Antidote|2

310 79 9
                                    

Selamat hari kesehatan mental.
Kalau ada apa-apa cerita ya, semisal tidak ada orang yang kamu percaya untuk menyimpan keluhmu, ada Allah yang bukan hanya bersedia mendengarmu tapi juga menenangkan hatimu.
Karena beberapa masalah yang susah sekali selesai, butuhnya hanya tenang.

Happy reading ❤

Aku tidak bisa berdiam diri saja di rumah. Sejak seminggu lalu, aku sibuk mencari kerja entah melalui media online maupun berkeliling ke manapun setelah kuliah. Kalau ditanya kenapa aku sebegini gigihnya, jawabanku "karena kalau aku berhenti, hidup keluargaku juga berhenti."

Ayah tiriku bekerja serabutan di toko kelontong milik seseorang keturunan Chinese. Dengan upah kurang dari dua juta perbulan. Cukup untuk biaya obat Bagas, memberi jatah makan Ibu lima ratus ribu dan sisanya untuknya berjudi.

Beruntung kami tidak memiliki cicilan tempat tinggal, karena kadang untuk membayar listrik dan air saja kami sering telat.

"Dapat kerjanya, Han?"

Aku mengeleng, kemudian menghempaskan tubuhku di atas kursi ruang tamu.

"Kan Ayah sudah bilang kalau kamu enggak kuliah, biayanya lumayan buat keperluan yang lain," ucap Ayah kemudian, napasku terhela ringan karena tiba-tiba sesak sekali.
Agak sulit mencari pekerjaan paruh waktu yang bisa dilakukan sembari kuliah.

"Tapi Jihan mau kuliah, Yah."

"Nggak ada jaminan sarjana bisa dapat kerjaan bagus. Yang kuliah juga banyak yang nganggur sekarang."

Dalam keadaan badanku yang capek, dicampur kepalaku memikirkan banyak hal membuat emosiku mudah tersulut. "Ya memang, tapi apa salah kalau Jihan mengusahakan masa depan Jihan sendiri?" tanyaku dengan nada suara tinggi. "Kuliah memang bukan jaminan, tapi setidaknya itu salah satu cara Jihan belajar dan mendapat banyak relasi. Apa salah kalau Jihan membangun mimpi sendiri?"

"Kamu perempuan, ujung-ujungnya hanya akan di rumah merawat anak. Jangan terlalu ambisius, Han. Sadar diri kita orang enggak punya."

Kepalaku rasanya kian mendidih, mengabaikan wajah Bagas yang ketakutan berada di antara kami.

Ibu juga tengah duduk di samping Ayah. Karena kesal, aku membanting tasku, "Kenapa sih, selalu Jihan yang disuruh sadar? Apa engga cukup Jihan kerja juga buat bantu keluarga kita? Jihan akan tetap bantu kerja buat biaya makan kita tapi jangan sentuh keinginan Jihan buat kuliah!"

Ibu menatapku terkejut, mungkin karena selama ini aku tak pernah berkata keras atau bahkan bilang jika aku lelah.

"Jihan capek, di saat teman-teman Jihan di luar sana bisa menikmati waktunya buat main, Jihan harus kerja. Oke, nggak apa-apa. Barang kali Jihan nggak bisa menyamakan nasib dengan orang lain. Tapi kali ini aja coba ngerti, Jihan capek, Bu!"

Ibu berusaha berdiri susah payah, sakit komplikasi Ibu membuat beliau terkadang hanya bisa tiduran di kamar. Atau semisal keadaan badannya baik, dia minta duduk di teras rumah untuk mencari udara.

"Maafkan Ibu, Jihan," kalimat itu membuat hatiku terasa tertohok.
"Ayah dan Ibu cuma kasian kalau kamu harus membagi waktu buat kerja dan kuliah. Belum usaha hampersmu kalau lagi banyak. Maksud Ayah, supaya kamu bisa menikmati uangmu, tidak melulu habis buat kuliah."

"Bukan itu, Bu. Maksud Ayah supaya duitnya utuh buat judi!"

Wajah Ayah berubah mengeras, aku tahu dia tengah memendam marahnya sekarang. Bahkan ketika tangan kasarnya mengayun untuk menampar pipiku, aku masih belum juga bisa menangis.

Yang ada hanya perasaan marah, entah pada siapa. Mungkin pada keadaan yang tak kunjung berubah. Atau memang garisku harus begini?

***

Day DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang