September Rain #11

22 2 0
                                    

Jika ditanya tentang benda apa yang paling tajam aku hanya bisa menjawab tentang sesuatu yang sudah kurasakan, jika sebuah pisau itu bisa menyayat jemari ku saat sedang memotong sayur maka aku menyebutnya tajam, sebuah duri bunga mawar yang tak sengaja tertusuk juga tajam. Bahkan selembar kertas dari buku baru pun ku sebut itu tajam karena dapat menggores tanpa sengaja, apalagi golok yang sering kupakai untuk memotong kayu bakar akan sangat berbahaya jika sampai terkena makhluk hidup. Namun ada yang lebih tajam dari itu semua, jika luka sayatan bisa sembuh secara perlahan maka berbeda dengan luka yang ditinggalkan oleh ini. Luka nya akan sangat sulit disembuhkan dan akan meninggalkan rasa sakit untuk waktu yang sangat lama, atau bahkan tak akan sembuh sama sekali. Sebuah tatapan tajam dan sinis dari banyak orang sekaligus memiliki efek yang cukup untuk membuat ku memikirkan tentang apa kesalahan yang telah ku perbuat hingga mendapatkan tatapan itu, seolah menjadi seorang penjahat yang lebih pantas dilihat sebagai sampah dan lebih rendah dari mereka.

“A… anu… Pppp.. Pagi juga Kal…” jawabku terbata-bata saat menjawab sapaan pagi dari Kalista, semua murid yang tadi sangat ceria dan ikut gembira dengan pencapaian yang diraih oleh Kalista kini mengeluarkan aura yang menyebalkan. Mereka menatapku penuh benci dan mulut mereka komat-kamit seperti sedang mengeluarkan kalimat cacian terhebat yang mereka miliki. Semua rapalan mantra kebencian mereka beresonansi satu sama lain membuat daun telingaku merasakan efeknya, di pagi yang dingin ini telinga ku kini terasa panas dan ada sesuatu gejolak amarah yang menghangatkan tubuhku, sebuah asupan energi yang tak terduga.
“Kamu kenapa Yan, kok pucet gitu?” Tanya Kalista dengan polosnya yang tidak peka dengan perubahan atmosfir saat ini.
“Gak, gapapa.” Jawabku singkat
“Jangan-jangan kamu masuk angin yah gara-gara kemarin.” Lanjut Kalista, ucapan Kalista malah menambah sumbu amarah orang-orang aneh ini, semakin bertambah lah kejahatan ku kini dimata mereka. Apalagi para murid lelaki yang seolah menyiapkan kepalan tangannya dan gatal ingin menyerang ku, Kalista memang hebat bisa bersikap biasa saja ditengah situasi yang mencekam ini, dan aku hanya menggelengkan kepala uuntuk menjawab pertanyaan yang terakhir.
“Hmm, beneran.. Eh iyah, kamu peringkat dua loh Yan, aku kalah cuman peringkat tiga.”
Cewe bawel ini masih saja tidak berhenti memancing amarah orang-orang, nasibku makin diujung tanduk dan seperti hewan buruan yang tengah terpojok ditepi jurang. Tatapan tajam mereka kini sudah berevolusi menjadi mata seorang predator dan ingin menelanku bulat-bulat.
“Ahh,, gitu yah. Ohh.. hmm,. Yaudah aku ke kelas duluan.” Aku bingung harus merespon apa jika sudah begini, dan aku perlahan berjalan mundur menjauhi mereka dan Kalista menatapku heran.

“Sombong amat..!”
“Elah paling hasil nyontek..!”
“Berani-beraninya ngobrol sama Kalista..!”
“Si miskin penyakitan kebanyakan gaya, sok pinter..!”
“Liat aja pulang sekolah nanti, gua kasih pelajaran tambahan...!”

Kalimat komat-kamit mereka kini terdengar semakin keras dan jelas, membuat Kalista akhirnya sadar akan sesuatu telah terjadi dengan orang-orang aneh ini. Dengan sendirinya kegelisahan ku tertular pada Kalista dan membuatnya serba salah, melihat ekspresi muka nya yang sedang bingung begitu lucu dan meringankan langkahku meninggalkan kerumunan ini.
Perlahan menjauh karena merasa ini adalah bukan tempatku, namun tiba-tiba aku menabrak seseorang dibelakang ku, aku langsung menoleh ke arahnya dan dia sedang memegangi jidat nya yang tampak sedikit kesakitan.
“Duh maaf banget gak sengaja, Eh.. kamu kan yang bareng di angkot tadi.?”
“Ishh, sakit tau, ngapain sih jalan mundur.”
“Anu.. Itu,,. Eh udah dulu yah, maaf sekali lagi.” Aku langsung melanjutkan langkahku dan buru-buru menuju kearah sebaliknya dari kelas, aku langsung mengubah haluan ke arah perpustakaan dan memutuskan untuk berdiam di sana untuk sejenak. Namun ditengah langkahku yang cepat terdengar juga bunyi langkah kaki yang sama cepatnya dibelakang ku, namun aku tak mempedulikannya dan tetap berjalan menuju perpustakaan.

Sebuah ruangan yang dipenuhi berbagai buku namun merupakan tempat yang sangat jarang dikunjungi siapapun disekolah ini, tempat yang sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Saat tiba didepan pintunya ternyata sedang terbuka sedikit, langsung saja ku masuki dan benar ternyata tidak ada orang yang sedang berjaga. Karena semua murid disini mungkin sedang sibuk dengan hasil ujian mereka, meskipun di hari-hari biasa tempat ini juga jarang sekali di jamah oleh para murid disini. Sebenarnya perpustakaan sekolah ini cukup memiliki koleksi buku yang banyak, selain buku yang berisi ilmu pengetahuan disini juga terdapat banyak novel yang memiliki cerita cukup menarik dan beberapa novel itu sudah ku baca. Alangkah egois rasanya kalau aku berharap situasi ini berlangsung selamanya, ruangan yang sunyi ini menjadi ruangan pribadi saja untuk diriku yang seolah terasing disekolah ini.
Duduk dan tidak melakukan apa-apa selain menenangkan jiwa, di ruangan yang berukuran sedang dan selalu dalam keadaan rapih. Namun saat sedang asyik dengan isi kepalaku tiba-tiba pintu bergerak dan ada seseorang yang masuk, gadis yang ku tabrak tadi. Dia seolah sedang mencari seseorang dan saat dia melihat ke arahku barulah aku paham maksud dari sikapnya ini, mungkin dia masih sebal dan mengejar ku sejak tertabrak tadi. Tapi tatapannya sangat berbeda dengan orang-orang aneh tadi, sorot matanya seolah berkata sangat penasaran pada apa yang sudah terjadi padaku. Dia menghampiri dan langsung duduk tepat didepanku, tidak langsung bicara dan menatapku begitu dalam.
“Lagi ngapain disini?”
“Kamu sendiri ngapain ikut kesini?”
“Baca buku?”
“Enggak.”
“Terus?”
“Tidur…”
“Kok itu melek..”
“Ya ampun…”
“Kenapa?”
“Gapapa.”
Bagai pinang dibelah dua, gadis ini persis seperti Kalista dalam hal berbicara, cerewet dan sifat ke ingin tahuan nya sangat luar biasa. Tapi dengan raut wajah yang berbeda dari Kalista, mungkin ini yang membedakan keduanya.jika Kalista dipenuhi aura kegembiraan dan selalu ceria, sedang dia memiliki aura yang murung dengan raut muka yang sendu. Dan sampai detik ini aku belum melihatnya tersenyum sedikitpun sejak di angkot dan insiden aku menabraknya tadi, dan kini dia menghampiriku dengan maksud dan tujuan yang belum jelas.
“Nama?”
“Iyan…”
“Hoo..”
“Kamu sendiri?”
“Kinanti.”
“Kinanti..!?”
Aku sangat kaget mendengar dia menyebutkan namanya, nama itu sering kudengar karena menjadi perbincangan para guru. Dia adalah murid yang sangat pintar namun sangat jarang mengikuti jam pelajaran sekolah meskipun dia berangkat ke sekolah. Entah apa yang dilakukannya selama berada disekolah ini, meskipun begitu nilainya tetap yang terbaik. Dan karena itulah aku pun belum pernah bertemu dengannya hingga sekarang.
“Kinanti? Kinanti yang peringkat satu tadi di pengumuman bukan?” tanyaku penasaran.
“Hmm, mungkin..” jawabnya singkat.
“Kenapa kamu ngikutin aku kesini, masih marah karena tadi?”
“Enggak kok.”
“Terus kenapa?”
“Cuman kepo aja, soalnya keliatannya kamu beda dari yang lain.”
“Maksud kamu gimana?”
“Aku juga bingung jelasinnya gimana, dibanding orang-orang menyebalkan yang ada disekolah ini, kamu nampak beda aja.” Jelasnya yang membuatku bingung.
“Oh iyah, ini aku ada minuman Chocolat, dipercaya bisa mengubah mood yang lagi jelek jadi bagus.” Lanjutnya sambil mengeluarkan dua minuman kemasan di kantong jaket nya. Dia memberikan satu padaku, kemudian menancapkan sedotan di minuman yang ia pegang dan langsung meminumnya.
“Kok diliatin aja, gasuka Chocolat?”
“Suka, yaudah, makasih yah.” Aku ikut meminum minuman yang ia berikan, rasanya sangat manis dan membangkitkan sedikit semangatku yang tadi sangat redup. Dia tiba-tiba memberikan ini agar aku membaik, ternyata selain kepo dia juga peka. Tapi kenapa dia sampai menghampiriku dan memberikan minuman padaku begitu saja, padahal dari yang kudengar dia itu orang yang sangat anti sosial sama sepertiku. Tapi kali ini anggapan ku ternyata keliru, atau memang ini adalah sifat aslinya dan dia bersikap beda pada orang lain seperti apa yang dia bilang kalau aku ini berbeda dari orang-orang disini menurutnya.

Sebuah tatapan penuh penasaran masih terpancar dari matanya, melihatku tanpa mimik yang berubah sambil terus menghabiskan minumannya. Headphone yang berukuran besar sangat mencolok ter kalung di lehernya, yang kini ku tahu gaya nya ternyata sangat modis dan trendi. Namun yang menjadi pertanyaan ku adalah selama ini aku belum pernah melihatnya dan pagi ini aku bisa satu angkot dengannya, dan sekarang berada dalam satu ruangan dan mengobrol, padahal dalam waktu dua tahun aku bersekolah disini tak pernah ku jumpai. Seolah dia tak pernah ada disini, namun namanya begitu terkenal seperti halnya Kalista yang namanya sangat populer dari kelas satu hingga kelas tiga. Bahkan dari prestasi pun keduanya konsisten mendapatkan nilai yang sangat bagus dan dianggap jenius, namun antara Kalista dan Kinanti ada perbedaan yang sangat mencolok. Ibarat matahari di siang hari Kalista sangat periang dan membuat orang disekitarnya ikut merasakan kehangatan dan kebahagiaannya, sedangkan Kinanti ibarat bulan di malam hari yang menerangi orang yang berada di dalam kegelapan.

September RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang