"Maaf, walaupun mungkin kau tak lagi ingin mendengar kata maafku." Mike Marcelo
Senja terasa berjalan lebih lambat dibandingkan biasanya. Berjalan dari halte pun juga terasa lebih jauh sekarang. Entah hanya perasaanku saja atau memang begitu. Tapi itulah yang kurasakan saat ini. Sepanjang jalan kami saling terdiam. Aku berusaha mengalihkan pandangan sedangkan ia lebih banyak menunduk menatap jalanan sesekali. Hingga kami tiba di pekarangan rumahku.
"Eh, udah sampai saja." Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil matanya terus menatapku.
"Maaf ya, Vi. Aku tau aku salah dan itu hak kamu menerimanya atau tidak," ucapnya wajahnya terlihat tak baik. Bahkan ia sesekali menunduk sambil menunggu jawabanku.
"Iya, lagipula aku sedikit emosi tadi. Sampai jumpa besok."
"Sampai jumpa besok." Ucapannya kini diiringi oleh senyuman. Baguslah sekarang ia sudah kembali seperti semula.
Aku melangkah memasuki rumah sesaat setelah Ray pergi. Aku kembali melakukan rutinitasku mengucapkan salam lalu menghidupkan lampu. Yah, walaupun aku tahu dirumah tidak ada orang. Karena pikiranku sedang jenuh setelah berganti baju aku pun berjalan kearah kafe dan duduk di salah satu kursi kosong dekat jendela.
"Sepertinya kalian baik-baik saja, ya."
"Ha?" Aku menoleh ketika merasa ada orang yang berbicara denganku.
"Bagaimana kabarmu, Alvi?"
"Ka-kau kenapa ada disini. Bukannya datang ke sekolah malah datang ke kafe," ocehku begitu tau siapa orang yang mengajakku berbicara tadi.
"Ah, kau masih saja sering bicara. Tapi sepertinya hal itu kurang pas karena sekarang kau juga sedang berada di kafe." Mike mengulum senyumnya sambil menjawab ocehanku beberapa saat tadi. Lalu meminum lattenya begitu ia selesai berbicara.
"Tapi aku tidak sepertimu."
"Hahaha, iya kau benar. Lalu kenapa kau kesini bukannya dirumah. Kukira kau akan dirumah setelah diantarkan pulang oleh cinta pertamamu."
"Sebentar, bukannya harusnya aku yang bertanya kenapa kau ada disini? Dan lagi kau tau darimana tentang cinta pertamaku?"
"Aku ada disini karena suka melihat pemandangan disini. Dan tentu saja aku tau tentang kau dan Ray."
"Oh, kau tinggal di...,"
"Tidak."
"Hei! Bahkan aku belum selesai bicara."
"Aku tidak tinggal disini." Aku menghembuskan nafasku kesal.
"Memangnya aku dan Ray se...,"
"Tidak."
"Hei! Ayolah biarkan aku menyelesaikan kalimatku dulu."
"Tidak, kau dan Ray tidak terkenal hanya saja aku tetap mengetahuinya, cerita tentang cinta pertamamu."
"Ah, apa kau belajar psikologi akhir-akhir ini, ya?"
"Tidak."
"Ah, terserah kau tidak melulu daritadi." Aku memasang raut wajah kesalku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Him too
RomanceApakah salah jika kita mencintai seseorang yang mencintai kita ? Apakah salah jika tanpa sadar kita mencintai dua orang yang berbeda karena menganggapnya seakan-akan orang yang sama? Apa itu salah? Jika itu salah, lalu aku harus bagaimana? Ini cerit...