30: Curiga

30.6K 2.5K 174
                                    


Biasanya kalau jam pelajaran olahraga, Caca tidak ikut. Dirinya hanya akan menunggu di pinggir lapangan. Ia diizinkan tidak ikut karena beralasan sakit dan juga berkat bantuan Danielo. Kalau tidak mendapat bantuan Danielo mana mungkin bisa beralasan sakit tiap minggu kan?

Namun, hari ini sepertinya tidak bisa seperti biasanya. Mereka tidak boleh izin karena harus mengambil nilai untuk mata pelajaran ini. Kalau tidak ikut, maka nilai di rapotnya akan kosong.

"Sorry ya, Ca. Gue udah coba ngomong sama pak Botak, tapi tetep gak bisa. Susah banget bapaknya kalo masalah pengambilan nilai," ucap Danielo dengan wajah sebal

"Gakpapa kok, Niel. Makasih banyak lo udah mau bantuin gue," jawab gadis itu dengan tersenyum.

"Yang, nanti sebisanya aja. Gak usah pake loncat, gak usah banyak gerak. Larinya juga pelan-pelan aja," ucap Regan mengalihkan pembicaraan kedua orang itu.

Caca mengangguk pasrah. Jujur dirinya sendiri juga takut terjadi apa-apa. Tapi mau bagaimana lagi, walaupun ada pilihan untuk tidak ikut, tetap saja ada resiko yang harus ditanggung.

Bukan hanya masalah nilai, kalau ada yang tidak ikut dalam pengambilan nilai maka nanti siap-siap untuk di panggil guru bimbingan konseling. Itu membahayakan untuk rahasia yang mereka tutupi, dan lagi lebih bahaya untuk mental Caca.

"Kenapa pake segala lari estafet sih, pasti kelompok gue kalah gara-gara gue," ucap Caca pelan.

"Tenang aja Cacantik, kita sekelompok. Kaga bakal kalah kita mah. Ada pelari ulung disini," timpal Bagas sombong.

Kali ini Bagas tidak membual. Ia memang pelari ulung. Lelaki itu adalah sprinter andalan di Armajaya.

"Shombwong amat lo," cibir Ardi kepada Bagas.

"Kok bisa sekelompok?" tanya Caca bingung.

Rafa lalu mendekat merangkul Danielo, "Nih berkat si Bos. Dia minta pak Botak buat milih kelompoknya berdasarkan nomer absensi."

Caca manggut-manggut, walaupun gadis itu tidak sekelompok dengan Regan, gadis itu masih bersyukur karena bisa sekelompok dengan 3 orang itu, Ardi, Bagas, dan Danielo. Jadi tidak akan ada yang menyalahkan dirinya.

"Kalo lo ada yang keberatan satu kelompok sama Caca, biar tukeran sama gue."

"Dih. Enak aja, gak bisa ya. Bilang aja lo ngiri. Tim kita berenam, lo cuma berempat, takut kalah kan lo?!" sinis Ardi kepada Regan.

Ardi lalu berjalan kearah Caca yang sedang duduk di kursinya. Lelaki itu berjongkok disamping gadis itu lalu mendekatkan wajahnya ke perut Caca.

Regan yang memang duduk didepan Caca langsung menoyor kepala Ardi hingga terjengkang kebelakang, "Jangan ngomong sama anak gue!" ketus lelaki itu.

"Pelit amat bapak lo, Nyil," sungut Ardi.

Regan menatap tajam kearah Ardi. Enak saja anaknya dipanggil Unyil, gak ada panggilan yang lebih keren apa?

"Kasian ponakan gue, ngomong sama lo bisa kena sawan," cibir Danielo.

"Wah, bener-bener ya b—"

"Woy, disuruh pak Botak ke lapangan!" teriak salah satu teman kelas mereka dari arah luar.

Caca sontak menghembuskan napas pasrah. Melihat kearah perutnya, mengusapnya dengan sayang. "Bantuin mama ya, Sayang. Kalian baik-baik didalem," lirihnya.

"Pasti bisa. Tenang aja mereka kan anak-anak kuat," balas Regan lalu mengecup perut gadis itu.

Semua sudah berbaris rapi di lapangan. Guru yang dipanggil pak Botak itu sudah berdiri didepan mereka.

REGANTARA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang