September Rain #3

47 2 0
                                    

     Semua suara mulai dari teriakan pedagang, alunan musik yang dimainkan lewat megaphone, lagu senam yang begitu kencang diikuti peserta senam yang sangat banyak dan yang mengikuti senam tersebut bercampur mulai dari komunitas, grup senam warga, bahkan ada yang perorangan pun turut mengikuti gerakan dari instruktur senam ini. Tempat yang begitu luas ini pada dasarnya adalah sebuah training center olahraga yang dikhususkan untuk militer, namun terbuka juga untuk umum saat tidak digunakan, bahkan ditempat ini sering di adakan konser musik yang besar dan dihiasi seniman lokal maupun band luar kota yang sudah sering tampil dilayar televisi. Bahkan dibeberapa event, jalan di area ini juga sering dibentuk sebuah sirkuit kejuaraan balap motor berbagai kelas, dan dihari biasa jalan disini sering digunakan warga yang sedang belajar berkendara. Dan tepat ditengah terdapat lapangan luas seukuran dua kali lapangan sepak bola, di sekeliling ada arena untuk lari, dan juga banyak berbagai halang rintang untuk latihan militer. Tentunya bagian tengah merupakan lapangan rumput untuk bermain bola, bahkan lapangan ini juga tak jarang dipakai berlatih oleh tim sepak bola lokal yang melegenda. kemudian dibelakang juga ada beberapa lapang untuk bermain voli dan juga badminton, lengkap dengan kolam renang. Berbagai monumen dan patung besar berdiri diberbagai sudut, dan tempat ini makin ramai tatkala sudah beberapa kali diliput oleh reporter televisi dan media cetak.

Namun khusus hari minggu, tempat yang megah ini penuh diisi oleh para pedagang pasar tumpah, sehingga banyak yang memanfaatkan momentum yang sangat menguntungkan ini.  Tak ketinggalan abah Ipin, dia membawa aneka kerupuk untuk dijajakan disini, ada kerupuk kulit, jengkol, gurilem, dorokdok, blek, dan lain-lain. Abah Ipin hanya sebagai reseller, dia tidak memproduksi semua kerupuk ini, melainkan dia hanya ikut menjualkan produksi hasil dari pabrik kerupuk disekitar rumah nya. Hari-harinya dengan kekurangannya dalam melihat abah Ipin menjajakan dagangannya dengan berkeliling cukup jauh, bahkan abah Ipin bisa menjelajah jalan raya satu kecamatan dalam sehari. Dengan hanya bantuan dari tongkat untuk merasakan jalan yang akan dilewatinya, abah Ipin menyusuri tiap trotoar jalan yang terbilang sangat ramai kendaraan, hal itu sangatlah riskan untuk dilakukan sebenarnya. Saat pertama kali melihat abah Ipin yang sedang berjalan sambil membentur-benturkan tongkat nya ke trotoar, saat itu hatiku langsung terenyuh, pikiranku langsung menghardik pedas pada anak-anak dari bapak tua ini. Kemana mereka, dengan usia dan kekurangannya dia masih dibiarkan berjualan dengan penuh resiko selain dari pada panasnya jalanan kota yang penuh polusi dan ramai kendaraan ini. Mataku panas melihat pemandangan ini, entah mengapa aku begitu marah, padahal aku tak tahu sebenarnya apa yang terjadi pada keluarga bapak tua itu. Yang kutahu adalah seorang bapak tua yang tak bisa melihat masih harus berpanas-panasan dan berjalan dalam ketegaran diantara hiruk-pikuk jalanan kota yang sangat berdebu. Tanpa tahu apa yang sedang dihadapinya, dalam terik matahari dia bertarung dengan gelap berusaha mencari secercah cahaya untuk menghidupi keluarganya di rumah. Karena kalau tidak begitu mungkin keluarga yang sedang ia perjuangkan bisa kelaparan, aku tak henti-hentinya marah pada apa yang sedang ku saksikan saat itu, dan lebih marahnya lagi yang kulakukan hanya terpaku melihati dan mengawasi perjuangan bapak tua itu takut jikalau ada kejadian yang membahayakan baginya. Sampai akhirnya dia beristirahat disebuah gubuk kecil di areal pemakaman, keringat nya sudah seperti air hujan yang mengguyurnya cukup lama, basah kuyup. Dia mengipas-ngipaskan topi khas nya untuk mendinginkan tubuhnya yang sudah kemerahan dibakar sinar matahari, dia kini hanya diam dan menghitung uang hasil dia berjualan. Dengan dada yang masih sesak aku menghampiri bapak tua itu, dengan ramah bapak tua itu menyahut panggilanku dengan sangat ramah dan membuat mataku tanpa sengaja malah mengeluarkan air mata. Kami mengobrol cukup lama, dari situ aku bertanya-tanya tentang perjalanan hidup abah Ipin dan keadaan keluarganya saat ini, tak ada rahut kesedihan dan penyesalan sedikitpun. Abah Ipin seakan sudah pasrah dan melakukan apa yang dia bisa agar dirinya dan keluarga yang ia cintai bisa tetap menjalani hidup.
Sementara kami mengobrol ada pedagang Siomay Cuangki yang lewat, dan aku memaksa abah Ipin makan Cuangki bersamaku saat itu, karena saat kutanya dia belum makan siang dan bahkan hanya sarapan roti tadi pagi. Dia hanya makan sekali sehari saat malam bersama keluarganya di rumah, katanya uang nya hanya cukup untuk itu. Namun kutahu pasti berjalan dengan cukup jauh sedari pagi pasti sangat menguras tenaga, apalagi abah Ipin harus selalu berkonsentrasi pada jalan yang ia lalui. Akan sangat berbahaya jika dia tetap berjalan dalam keadaan lapar, dengan terus memaksa akhirnya abah Ipin mengiyakan dan kami makan Cuangki yang ditambahi Mie Instan disitu. Meskipun aku sebenarnya sudah mengajak nya untuk makan di warteg namun dia terus menolak, tapi saat ku tawari makan Cuangki abah Ipin akhirnya mau. Yang penting ada untuk mengganjal perutnya pikirku. Setelah selesai makan aku berinisiatif menawarkan abah Ipin untuk berjualan di pasar tumpah yang selalu ramai dihari minggu, abah Ipin awalnya menolak karena berbagai hal, namun setelah aku menjelaskan kalau di sana selalu ramai dengan orang abah Ipin pun mengiyakan dari pada hanya berjualan di jalan yang tidak selalu ramai orang. Apalagi di hari minggu kata abah Ipin juga memang selalu sepi dari pada hari biasanya, mungkin karena kebanyakan orang dihari minggu menghabiskan waktu untuk jalan-jalan ke berbagai tempat.
Sekarang sudah tiga bulan sejak aku bertemu abah Ipin untuk pertama kali, dan setiap minggu aku selalu ke pasar tumpah ini jika sedang senggang dan membantu abah Ipin untuk berjualan dan ikut mempromosikan dagangannya pada orang-orang di sana. Dan hasilnya sangat memuaskan, kata abah Ipin penghasilannya saat berjualan disini bisa sampai sepuluh kali lipat dibanding berjualan dijalan. Karena memang banyak yang melirik dagangan abah Ipin, kerupuk-kerupuk ini merupakan makanan ringan yang bervariasi bisa juga untuk teman makanan lainya dengan harga yang sangat terjangkau. Dan tidak banyak juga yang berdagang hal serupa dengan abah Ipin, sehingga dagangan abah Ipin laris menjadi target buruan untuk dimakan ditempat atau pun untuk oleh-oleh, bahkan sudah ada belasan pelanggan tetap yang selalu sengaja datang untuk membeli kerupuk nya abah Ipin, dan tak sedikit yang berasal dari luar kota.
Hari minggu diawal bulan seperti ini adalah saat dimana lapangan ini akan sangat penuh, karena kebanyakan ada yang baru saja menerima gaji dipekerjaannya. Apalagi dengan cuaca yang cerah seperti sekarang tak mungkin dilewatkan oleh mereka yang menjadikan tempat ini sebagai rekreasi dan berburu barang murah. Kami menuju lapak yang sudah biasa kami tempati, di area tengah dekat dengan lintasan lari. Tempat ini cukup strategis karena dekat juga dengan stand-stand makanan seperti Bakso, Mie Ayam, Nasi kuning dan lain-lain. Dimana kerupuk adalah makanan ringan yang sangat cocok untuk menemani saat menyantap makanan-makanan ini. Kali ini abah Ipin ditemani oleh cucunya untuk kedua kali, minggu lalu cucunya ikut membantu abah Ipin berjualan. Katanya tidak ingin selalu merepotkan ku yang selalu membantu setiap abah berjualan disini, padahal aku tak merasa keberatan karena selain aku senggang dihari minggu, aku merasakan pengalaman baru meskipun hanya membantu berjualan, pengalaman dimana menjajakan dagangan pada orang-orang dan melakukan transaksi ternyata sangat seru. Dari sini aku belajar untung dan rugi dalam berdagang, hingga aku mencoba juga untuk berjualan disekolah. Sehingga kesempatan ini sangatlah berharga bagiku, namun dengan hadirnya cucu abah Ipin aku ikut senang karena akhirnya abah Ipin tidak berjuang sendiri. Cucu abah Ipin hampir sebaya denganku, namun dia tidak melanjutkan sekolahnya selepas sekolah dasar karena tidak memiliki uang untuk bersekolah. Meskipun ada bantuan untuk sekolahnya dia memilih untuk tidak melanjutkan, katanya meskipun biaya sekolah gratis namun hal lain seperti seragam, alat tulis, dan juga ongkos setiap harinya tetap keluarga nya yang menanggung, dan akhirnya dia memutuskan untuk tidak bersekolah dan berkerja serabutan membantu ekonomi keluarganya.
Di satu sisi aku sedih dan tak bisa terima setelah mendengar ceritanya, namun disisi lain mungkin ini memang yang terbaik dengan keputusannya yang dia ambil. Melihat perjuangan abah Ipin dan keluarganya aku pun ingin semakin semangat menjalani hidupku yang juga tak jauh beda. Namun aku optimis dimasa depan yang sedang ku perjuangkan ini aku bisa menjadi seseorang yang bisa berbicara lebih meskipun hidup tanpa kedua orang tua, bukan aku bersikap sombong dan menatap mudah jalan didepanku, namun aku tak ingin melemahkan diri dengan pesimistis dan terus melakukan apa yang bisa kulakukan, hingga tiba saatnya aku bisa menjadi seseorang yang membanggakan kedua orang tuaku meskipun mereka telah tiada. Abah Ipin sudah memperlihatkan padaku arti dari berjuang yang sesungguhnya, dia sudah tak memiliki kenikmatan untuk melihati warna-warni kehidupan yang sudah disajikan tuhan, namun dia tak menyalahkan siapapun atas kondisinya yang tak bisa melihat dan serba kesusahan. Yang ada dia terus melahap semua kesulitan ini dengan senyuman, dan dari abah Ipin aku juga belajar bahwa kekurangan tak harus menjadi penghalang diri untuk melakukan apa yang kita ingin lakukan dan tetap berjuang, pasti akan selalu ada jalan dalam setiap kesulitan yang kita hadapi. Bahkan dengan kondisi fisik ku yang seperti sekarang, aku jadi yakin bahwa aku juga bisa menghadapi nya seperti abah Ipin sekarang, namun yang belum bisa kulakukan adalah tersenyum ramah nan tulus seperti yang abah Ipin lakukan setiap waktu.

September RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang