Mentari kian terik menyengat kulit, keramaian makin menjadi disini dan semakin sering terdengar sayup-sayup dari bagian informasi lewat speaker, ada saja tentang laporan anak yang tengah terpisah dari orang tua atau kerabatnya, dan tak sedikit juga yang mengumumkan sudah kehilangan dompet dan barang berharganya. Dengan keramaian seperti ini memang bukan rahasia umum jika penjahat bisa saja dengan mudah melakukan aksinya ditengah manusia yang saling berdempetan bahkan sulit untuk berjalan. Setiap bazar dan stan memang memiliki daya tarik masing-masing, sehingga saat ada orang yang berhenti, maka orang di belakangnya juga terpaksa ikut terhenti langkahnya dan mencari celah untuk lewat, saking padatnya. Abah Ipin sedang duduk dan berteduh di bawah pohon yang cukup randu, sedang aku dan Aldi berteriak menarik perhatian pengunjung, tak sedikit juga ada beberapa yang aku kenali dan akhirnya membeli kerupuk Abah, Aldi sangat semangat saat berjualan hari ini, banyak atensi pengunjung yang tertarik dengan suara nya yang keras dan lantang, namun tetap dengan tutur kata yang baik, seperti bukan remaja yang sedang putus sekolah. Malah terlihat seperti pedagang yang sudah lama dengan keahlian komunikasi nya yang sangat bagus, aku pun harus banyak belajar dari nya cara berjualan dengan lantang seperti ini, sungguh pengalaman berharga yang kudapat hari ini.
Tak terasa sudah jam sepuluh, dan dagangan abah tinggal tersisa sepuluh bungkus saja. Aldi menyuruhku untuk berhenti berteriak dan segera membereskan dagangannya, aku sedikit heran karena masih bisa untuk menjualkan kerupuk yang masih ada, pengunjung juga masih ramai, namun dia memaksa untuk menyudahi aktivitas dagang kali ini, aku hanya bisa mengikuti apa kata dia. Kemudian setelah selesai membereskan lapak kami menghampiri Abah Ipin yang masih saja duduk dan ketika ku dekati ternyata ada sebuah tasbih ditangan abah Ipin, ternyata abah Ipin terus berdzikir sembari menunggu kami berjualan. Saat kutanya dia tak ingin menghabiskan waktu hanya duduk mematung saja karena bisa mengantuk, makannya dia terus mengingat tuhan sembari bersyukur atas semua yang masih bisa dia nikmati. Aku terenyuh sementara mendengar abah Ipin, bagaimanapun aku belum bisa seperti abah Ipin sekarang. Begitu damainya perasaan yang dia perlihatkan ditengah kehidupan keras yang sedang dijalaninya, aku harus memeriksa apakah di pipinya ada sesuatu karena abah selalu tersenyum setiap saat. Aku saja sempat disebut sombong karena aku sangat susah tersenyum, dengan lawan bicara ataupun didepan umum. Seperti ucapan Kalista kemarin, kesan sombong dan jutek ku memang didapat karena aku jarang sekali tersenyum, padahal menurutku aku sudah berusaha untuk tersenyum, tapi entah kenapa orang tak bisa melihat itu, seolah tersenyum adalah sebuah aktivitas yang sangat melelahkan karena aku harus mengeluarkan energi yang banyak hanya untuk tersenyum.
"A, ambil ini yah, makasih udah bantu kami." ucap Aldi tiba-tiba seraya menyodorkan uang padaku, dengan badan setengah membungkuk dia ingin memberi bagian hasil dia berdagang padaku sebagai upah.
"Gak ih, gausah, gapapa buat kalian aja, aku mah ikhlas bantu beneran." tegasku.
"Gak a, aku ga enak, aku sama Abah udah ketolong udah dibantuin jualan sama disediain lapak, ini a ambil, kalo enggak kami sedih a." dia tetap memaksaku untuk menerima uang itu.
"Jang, abah makasih sama ujang, mohon terima yah. soalnya jualannya udah laku banyak." tambah abah Ipin turut memaksaku.
"Gak bah, buat abah aja sama Aldi, aku mah seneng bisa ikut jualan dapet pengalaman." aku tetap menolaknya, karena bagaimanapun aku tahu hasilnya masih kurang dari cukup untuk kebutuhan mereka meskipun dagangannya laris. Tiba-tiba abah Ipin berbisik dengan Aldi, dan kemudian Aldi mengambil kerupuk yang belum sempat terjual tadi.
"Yaudah a, ini aja bawa pulang yah. Kalau aa tetep gak mau nerima uang nya." kini Aldi menyodorkan kerupuk yang ia bawa padaku, ku tahu kalau sudah begini mereka akan tetap memaksa, aku juga terpaksa menerima kerupuk itu dengan berat.
"Yaudah kalo kerupuk mah, tapi dua bungkus aja, jangan semua, kebanyakan aku mah, yah bah." akhirnya kami sepakat dan semua kembali tersenyum, dan entah kapan tanpa sadar aku juga ikut tersenyum. Abah Ipin dan Aldi kemudian pamit padaku untuk pulang duluan dan tak berhenti mengucapkan terima kasih, padahal bisa dibilang aku yang membuat mereka kerepotan atas saran ku yang berjualan disini, karena jarak dari rumah mereka cukup jauh dan harus menaiki angkutan umum antar kota. Setelah mereka pergi ada rasa penyesalan dalam diriku, sebelumnya aku menganggap keluarga abah Ipin membuat abah Ipin harus berjuang dalam kesulitannya, namun setelah melihat Aldi ternyata tidak demikian, Aldi dan keluarga nya yang lain juga berjuang keras menjalani kehidupannya. Apalagi Aldi yang mengorbankan pendidikannya agar bisa ikut membantu ekonomi keluarganya, lagi-lagi aku menilai semua nya dari luar, setelah semuanya jelas barulah penyesalan mengiringi seiring terbukanya sebuah fakta dimana satu keluarga yang sedang berusaha bertahan hidup tapi dengan entengnya seseorang menilai buruk keluarga itu, padahal dia bukan siapa-siapa dan tak tahu apa-apa, orang brengsek yang dengan mudahnya menilai dari luar, dan satu hal yang sangat membuatku kesal adalah orang brengsek itu diriku sendiri.Kini langit terlihat sangat cerah, terik dan begitu sesak saat udara panas ini ku hirup dan bersirkulasi dalam paru-paru ku, tanpa ada satupun awan di langit kini, saking bersihnya dari awan, langit biru ini seperti sedang menelan diriku saat kutajamkan mata pada satu titik. Satu hal yang kurasa, aku punya firasat buruk untuk kedepannya, hujan badai. Aku tadinya ingin langsung bergegas pulang, namun ponsel ku berdering tanda pesan singkat masuk, nomor yang tidak ku kenal. Kubuka pesan itu dan isinya ternyata dari Kalista.
(" Yan, udah beres jualannya?
Makan siang yuk, aku tunggu di patung macan, dateng yah!
~Kalista~" )Isi pesan singkat tersebut adalah sebuah ajakan makan siang, aku sebenarnya agak malu untuk menerima ajakannya. Namun aku tak tahu apa yang kupikirkan berikutnya.
("Udah beres, Oke.")
Tanganku malah mengiyakan ajakan makan Kalista, padahal aku punya firasat kalau akan hujan nanti jika aku berlama-lama disini aku bisa saja terjebak hujan, namun terbesit di kepalaku kalau ini sedang musim kemarau, dan memang sudah berbulan-bulan tidak turun hujan. Kemudian hati ku makin mantap dengan ajakan makan itu dan mulai menghampiri tempat yang dijanjikan Kalista untuk bertemu. Kini jalanan sudah sedikit renggang dari kerumunan manusia, mungkin karena sudah terik banyak yang sudah pulang dan banyak juga yang istirahat di stan-stan makanan, kini pusat keramaian berganti ke stan makanan disaat jam makan siang. Setelah beberapa menit berjalan aku lihat dari jauh sebuah patung macan yang di maksud Kalista, dan dia sudah berdiri di sana dengan anggun, sialan, pemikiran apa ini. Dia memang selalu anggun di manapun dia berada, melihatnya memakai baju selain seragam menambah keanggunan dari cewe bawel itu. Kini aku kembali gundah, pemikiran liar ku kembali bertarung, apa benar dia cewe yang bawel dan berisik, atau memang aku yang terlalu pendiam dan tak bersemangat selama ini.
"Wiihh, ada yang baru beres dagang, kecapean nih kayanya hihi.." ucap Kalista begitu aku tiba.
"Hey, balikin rasa bersalahku, ternyata kamu emang beneran bawel." jawabku.
"Hah, rasa bersalah? gimana Yan, kok tiba-tiba hihi, Ahh.. kamu mikirin aku yah.."
"Berisik bawel ah, mau makan apa?"
"Hmm, kamu aja yang pilih gimana?" saat kutanya akan makan dimana dia malah memintaku untuk memilih menu makan siang kami.
"Lah, yaudah sini ikut." Aku mengajak nya ke stan yang paling ujung diantara semua stan makanan ini.
"Oke, siap Boss." dia nampak antusias menerima ajakan ku, ini sih jadi terbalik, jadi aku yang malah mengajaknya makan. Dari jauh tercium aroma arang yang terbakar, kemudian wangi daging sapi yang sedang dibakar, Kalista terlihat penasaran, mungkin dia sudah menebak-nebak akan menu kali ini.
"Sate...!" Kalista berteriak riang, seolah dia menemukan harta karun.
"Biasa aja, gausah lebay." ucapku.
"Bukan gitu, aku kan suka banget sate, kamu kok tahu aku suka Sate Yan." ucap Kalista dengan sumringah seakan aku sudah tahu kalau ini makanan kesukaannya.
"Hah, bu.. bukan gitu, ahh udah lah. Ayo cepet pesen." Aku tak ingin meneruskan, aku tak ingin mengakui kalau tujuan aku mengajak nya kemari karena akulah yang suka dengan makanan ini, tapi tak ku sangka makanan ini malah merupakan makanan favorit nya cewe bawel ini juga.

KAMU SEDANG MEMBACA
September Rain
Historia CortaMenjalani hari-hari dengan biasa saja hingga beberapa kejadian yang terjadi di bulan September merubah dunia nya yang selama ini akrab dengan kesendirian, Iyan yang selalu kesepian dengan kondisi paru-paru nya yang spesial di pertemukan dengan seora...