Kinanti yang sedari tadi masih saja sibuk dengan sedotannya kini berhenti setelah minumannya habis tak bersisa, seolah dalam sebuah pertandingan olah raga yang memasuki babak kedua dia berancang-ancang ingin menanyakan berbagai hal lainnya padaku. Namun waktu sudah semakin siang dan beberapa orang kini mulai keluar masuk perpustakaan, Kinanti nampak tak nyaman dengan keramaian ini dan tak lagi bertanya padaku. Raut wajahnya yang tadi antusias pun hilang seperti embun pagi yang di sinari fajar, menguap begitu saja dan tak berbekas. Ada semacam topeng yang terpasang pada wajahnya kini, tatapan kosong dan cuek terpancar dari matanya. Saat ada yang melihat padanya dia memasang tameng kejutekan yang sangat tebal, sehingga siapa saja yang melihatnya akan berpikir kalau dia adalah sosok antagonis yang harus dijauhi. Kinanti beranjak dari tempat duduknya dan mengajak ku pergi dari sini. Entah drama apa yang sedang dia lakukan, namun saat ini dia seperti aktor yang memerankan sosok yang sangat berbeda dari saat dia yang berbincang denganku tadi.
Suasana dingin yang kurasakan sejak pagi mulai berkurang, awan mendung yang sedari tadi menyelubungi langit kota ini sudah mulai hilang. Sinar matahari berhasil menggapai dan menghangatkan bumi beserta jiwa-jiwa yang hidup diatasnya, sambil menebak-nebak akan diajak kemana oleh Kinanti aku memperhatikan keramaian di sepanjang koridor sekolah ini. dimana banyak dari mereka yang tengah asik berbincang dan juga bercanda. Adapun yang berada di dalam kelas tak kalah ramainya bagai sedang ngerumpi membicarakan rencana liburan panjang mereka nanti, liburan panjang seusai ujian memang yang dinanti oleh murid seperti kami, aku pun demikian. Meskipun yang saat ini kupikirkan bukanlah tempat wisata dan semacamnya untuk liburan, karena aku masih harus bekerja di Kafe untuk tetap bisa bertahan hidup, bahkan kalau bisa aku akan mencari pemasukan lain untuk mengisi waktu liburanku.
Kami sampai diujung koridor dan menaiki tangga menuju lantai atas, disekolah ini memiliki dua bangunan utama untuk kegiatan belajar mengajar yang terdiri dari tiga lantai. Dan memiliki atap yang juga biasa dipakai untuk bersantai beberapa murid disini saat jam istirahat, dan sepertinya aku sudah tahu Kinanti akan mengajakku kemana. Kinanti masih berjalan di depanku seolah memandu menuju tempat yang ingin dia tuju saat ini, sambil sesekali melihat kearah ku dengan tatapannya yang dingin. Padahal kukira suhu dingin sudah hilang sepenuhnya, namun ada hal dingin lainnya yang tertinggal disini, yaitu tatapannya. Puluhan anak tangga telah kami lewati dan membuat nafasku sedikit lelah, aku menghentikan kaki sejenak untuk mengambil nafas panjang. Sedang Kinanti juga ikut berhenti dan spontan melihat kearah ku seolah dia menyadari kalau aku tiba-tiba berhenti, namun dia tidak nampak sedang kelelahan sepertiku. Dia hanya melihatku dengan rasa cemas, entah apa yang dipikirkannya dia hanya menatapku tanpa bicara, begitupun aku yang merasakan sedikit sesak ini hanya sibuk mengatur nafas yang sedikit tersengal.
Setelah beberapa saat aku memberikan isyarat pada Kinanti kalau aku sudah tidak apa-apa, seolah mengerti dia melanjutkan langkahnya menuju anak tangga selanjutnya dan beberapa saat kemudian berhenti didepan pintu. Sambil mencoba menyusul langkahnya aku memperhatikan dia yang sedang mencari sesuatu dalam saku jaketnya, kemudian dia mengeluarkan sebuah kunci dan membukakan pintu atap yang sebetulnya terkunci. Aku terdiam sesaat dan melihat mimik wajahnya yang seolah senang melihatku keheranan, kenapa dia bisa memiliki kunci itu. Padahal hanya guru yang punya wewenang dan penjaga sekolah yang memiliki kuncinya, tapi mengingat kontribusi nya untuk sekolah ini sepertinya itu bukan hal aneh. Dia lah cewe jenius yang jarang masuk ke kelas tapi masih bisa menjuarai berbagai olimpiade beberapa mata pelajaran dan membawa nama baik bagi sekolah ini. Aku pun dibuat penasaran dengan metode pembelajaran seperti apa yang dia jalani selama ini hingga dia bisa seperti ini, tapi apapun itu dia juga seperti memiliki banyak rahasia yang dia pendam sendiri dan menjadikannya sebuah misteri bagiku.
Sesaat dia membuka pintu atap dan sinar matahari yang menyilaukan mata langsung menerpa, dia melaju menuju cahaya itu dan aku mengikutinya. Saat tiba di atap aku mendapati pemandangan yang sangat indah, awan-awan mendung yang tersisa memiliki banyak lubang yang cukup besar dan cahaya matahari itu tembus diantara lubang-lubang itu. Sedang ada kerumunan burung yang terbang diantara cahaya itu, melintasi cakrawala yang menyajikan lukisan alam yang begitu indah. Kemudian mataku terpaku pada Kinanti yang sedang memejamkan matanya dan menikmati kehangatan ini, seolah beresonansi aku pun ikut menutup mataku dan mencoba merasakan nya juga. Sebuah kehangatan yang nyaman, membawa kesegaran pada kepalaku yang sedikit gundah kerena mendapatkan serangan mental tadi.
"Kamu sering kesini?" Kinanti hanya mengangguk dan tetap memejamkan mata.
"Makasih yah." Lanjut ku, Kinanti kini membuka matanya dan melihatku dengan antusias.
"Sama-sama." Wajahnya yang tadi dingin kini berubah menjadi ceria, sebuah senyuman tipis pun terpasang seolah puas karena suatu hal. Seraya tatapannya yang dingin itu menghilang, sebuah pelangi muncul dibelakang Kinanti dan menambah indah lukisan langit ini.Tak lama kemudian bel sekolah berbunyi, dan ada pengumuman untuk semua murid agar segera berkumpul di lapangan, kami pun turun dari sini untuk menuju ke sana. Kinanti menyuruhku untuk duluan karena dia akan mengunci pintu atap terlebih dahulu, aku mengiyakan dan berjalan agak pelan sambil menunggu dia selesai. Setelah tiba di lantai dua yang merupakan lantai bagi murid kelas dua, tiba-tiba ada yang meneriaki namaku dari kejauhan. Suara bising yang tak asing, orang-orang disini yang hampir semuanya adalah kelas dua akhirnya menjadikanku pusat perhatian saat orang yang berteriak itu kini berlari kearah ku. Ah... hal merepotkan akan terjadi lagi.
"Yann, kamu dari mana aja. Aku nyariin loh."
"Emangnya kenapa, jangan teriak-teriak kaya gitu berisik."
"Habisnya kamu tadi ngilang, bilang nya ke kelas, tapi gak ada."
"Kepo..!"
"Yehh, kan Kepo is Care."
"Ishh. Udah ah aku mau nyimpen tas dulu. Kita disuruh kumpul kelapangan kan."
"Iya sih.., yaudah ayoo."
"Ngapain kamu ikut segala, langsung ke lapang aja duluan."
"Gapapa, biar barengan." Cewe bawel ini tetap saja memaksa menemaniku, hal ini menjadi tontonan murid lain. Kalista yang populer kini sedang berbincang dengan seseorang yang suram sepertiku, entah mengapa aku seolah bisa membaca apa yang sedang dipikirkan mereka sekarang. Saat sedang berdebat dengan Kalista tiba-tiba Kinanti sudah sampai di lantai dua dan berhenti sejenak saat melihatku, namun kemudian dia berjalan melewati kami seolah tidak menghiraukan kami dia terus saja berjalan menuju kelasnya. Aku dan Kalista melihatnya heran, sambil terus memperhatikannya berjalan dan seperti tidak ada yang menyadarinya saat dia melewati murid-murid yang sedang bergegas ke lapangan. Seolah dia tidak ada di sana, para murid itu bahkan ada yang menabrak Kinanti dan lanjut berjalan tanpa meminta maaf padanya. Ada rasa sesak saat melihat kejadian itu, amarah yang tak tahu bersumber dari mana kini menyelimuti isi kepalaku. Sesaat aku berpikir ingin menghadang langkah murid yang menabrak Kinanti tadi untuk menyuruhnya meminta maaf, namun ternyata aku kalah cepat oleh tindakan seseorang."Hati-hati dong kalau jalan, minta maaf dulu kek..!" Kalista tiba-tiba melabrak begitu saja murid lelaki yang tadi menabrak Kinanti. Aku sangat kaget karena dalam sekejap dia sudah ada di sana, padahal aku masih terpaku ditempat kami mengobrol tadi. Kinanti yang menyadari hal itu melihat ke arah keributan dibelakangnya. Dia pun seperti sedikit kaget atas apa yang dilakukan Kalista, Kalista memaksa laki-laki itu meminta maaf pada Kinanti dan akhirnya murid laki-laki itu meminta maaf dengan sungguh-sungguh karena dia tidak sengaja dan buru-buru. Kinanti seperti sedikit syok dan hanya mematung setelah menganggukkan kepalanya, kemudian murid laki-laki itu berlari setelah dibentak oleh Kalista agar tidak mengulanginya. Beberapa saat kami hanya saling menatap di koridor ini dan menjadi tontonan murid lain, namun Kalista menyuruhku bergegas untuk menaruh tas begitu juga pada Kinanti. Dia kemudian mengingatkan kalau kami harus segera ke lapangan, dan aku juga benar-benar lupa untuk sejenak akan hal itu karena tindakan berani Kalista kali ini, untuk kedua kalinya aku melihatnya membentak orang lain setelah kemarin dia membentak adiknya Rio saat bersikap kurang sopan padaku. Ada rasa salut yang timbul dariku untuknya, ternyata dia orang yang juga blak-blakan dan akan menegur siapapun yang menurutnya salah. Alih-alih hanya menonton dan mendiamkan keburukan yang terjadi didepannya, sebenarnya aku sudah menduga hal ini ada didalam Kalista sejak kejadian kemarin, sehingga saat kejadian tadi di mading aku langsung buru-buru pergi agar Kalista tidak menegur orang-orang disekitarnya kerena telah menyudutkan ku dengan kalimat komat kamit mereka yang begitu pedas.
Ditengah rasa kaget, aku sudah menaruh tas dan Kalista masih menungguku di ambang pintu dan menyuruhku agar cepat-cepat, aku kini menuruti nya dan agak mempercepat langkah menuju ke lapangan. Ada wajah berseri yang terpasang dari orang di depanku ini, dia seperti merasa lega karena sudah membela apa yang menurutnya perlu dia bela, kemudian aku mendengar langkah lainnya dibelakang ku. Kinanti juga sedang bergegas menuju lapangan tepat dibelakang ku, dengan raut wajah yang belum pernah kulihat dari dia sebelumnya. Pagi ini ada berbagai mimik ekspresi yang ia perlihatkan, apakah dia seorang aktor, atau dia mengikuti kelas drama. Dia terlihat sangat ahli dalam hal itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
September Rain
Historia CortaMenjalani hari-hari dengan biasa saja hingga beberapa kejadian yang terjadi di bulan September merubah dunia nya yang selama ini akrab dengan kesendirian, Iyan yang selalu kesepian dengan kondisi paru-paru nya yang spesial di pertemukan dengan seora...