Just [For] You

816 141 26
                                    

Just For You-iKON
💔
💔

Written by Rum131

𝓗𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓻𝓮𝓪𝓭𝓲𝓷𝓰 💖

Akhir-akhir ini aku merasa kian rapuh. Dunia seperti mengejarku, tapi aku tak pernah tahu sebenarnya apa yang aku cari dan apa tujuanku. Aku lelah, kakiku kian bergetar karena berlari tanpa jeda seakan tidak ada tempat untukku istirahat sebentar. Dari kecil aku adalah anak yang introver dan tertutup, aku tidak suka terlalu berekspresi tentang apapun yang kurasakan. Mungkin ini karena aku sering kali dipaksa berpikir keras oleh keadaan.

Namaku Deana, anak ke dua dari tiga bersaudara. Satu-satunya anak perempuan yang harusnya menjadi anak tengah yang kenyang oleh kasih sayang. Sayangnya, nasibku tak sebaik itu. Selayaknya anak tengah yang memiliki kewajiban menghormati Kakak laki-lakiku, aku juga punya tanggung jawab sama besarnya untuk mengalah dari adik bungsuku.

Lalu, bagaimana dengan aku? Agak aneh ketika aku jujur bahwa aku selalu cemburu pada kakakku karena dia diberikan kebebasan lebih untuk memilih apapun yang dia suka, atau bagaimana rasanya ketika Ibu selalu kerepotan belanja untuk kebutuhan si bungsu, memenuhi kebutuhan adikku dan memastikan dia hidup berkecukupan selama tinggal di asrama.

Agak terdengar aneh memang, rasa cemburu itu ada dan kian nyata seiring aku dewasa. Seperti hari itu, ketika aku diajak Ibu untuk mengunjungi adikku di asrama, tiba-tiba hatiku sakit melihat Ibu bergerak cepat membersihkan kamar Adikku, menemaninya tidur, membawa makanan banyak, vitamin dan uang jajan yang lebih dari cukup. Sementara, ketika aku yang menginap di asrama, Ibu hanya akan mengirimiku pesan jika beliau menunggu di depan gerbang dan membekaliku uang sangat kurang terlebih jika sudah memasuki tanggal tamu bulananku datang. Mulutku terlalu takut meminta, karena jika aku bilang butuh uang sedikit lebih karena kebutuhan sekolah, beliau selalu bilang, "Emang uang tinggal metik?" tapi di saat bersamaan beliau bisa membelikan si bungsu mainan.

Jika hanya sampai di situ saja mungkin aku tidak akan serapuh ini. aku adalah anak yang dipaksa mengejar ambisi Ibu. Sejak sekolah dasar, aku sudah memiliki jadwal les padat nahkan hingga malam. Kepalaku hanya boleh istirahat jika aku tidur saja. Setiap malam, Ibu selalu rajin memeriksa buku tugasku dan kalau beliau menjumpai nilai di bawah delapan puluh maka, "___tolol! Ibu sudah bayar mahal sekolah dan les kamu, kamu cuma bisa dapet nilai segini?"

Lalu sudah, maka buku itu akan berakhir menjadi dua sobekan atau Ibu akan melemparnya ke kepalaku.

Aku dituntut sempurna dengan standart nilai yang diberikan orang tuaku dan segalanya yang menurut mereka baik. Tanpa mereka sadari jika setiap manusia memiliki keterbatasan. Begitu juga aku, anaknya. Yang sudah sangat kehilangan diriku sendiri.

"Anaknya sakit jangan dipaksa sekolah." Suara Ayah terdengar begitu langkahku sudah dekat dengan ruang makan. Ayah sudah rapi di balik kemejanya kerjanya, padahal lima belas menit lalu, beliau baru memeriksaku ke kamar dan aku kesusahan bangun karena tiba-tiba badanku panas. Kemarin aku nekat menerobos hujan karena kalau pulang sekolah telat, Ibu pasti marah. Sebab di rumah sudah menunggu guru les privateku.

"Ayah yang terlalu lemah didik dia, jadi manja dia sekarang. Kena air hujan sedikit saja demam. Biarin sekolah, justru kalau dipakai tidur aja nggak akan sembuh."

Susah payah aku menelan salivaku. Sialnya meski berhasil, tapi dadaku  mendadak sangat sesak. Seperti ada gumpalan besar yang menghalangi jalan napasku.

"Nanti kenapa-kenapa di sekolah, Bu." Bujuk Ayah tak juga menyerah.

"Deana kuat, Yah. Ini udah mendingan, kok," selaku agar tak mendengaran pertengkaran sepagi ini. Aku kemudian mengambil sarapanku dan berusaha menelannya dengan susah payah karena butiran nasi terasa sakit di tenggorokan mendengar ucapan Ibu selanjutnya.

"Tuh dia juga bilang kuat, kok. Lagian dia hari ini ada ulangan matematika."

Aku enggan menjawab lagi, rasanya ingin segera berangkat sekolah saja meski di sana nanti belum tentu juga keadaanku lebih baik. Sepanjang perjalanan ke sekolah, aku menyandarkan kepalaku pada kaca jendela mobil, bukan hanya kepalaku yang berat tapi ketakutan menghindari hari selalu kurasakan setiap pagi.

Aku adalah siswa akselerasi semenjak masuk sekolah di salah satu sekolah favorit di kotaku. Hasil tes yang kuikuti semasa mendaftar akhirnya membawaku langsung loncat kelas XI. Mungkin itu juga yang membuatku semakin asing di kelas. Aku membenci mengakui kesialan ini, tapi sikap jail teman-teman sekelasku terkadang di luar batas. Bukan hanya diasingkan, aku sama sekali tidak memiliki teman karena dianggap sok pintar dan___ merebut perhatian siswa di sekolah ini.

"Dea, sudah sampai."

Sentuhan tangan Ayah di kepalaku membuatku menegakan badan. Saat aku melihat sekeliling, ternyata mobil Ayah sudah berhenti di depan sekolah. Ya Tuhan, kenapa perjalanan terasa cepat sekali?

"Kepalanya masih sakit, De?" tanya Ayah menatapku cemas.

Aku menggeleng pelan, kemudian meminta tangan Ayah untuk kucium punggung tangannya berpamitan.

"Maafkan Ayah," ujar beliau begitu aku membenarkan letak tas ransel di pundakku. "Ayah sedih lihat kamu seperti ini, tapi kamu tahu kan gimana Ibumu? Dia hanya ingin yang terbaik buat kamu aja, De."

Aku memilih mengangguk saja, karena percuma juga aku bilang kalau ini mungkin terbaik untuk Ibu tapi caranya membuatku hampir gila.

"Ayah hati-hati kerjanya," ucapku, kemudian membuka pintu mobil untuk keluar.

Sekarang, saatnya menghadapi satu kepahitan lagi. Entah kesulitan apa lagi hari ini, mungkin mereka akan mengantung sepatuku di sudut atap kelas, atau menyiramku dengan air minum di kantin.

"Pagi Deana." Sapaan itu membuatku terjengit kaget. Saat aku menoleh ke samping, laki-laki berseragam sama denganku memasang senyum lebarnya. Aku kenal dia siapa, namanya Sakti, dia adalah salah satu anggota futsal sekolah ini.

Tapi, aku sadar jika berinteraksi dengan lawan jenis hanya akan membuatku semakin dibully murid perempuan di kelasku. Untuk menghidari itu, aku kemudian bergegas berjalan lebih dulu tanpa membalas sapaannya. Aku tidak peduli terhadap apapun, karena bagiku berurusan dengan lelaki hanya akan menambah deretan penderitaan.

Aku sesungguhnya tidak pernah tahu, apa yang membuatku bahagia atau bagaimana caranya agar aku tetap waras untuk menghadapi situasi semengerikan ini. Entah keluargaku atau lingkungan sekolah yang membuatku semakin tidak memiliki rumah, yang jelas aku merasa seperti orang hidup tapi tak bernyawa. Padahal keinginanku cukup sederhana, aku ingin didengar meski pada akhirnya tidak juga akan dimengerti.




Hallo Deana, sebelum lanjut ke chapter 2 aku mau ngucapin terima kasih ke kamu karena kamu sudah percayakan aku untuk menulis dan membagikan kisahmu. Sejak kamu cerita pertama kali apa saja yang sudah kamu lewati, aku yakin di luar sana banyak sekali Deana-Deana lain yang sedang berjuang menguatkan dirinya sendiri agar tetap kuat berdiri dibawah tekanan lingkungan. Gemetar memang, tapi terima kasih sudah mau bertahan.



Publish, 12 Agustus '21
Love
Rum

Day DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang