembari menepis peluh-peluh yang mengucur di dahinya, Rafflesia menarik napasnya dalam. Entah sudah seberapa jauh dia melangkahkan kakinya hingga akhirnya Rafflesia terpaksa berhenti karena sendal jepitnya putus. Di bawah sinar matahari pukul sebelas siang -mungkin- Rafflesia terduduk begitu saja di trotoar. Mengabaikan lirikan penasaran dari orang-orang yang berlalu lalang.
Rafflesia memberenggut menatap kakinya yang terasa terbakar lantaran sendal jepit milik Bi Sari yang sudah menipis. Tadi dia mana sempat berpikir untuk memakai sepatunya dulu sebelum kabur. Jangankan sepatu, dompet saja yang merupakan barang penting dia lupakan. Dirasa sendal itu sudah tidak layak pakai, Rafflesia melepasnya kemudian melemparnya ke tong sampah. Kini dirinya tampak seperti orang gila, rambut yang acak-acakan, seragam sekolahnya yang berantakan dan kaki tanpa alas.
"Rara?"
Rafflesia berbalik "Om Tama!" Serunya lantas menghampiri mobil Fortuner yang berhenti di sisi jalan. "Om lagi ngapain disini?"
Pria paruh baya yang dipanggil Tama itu terkekeh, "Harusnya om yang tanya, kamu ngapain disini? Kamu bolos lagi ya?"
Rafflesia menyengir, "bosen ah om, tiap hari disuruh belajar terus."
Om Tama menggeleng. "Terus sekarang mau kemana?" Tanyanya dan dijawab Rafflesia oleh gelengan. "gak tau."
"Yaudah naik, ikut om ke rumah aja. kebetulan om mau pulang sebentar."
Senyum Rafflesia merekah, langsung saja dia membuka pintu mobilnya dan duduk di samping pria itu. "Eh emang tante ada di rumah om? Nanti disana Rara malah sendirian lagi."
"Harusnya si bentar lagi juga pulang." Jawab om Tama sembari melirik jam tangannya. "Loh kamu nyeker?"
"Sendalnya putus om." Katanya seraya terkekeh.
"Kamu ini ada-ada aja."
Om Tama ini merupakan Ayahnya Alvin. Sebenarnya dulu keluarga Alvin adalah tetangganya. Semenjak itu pula dirinya dan Alvin menjadi teman, selain itu dia juga sangat dekat dengan kedua orang tuanya. Rasanya dulu hampir setiap hari dia berkunjung ke rumah keluarga itu. Karena ibunya jarang di rumah dia jadi kesepian, lantas mengasingkan diri ke rumah mereka. Keluarga itu hangat, membuatnya betah untuk berlama-lama singgah.
Meski mereka berpindah rumah, hubungan mereka tetap terjalin baik. Rafflesia cukup sering mengunjungi rumah mereka. Terkadang dia juga menginap.
"Nah itu mobilnya tante, dia udah pulang."
Rafflesia mengikuti arah pandang om Tama. Benar saja sebuah mobil putih yang biasa tante Ririn kendarai terparkir di halaman luas rumah itu. Rafflesia meloncat turun ketika mobil yang dikendarai om Tama berhenti di samping mobil sang istri.
"Tanteeee!" Teriaknya begitu memasuki rumah.
"loh loh.. anak gadisnya tante kenapa gak sekolah?" Tante Ririn muncul dari arah dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafflesia
Teen FictionNamanya Rafflesia, hanya Rafflesia tidak ada tambahan nama dibelakangnya. Cukup singkat dan menyebalkan. Hidupnya layaknya bunga raksasa Rafflesia Arnoldi, kecantikan dan kesempurnaan yang dimiliknya tidak dapat menyembunyikan bau busuk hidupnya hin...