Hujan yang turun pertama kali setelah musim kemarau panjang selalu membawa sesuatu yang lain selain air dan kelembaban, namun juga aroma khas dari tanah yang sudah lama kering kali ini menyebarkan aroma yang menyebar terbawa percikan air yang turun ke bumi. Dan saat ini juga merupakan waktu yang sangat tepat untuk menyeruput secangkir kopi yang sudah ada di depanku ini, minuman dari dua shot espresso yang memiliki cita rasa kopi arabika yang kuat dan meninggalkan after taste yang menyegarkan mengusir jauh rasa kantuk yang sempat kurasakan karena udara dingin ini. Sedangkan Kalista juga ikut menyeruput minumannya meskipun seolah tah rela karena ada hiasan yang indah disana.
"Hmm aroma tanahnya bikin nyaman yah." Kalista tiba-tiba berbunyi lagi, dan dia ternyata menyadari aroma yang kini tercium.
"Iyah, kamu tau ini aroma apa namanya?" tanyaku.
"Hmm... apa yah, aku gak tau Yan, emang ada sebutannya?"
"Namanya aroma Petrichor, salah satu bau alami yang biasa saat pertama kali hujan seperti sekarang Kal,"
"Hoo, emangnya penyebabnya air hujan aja Yan?"
"Bukan itu aja sih, gimana yah jelasinnya, tapi yang pernah aku baca jadi aroma ini bisa terjadi karena ada bakteri di tanah kering yang hancur karena hujan. Dan aroma ini ke sebar lewat percikan-percikan air hujan itu." Tanpa sadar aku malah menjelaskannya begitu sja.
"Hee, gitu yah, jadi kita lagi nyium aroma bakteri, duh bahaya dong?" Tiba-tiba wajah Kalista panik dengan polosnya, sungguh mengagetkan juga melihatnya panik tiba-tiba begini.
"ehh, anuu, gatau juga sih, aku belum baca sampai jauh, tapi intinya kalau kita nyium aroma ini bisa bikin kita nostalgia katanya." Jawabku yang juga sedikit bingung, setelah mendengarkan itu Kalista memejamkan matanya sambil bergumam sendiri.
"Wahh, bener Yan, aku jadi keinget jaman dulu aku suka dimarahin tiap habis hujan-hujanan." Dia menceritakan masa lalunya masih dengan mata yang tertutup, ternyata dia sedang membayangkan kilasan kejadian yang terjadi semasa kecilnya. Aku pun teringat beberapa kejadian saat masih bocah yang saat itu tidak masalah main hujan-hujanan bersama teman-teman yang lain, berlarian ke sana kemari dan berenang di kolam dadakan disebuah sawah yang tergenang banjir karena air hujan yang begitu besar meluap disebuah parit dan menjadikannya arena bermain anak-anak saat itu, sial bagi anak yang rumahnya berdekatan akan dicari oleh ibu mereka dan akan langsung dimarahi saat kepergok sedang bermain di sana. Sedangkan aku selamat dari omelan ibuku karena selain rumahku yang jauh, aku memutuskan untuk membuat api unggun dengan beberapa anak yang lain begitu hujan reda. Ada anak yang saat bermain air melepaskan bajunya agar tidak ketahuan kalo dia sedang hujan-hujanan. Ada juga yang tetap memakai bajunya sehingga basah kuyup dan berwarna kecoklatan bercampur dengan lumpur sawah, dan anak itu adalah diriku sendiri yang kebingungan akan menjelaskan apa pada orang dirumah. Akhirnya salah satu anak berinisiatif untuk membuat api unggun untuk menghangatkan badan dan membuat baju ku yang tadinya basah kuyup bisa sedikit kering meskipun bajuku jadi beraroma kayu yang dimakan api. Sembari menghangatkan tubuh, kami juga membakar singkong dan juga ubi yang memang sebelum hujan turun sudah kami dapatkan setelah memungutnya dari sebuah kebun yang sudah panen dan menyisakan hasil panennya. Begitu singkong dan ubi itu matang langsung dimakan oleh kami para bocah yang sudah bermain hujan, meskipun masih sedikit panas namun semua lahap menyantapnya karena disitulah letak keseruannya, memakan ubi dan singkong bakar saat masih panas-panasnya setelah bermain hujan sangatlah mengasyikan.*Uhuk..* sebuah gelitikan di tenggorokan dan tarikan nafas yang tiba-tiba saja menjadi berat begitu terasa diparu-paruku saat ini, dadaku merasakan sebuah beban namun tidak terlihat dan kerah baju yang terasa sedikit mencekik leher. "Kal, aku ke belakang dulu yah." Aku pamit untuk ke toilet dengan langkah sedikit panik, Kalista hanya memandangiku dan menganggukan kepala, seolah masih menikmati ingatan masa kecilnya. Sesampainya di pintu toilet aku berhenti dan buru-buru mengeluarkan alat bantu bernafas ku sambil menengok dan memeriksa keadaan, setelah yakin tidak ada orang aku mengarahkan inhaler pada mulutku dan menekannya. Sebuah tarikan nafas yang sangat dalam aku lakukan lewat mulut sambil menghisap gas yang berasal dari inhaler ini, rasa pahit yang sangat berat menempel didinding mulut dan dasar lidah bagian belakang. Beberapa detik kemudian aku merasakan ada yang melepas jerat suatu lubang di paru-paru, lendir yang tiba-tiba saja menyumbat suatu saluran di paru-paru kini sudah meleleh dan memenuhi tenggorokanku dan harus segera dikeluarkan agar pernafasan ku menjadi lega kembali. Sebuah batuk yang sengaja ku tekankan di tenggorokan untuk mendorong semua lendir ini dan langsung membuangnya kebagian westafel, seraya dengan hilangnya lendir semua otot-ototku yang sebelumnya sempat tegang kini perlahan menjadi rilex dan rasa pusing yang tadi sedikit menyiksa kini hilang dan membawa rasa lega, namun suatu kantuk yang teramat sangat kini menyerang ku karena efek samping dari obat yang ku hirup ini. Pandangan sedikit kabur dan hanya bisa bersandar pada dinding untuk segera memulihkan nafasku lagi kembali normal.
"Yan.. kamu gapapa?" suara kang Fery yang terdengar samar-samar, saat aku melihat ke arah depan ternyata kang Fery sudah berada di depanku dan memanggil-manggil namaku berulang kali, namun sedikit tidak jelas karena selain pandanganku, pendengaran ku juga sedikit kurang jelas karena kini telingaku mendengarkan sebuah dengungan yang membuat suara dari kang Fery tidak begitu jelas,
"Enggak kang, gapapa, cuman pusing dikit, ini udah gapapa kok." Aku berusaha menenangkan kang Fery dan membuat sikapku kembali biasa saja meskipun kepala sedikit cenat-cenut bahkan aku bisa merasakan debaran jantungku sedikit meningkat dari biasanya.
"Bener gapapa, kamu pucet loh." Kang Fery masih saja khawatir
"Bener kang gapapa, yaudah aku mau kedepan dulu kang."
"Yaudah Yan, hari ini kamu libur aja, gausah masuk dulu, mending kamu istirahatin."
"Gapapa kang, aku bisa kerja kok."
"Udah jangan, Desty sama saya bisa handle kok, jangan dipaksain Yan, jangan diporsir kerjaan." Kang Fery melarang ku untuk kerja hari ini setelah melihat kondisiku, sedikit sial karena kejadian barusan harus dilihat oleh kang Fery. Kang Fery sudah mengetahui dengan kondisiku yang punya sakit Asma dan tetap mengizinkanku bekerja ditempatnya, meskipun dengan syarat kalo aku merasakan masalah dalam kesehatanku, aku jangan memaksakan diri dan harus menuruti intruksinya seperti sekarang ini.
"Aku nya jadi gak enak kang."
"Lebih gak enak saya nya Yan kalo maksain karyawan saya yang lagi sakit masuk kerja, kamu juga harus lebih sayang sama badan sendiri. Tenang aja pokoknya, kamu kaya yang gatau saya aja." Kang Fery bersikukuh untuk menyuruhku istirahat, dan akhirnya aku hanya bisa menurut saja,
"Yaudah atuh Kang, maaf yah sebelumnya."
"Kalem aja Yan, santai."
Sebenarnya aku agak segan untuk tidak masuk hari ini, karena hari ini adalah akhir pekan yang mana kafe menjadi salah satu tempat favorit untuk dikunjungi para penikmat kopi yang ingin nongkrong ataupun yang menghabiskan waktu bersama pasangannya. Dan kafe kang Fery ini selalu ramai diakhir pekan, meskipun ada pegawai lain yang masuk shif malam, tapi jika ada tambahan orang akan membuat semuanya semakin lancar dalam menyajikan berbagai pesanan pelanggan. Tapi benar kata kang Fery, aku harus lebih menyayangi badanku sendiri dengan keadaan yang berbeda dari orang lain ini harus membuat diriku lebih legowo dan menerimanya dengan lapang dada. Tanpa harus memaksakan diri dan berusaha semaksimal mungkin dengan batasan ini, namun hal ini juga yang kadang membuatku frustasi karena kadang orang-orang tak mempedulikan dengan keadaanku ini dan tetap memaksaku untuk bertindak seperti orang normal kebanyakan dalam melakukan suatu aktivitas.Aku kembali ke meja dan terlihat hujan sudah reda, kalista sudah selesai dengan kenangannya dan sudah menghabiskan isi cangkir kopi nya padahal tadi dia yang enggan meminum minumannya. Aku pun buru-buru mengambil cangkir kopi yang sudah agak dingin ini dan langsung menyeruputnya sampai habis, lalu mengajak kalista untuk melanjutkan perjalanan pulangnya takut keburu gelap dan hujan lagi. Dan dia mengiyakan kemudian berjalan ke kasir dimana Desty sedang berdiri dan membayar minuman kami, sambil menunggu kembalian dia menatapku dan tersenyum begitu saja. Sungguh serangan kejutan yang membuat ku terdiam dan sedikit kikuk, kemudian gadis cerewet itu tertawa dengan renyahnya melihat ku yang kikuk ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
September Rain
Short StoryMenjalani hari-hari dengan biasa saja hingga beberapa kejadian yang terjadi di bulan September merubah dunia nya yang selama ini akrab dengan kesendirian, Iyan yang selalu kesepian dengan kondisi paru-paru nya yang spesial di pertemukan dengan seora...