RUNAWAYI3

1.1K 264 57
                                    

Siapkan tissue dan cemilan. Happy reading, Love.





Sepanjang kehidupan, aku tidak pernah diajarkan membenci orang lain apapun alasannya. Orang tuaku selalu mengajarkan jika memaafkan tidak butuh alasan. Karena terbiasa dari kecil begitu, aku begitu kesusahan ketika terjebak dalam suatu keadaan, di mana aku kesulitan melupakan bagaimana orang lain menoreh luka di hati. Terlebih, orang itu adalah orang yang kupercaya sebelumnya. Orang yang secara tak sadar kupilih untuk membahagiakanku. Sayangnya, memang salah meletakan kebahagiaan kita menjadi tanggung jawab orang lain. Karena ketika dia tidak bisa mengekspektasikan itu, maka tidak ada yang memelukku kecuali diri sendiri.

Deren adalah alasan kenapa aku menjadi takut sekali berkomitmen. Sayangnya aku tidak pernah berani jujur pada Ibuk, bunda maupun Mama. Aku bukan tidak tahu, jika mereka sebenarnya menyimpan kekhawatiran tentang masa depanku. Tapi untuk sekarang, dan entah sampai kapan, aku hanya tidak ingin memaksa hatiku untuk menerima sesuatu yang kutakutkan; kegagalan.

Seseorang yang kusebut Ibuk dan Yayah, mereka adalah orang tua kandungku. Aku ada karena mereka, hanya sayangnya, aku terlahir sebelum mereka menikah. Sedangkan Papa Tama dan Bunda, merekalah yang mengadopsiku sejak aku lahir. Agak aneh memang, tapi ketika Ibuk ayah menjelaskan kenapa aku harus mengalami ini, pada akhirnya aku juga coba memaklumi.

Aku berbeda, tapi tak mengurangi rasa syukurku memiliki banyak orang tua. Hanya terkadang pandangan orang perihal anak di luar pernikahan tetap saja tidak ramah.

***

Malam itu aku sedang menginap di rumah Ibuk karena besok hari libur.
Kami memiliki kebiasaan nonton di rumah saat malam libur. Tanpa kuduga, Deren kembali datang. Kata Ibuk sudah dua malam Deren selalu berkunjung. Hanya bedanya kali ini Deren tidak sendiri, dia membawa serta kedua orang tuanya untuk datang. Baik Ibuk atau Yayah, mereka juga kaget begitu dia menyampaikan niatnya datang. Hingga kemudian, aku dengan alasan sekenanya menolak lamaran Daren. Tapi, bukan menyerah, dia malah justru bilang, "Nggak apa-apa, Sha. Aku akan nunggu sampai kamu siap."

Kemudian yang kusesalkan adalah emosi Tian yang tak terkendali. Dia marah di depan Yayah bahkan memaki Deren.

"Kakakku nggak mau dan nggak akan mau. Jangan keras kepala, Mas!"

"Tian! jangan bicara begitu, nggak sopan," tegur Yayah, tapi nyatanya adikku itu memang memiliki sifat yang sedikit keras.

"Biarin aja! Asal Yayah tahu,dia yang udah patahin hati Kakak. Dia yang udah bikin Kakak nangis, karena anak haram nggak pantes dikasih ketulusan."

Yayah dan Ibuk kompak menoleh padaku seakan meminta penjelasan. Sayangnya aku bingung hendak bicara apa selain pengin marahin Tian karena sudah membocorkan masalahku di depan mereka.

"Bapak, Ibu dan Deren. Saya tidak bisa memutuskan ini sendirian, bagaimanapun keputusan ini ada di tangan Shasa. Kalau dia belum bisa, mungkin baiknya Deren cari perempuan lain," ujar Yayah bijaksana. Sedang raut wajah Ibu sudah memerah, seperti menahan amarah atau mungkin tangis.

"Tapi saya serius meminta maaf dan mau Shasa jadi perempuan terakhir dalam hidup saya, Yah." Suara Deren terdengar sedikit gemetar, mungkin ini adalah kali pertama Yayah menolak Deren. Biasanya mereka selalu kompak membujukku.

Deren memang dulu sudah sedekat itu sama Yayah sehingga dia tak canggung lagi memanggil Yayah sama seperti kami juga.

"Deren, Yayah minta maaf. Keputusan tetap ada di Shasa."

Tidak lupa, Yayah juga menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Deren, meski sepertinya mereka juga sedikit tersinggung dengan penolakanku.

Setelah mereka pulang, aku bergegas ke kamar. Melupakan rencana awal kami nonton film terbaru koleksi Ibuk dan memilih sendiri mengesampingkan keresahanku.

Kenapa setelah menolak lamaran Deren, hatiku justru terasa kian sakit.

Kenapa rasanya sulit berdamai dengan hatiku sendiri? Padahal untuk melangkah maju, artinya kita harus rela melepaskan masalalu kan?

Pelukan Ibuk rasanya semakin membuatku tak berdaya. Aku mengaku kalah dengan ketakutanku sendiri.

"Jadi karena Ibu dan Yayah, ya, Kak?" tanya Ibu setelah sekian lama kami diam.

"Nggak, Shasa hanya belum siap aja, Buk."

Barang kali, Ibuk tahu jika aku sedang berbohong. Atau Ibuk sebenarnya juga sedang terluka. Hanya sama sepertiku, beliau menutupinya.

Di ujung ranjang, Yayah memijit kakiku pelan. Sama seperti kebiasaannya saat aku kecil dulu sebelum kami tidur bertiga. Yayah tidak berbicara apapun selain tangannya kian aktif memijit jari-jari kakiku kemudian pindah ke telapak kaki. Mungkin Yayah berharap aku sedikit rileks, sayangnya pertanyaan Ibuk justru membuatku kian sakit.

"Seberapa parah mereka sakitin hati Kakak?" Saat suara Ibu terdengar lirih, aku kian terisak, "Pasti dalam banget sampai bikin Kakak ketakutan begini."

"Kakak kenapa nggak pernah bilang?" tanya Ibuk sembari terus memelukku, "Ya Tuhan, ternyata Ibu dan Yayah yang sudah begitu sakiti hati Kakak."

"Buk, enggak. Shasa yang salah karena nggak bisa melepaskan rasa sakit itu. Padahal, mau terlahir dengan cara apa, Ibuk dan Yayah sudah kasih yang terbaik buat Shasa."

Tapi bukannya berhenti menangis, Ibuk malah memelukku kian erat dengan gunggaman kata maaf yang tak pernah putus.

"Ampuni Ibu dan Yayah ya, Kak."

Arrrgh! Aku tak suka ini, aku tak suka melihat Ibu menangis, apa lagi aku yang menjadi alasannya.

"Kak, Ibu nggak tahu mesti lakukan apa untuk sembuhin luka di hati Kakak. Tapi, satu hal yang mesti Kakak tahu, kakak itu berhak bahagia. Kakak bukan orang yang harus tanggung jawab atas kesalahan masalalu Ibu dan Yayah. Kakak bukan anak haram, nggak ada istilah itu. Kelakuan Ibu dan Yayah yang salah. Memiliki kakak bukan sesuatu yang kami sesali, Kak."

Aku ingin menghentikan ucapan Ibu, tapi hatiku rasanya terlalu sakit sekarang. Salahku yang menyembunyikan ini sendirian, hingga begitu terbongkar, sakitku rasanya bertubi-tubi.

"Shasa nggak marah. Shasa hanya ragu, apa dunia ini ada lelaki yang bisa menerima baik buruknya Shasa, Buk. Bagai mana mereka berani menerima Shasa apa adanya sekalipun tau gimana masalalu Shasa."

"Ada," sahut Ibu cepat, "Ada. Karena kakak orang baik. Kakak harus dan berhak bahagia,"

"Ibu dan Yayah mau pilihkan jodoh untuk Shasa? Siapapun Shasa akan terima asal itu pilihan Ibu."

Selesai mengatakan itu, aku melihat Yayah mengangkat kepalanya. Matanya memerah, membuatku tahu jika diamnya Yayah sedari tadi dia juga tengah menangis. Tidak tahu mau melakukan apa agar mereka tenang, aku kemudian memilih merentangkan tangan untuk meminta pelukan Yayah dan Ibu bersama -sama.

"Pilihkan jodoh untuk Shasa, ya?"

Seperti lelucon barang kali, tapi aku percaya jika seseorang yang sudah melahirkanku tidak akan pernah salah menempatkan fellingnya. Aku percaya jika luka dihatiku akan sembuh oleh lelaki pilihan orang yang sudah menjadikanku ada; Yayah.





Kangen dia tidak?

Sampai ketemu besok malam lagi ya!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sampai ketemu besok malam lagi ya!

*Maaf untuk tipo

Love
Rum

Day DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang