Sebuah pemandangan yang penuh nostalgia, beberapa tahun lalu aku mendapati pemandangan seperti ini, bersama sosok yang sangat ku banggakan, Ayah. Disini suaranya tidak terlalu bising karena berada cukup jauh dari pasar, hanya terdengar suara samar-samar bahkan bisa dibilang sangat tenang, karena yang terdengar kini hanya percakapan para keluarga yang sedang menikmati waktu piknik mereka, itupun hanya terdengar sangat pelan. Namun ketenangan itu hanya bertahan sebentar saja begitu cewe bawel ini memulai pembicaraan yang entah kemana arahnya.
"Disini cukup tenang yahh, haaahh benar-benar kerasa banget vibes pikniknya, ya kan Yan."
"Iyahh, biasanya sih gitu, tapi sekarang berisik banget." jawabku
"Berisik?! Berisik dari mana haha, kamu aneh." Raut wajah Kalista nampak keheranan, karena yang ku maksud sumber berisik itu adalah dirinya, entah dia tak memahami atau pura-pura menghiraukannya.
"Yaa gitu deh, ngomong-ngomong, kenapa kamu gak pulang sama adikmu aja?' tanyaku.
"Males ah, adik ku udah keterlaluan hari ini, sama kamu dia berani gitu."
"Trus, tadi sebenarnya kamu kesini mau ngapain? Olahraga bukan, karena kamu pake baju rapih gitu, belanja juga bukan, kamu gak keliatan abis belanja."
"Hari ini tuh Ayahku lagi Main Golf sama relasi nya, aku dipaksa ikut, gabut banget tau liatin yang main Golf, tau gitu mending aku gak usah ikut." jelasnya. Selain menjadi destinasi wisata untuk berbelanja dan piknik, disini juga memang ada lapangan Golf yang cukup besar, dan sering dikunjungi para pemain Golf untuk menikmati liburannya, namun yang biasa bermain sudah pasti mereka yang punya kekayaan yang lebih. Hobi ini sudah seperti stempel bagi para orang kaya, dan itu berarti si cewe bawel ini anak dari keluarga cukup berada.
"Ini pesanannya....." Setelah menunggu sekitar 10 menit pesanan sate kami tersaji, setelah mendengar ayahnya yang baru saja bermain Golf, ada keraguan dalam hati ku, apakah tidak apa-apa cewe bawel ini menyantap makanan pedagang kaki lima, bagaimana jika sebenarnya hal ini tidak dibenarkan oleh keluarganya, karena biasanya kalangan atas sangat menjaga asupan makanan mereka agar steril, dan juga menjaga gengsi mereka.
"Heyy, apa kamu gapapa makan disini? kenapa gak ikut makan siang aja sama keluarga kamu?" tanya ku penuh ragu.
"Hmm, emangnya kenapa. Gaboleh!?"
"Aku udah lama gak makan disini, kalo makan siang bareng ayahku gak bebas, dia kan lagi sama relasinya, males banget ditanya-tanya." tambahnya.
"Bukan gitu, Maaf, soalnya mungkin biasanya kamu sama keluarga kamu pasti makan direstoran." aku jadi sedikit tidak enak setelah bertanya tadi pada Kalista, dia seperti sedikit kesal.
"Hihi, kamu emang aneh Yan, emang nya kenapa kalau aku gak makan direstoran, makanan disini juga enak-enak kok. Aku mah gak gengsian orang nya, gak kaya adik aku.." jawabnya yang sedikit terbahak-bahak, perubahan emosi yang sangat cepat, sesaat dia tampak kesal sekarang dia malah tertawa kegirangan.
"Yaaa, siapa tau aja gitu dilarang sama keluarga kamu, soalnya aku kenal beberapa orang kaya yang gak bolehin anaknya jajan sembarangan."
"Haha, Kalem aja Yan, keluarga aku gak kaya gitu kok, bahkan Ayahku aja masih suka makan ikan asin sama sambel." jawabnya menenangkanku. Mungkin memang fikiran liar ku saja yang berpikiran semua orang kaya itu memiliki gengsi yang tinggi sehingga enggan memakan makanan yang bukan berasal dari restoran atau bahan yang mahal. Karena memang aku mengenal sebuah keluarga yang sangat gengsi memakan makanan yang mereka cap sendiri sebagai makanan orang miskin. Seolah kasta mereka memiliki kasta yang berada diatas.
Aku hanya terdiam dan melihat Kalista mulai menyantap sate nya dengan mantap, tanpa malu dia menghabiskan satu tusuk sate itu dalam sekejap. Ternyata cewe bawel ini selain cepat dalam berucap cepat pula dalam mengunyah, haha. Tapi hal yang yang tak kusadari sejak tadi aku tersenyum sendiri melihat cara makan nya yang seperti itu, ternyata ada sisi manis yang terpancar dari cara makan seorang perempuan. Sesaat dia menatapku heran dan dalam sekejap aku memalingkan pandanganku darinya. " Kenapa gak dimakan Yan?" dia bertanya seolah tak menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya cukup lama. "Ini baru mau makan, kamu aja yang kecepetan makannya, laper?" masih belum berani menatapnya lagi, aku sambil mulai makan. " Hihi, emang laper..." ucap Kalista dan memakan kembali sate berikutnya.
Rasa sate ini sebenarnya sama saja dengan rasa sate pada umumnya, namun ada rasa yang tak dimiliki oleh penjual sate di manapun di dunia ini yang disajikan disini. Yaitu rasa Nostalgia, setiap ku makan sate disini, bayanganku akan sosok Ayah langsung terasa sangat kental, tempat ini adalah tempat pertama kali Ayahku mengajak makan diluar dan tempat pertama kali kami jalan-jalan berdua, seperti baru saja kemarin kejadian dimana Ayahku membelikan sebuah buku komik yang sangat membuatku tertarik saat itu, dan tanpa ragu Ayahku membelikannya, kemudian dia mengajakku untuk makan sate disini. Pemandangan saat itu mulai samar dipikiranku, namun kebahagiaan nya sangat nyata terasa, kebahagiaan seorang anak yang bisa menghabiskan waktu bersama dengan sang Ayah. rasa bahagia yang sudah tak bisa kurasakan kini.
Sepuluh menit berlalu dan kami sudah selesai makan siang, dua botol teh manis kubeli dari pedagang asongan yang lewat, dingin. "Makasih Yan.." seperti kehausan Kalista langsung meminum sampai habis setengah botol teh itu. "Haah, seger banget, panas-panas gini emang cocok." tersirat wajah puas nya setelah makan siang. "Iyah panas, tapi kita harus cepet-cepet pulang, bentar lagi bakal ujan gede loh." ucapku. " Hujaan!? Hahaha, ngaco kamu Yan, panas terik gini kok ujan, lagian gak ada awan satupun, apalagi awan mendung. Yaan Yaan. kamu jago ngelawak juga yah." Kalista tertawa terpingkal, menyangka apa yang ku bilang hanya sebuah lelucon. "Justru gak ada awan sama sekali, angin di lapisan atas sana berarti kenceng banget, gesekan awan pasti kenceng juga, bisa-bisa badai." jawabku menjelaskan. Tatapan Kalista yang tadi polos menjadi serius mendengar ucapanku, seolah tak percaya namun tetap penasaran. " Terus terus? ini kan lagi musim panas?" tanya nya yang kini mulai ragu. "Kamu tau, proses terciptanya awan? Yaitu dari air laut yang menguap oleh matahari." Kalista masih tak bergeming, "Kemudian bagaimana angin tercipta, yaitu perpindahan dari suhu panas ke yang lebih dingin." lanjutku, dan Kalista masih diam dan mulai antusias. "Kemudian, di musim panas, perbedaan suhu sangat ekstrim antara siang dan malam. Dan diawal bulan september ini biasanya terjadi peralihan musim ke musim hujan." Kalista masih menyimak namun terlihat masih bingung. "Intinya, sekarang udah peralihan musim, trrus perbedaan suhu yang ekstrim memicu perpindahan angin yang kenceng diatas, jadinya awan-awan yang nguap itu saling bergesekan dengan intens dan terciptalah hujan deras, dan...." Kalista seperti menunggu kalimatku selanjutnya. "Duaarrr petir menyambar..." Kalista yang sudah sangat memperhatikan sangat terkejut ketika aku mengagetkannya.
"Ahh, dasar kamu Yan, kirain bener." ucap Kalista kesal. "Hihi, becanda maaf, tapi aku emang feeling aja kalau bakal hujan kalau lihat cuaca kaya sekarang." jawabku mencoba menenangkan Kalista yang memasang wajah masam kini. "Kal, kita pulang yuk, nanti sore aku ada kerjaan." aku mengajak Kalista untuk pulang menyudahi pertemuan tak sengaja hari ini." Kerjaan apa Yan? kamu kerja sambilan?" Kalista seolah mesin dengan energi tanpa batas, dia kembali antusias dan mood cerewetnya muncul lagi, entah bagaimana dia bisa se aktif ini, padahal aku sudah merasa lelah dengan semua percakapan ini, mengingat kemarin aku berbincang dengan nya merupakan rekor pembicaraan terlama, hari ini rekor itu terpecahkan lagi dua kali lipat."Kamu cerewet sama kepo Kal.."
"Gapapa atuh, kan Kepo is Care.."
"Hah? kamu bilang apa Kal?"
"Hah, aku bilang apa gitu.?"
"itu barusan kamu bilang!"
"Bilang apa yah, duh lupa hehe."
"Kaaaalll....."
"Apa Yaan.."
"Tau ah gelap."
"Gelap, terang gini kok gelap. hhi."

KAMU SEDANG MEMBACA
September Rain
Short StoryMenjalani hari-hari dengan biasa saja hingga beberapa kejadian yang terjadi di bulan September merubah dunia nya yang selama ini akrab dengan kesendirian, Iyan yang selalu kesepian dengan kondisi paru-paru nya yang spesial di pertemukan dengan seora...