RUNAWAYI 4

1.2K 234 40
                                    

Chapter ending.

Happy reading,Love.

Aku sedikit melihat perubahan yang berasa di diri Yayah setelah kejadian hari itu. Yayah dan Ibuk terlihat lebih banyak diam, itu juga yang dikatakan Septian.
Di rumah, Tian seperti merasa canggung tiap kali berkumpul di meja makan karena katanya nyaris tak ada obrolan.

Melihat keadaan ini aku merasa sangat bersalah. Aku sudah mengorek luka di hati mereka. Harusnya aku sadar jika ini berat untuk mereka dan aku tak boleh menambah beban itu.

Sore ini seperti biasa, pulang mengajar aku di jemput Septian. Aku sempat mengatakan jika aku harus berbicara dengan Yayah dan Ibuk. Sudah beberapa hari ini juga Deren selalu muncul di jam pulang sekolah. Tapi aku memilih mengabaikannya dan selalu pulang dengan Septian atau terkadang Dimas, –Anak Papa Lucas dan Mama Nana—

"Nggak mau nyerah juga dia, padahal kemarin ke rumah udah ditonjok Yayah," ucap Tian saat laju motornya sudah menjauh dari area sekolah.

"Yayah pukul Daren?" tanyaku terkejut.

"Iya, tapi Mas Deren diem aja. Cuma minta maaf sama Yayah dan Ibuk. Besoknya dateng lagi," balas Tian lagi, tentu itu membuatku terkejut. "Katanya bakal datang terus sampai Yayah mau maafin dia."

Begitu laju motor Tian berhenti di traficlight, aku refleks melihat spion untuk memastikan jika Deren masih mengikuti kami seperti biasa. Dia biasanya akan mengikuti kami sampai rumah, kemudian setelah kami sampai dia langsung pergi. Agak risih memang, terlebih kalau malam hari, dia suka mengirim makanan via ojek online untuk aku, Mama Nana, Dimas dan Atalla. Sebenarnya aku ingin menyuruhnya berhenti, tapi malas sekali memulai komunikasi dengannya lagi.

Pukul sepuluh malam, Yayah baru pulang dari kedai. Sebelum bicara bertiga, aku sudah lebih dulu berbicara dengan Ibuk tentang keinginanku berbicara.

Cuaca di Jogja belakangan ini memang sedang masuk musim penghujan. Sewaktu Yayah pulang tadi saja, hujan lebat bercampur dengan petir.

Sembari minum jahe hangat bikinan Ibuk, kami bertiga ngobrol banyak hal sampai di mana tema obrolan kami menyinggung ketakutanku berkomitmen. Untuk pertama kalinya aku berani jujur apa yang terjadi padaku dan apa yang aku rasakan. Ibuk dan Yayah tidak ada yang menyela selama aku berbicara.

"Sebenarnya, ini hanya soal Shasa yang belum bisa berdamai aja sama hati Shasa sendiri," ujar Yayah kemudian. Saat Yayah membuka kaca mata dan memijit pelipisnya. Aku tahu, Yayah sedang memikirkan banyak hal.

"Mungkin," jawabku setuju, "Shasa terkadang merasa takut. Apa lagi kalau keluarga suami Shasa nantinya nggak bisa terima itu, Yah."

"Kalau begitu, kenali keluarganya dulu, kak. Ibu sih punya keyakinan kalau dunia masih punya orang baik. Nggak semua orang akan menilai buruknya masalalu Ibu dan Yayah. Mereka bisa terima kamu karena kamu memang baik dan bisa jadi istri yang baik juga." Imbuh Ibu kemudian.

"Yayah dan Ibu aja kalau gitu yang cariin. Shasa udah malas buang-buang waktu buat pacaran."

Entah apa yang lucu, tapi Yayah kemudian tertawa. Beliau mengusap kepalaku penuh kasih sayang, "Kakak aja yang bawa teman Kakak ke rumah. Kalau kakak yakin sama pilihannya, nanti Yayah yang uji seberapa sayang dia sama Kakak."

"Yah, siapa yang mau diuji, pacar aja Shasa nggak punya."

Tawa Yayah kian keras, wajahnya sudah mulai berubah cerah lagi meski tak bisa menghilangkan keriput di sekitar bawah matanya.

"Kakak masih mencintai Deren?

"Nggak! Apaan sih, Yah," sahutku sembari mengeleng cepat.

Enak aja, mulut pedas kayak Deren begitu disukai.

Day DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang