"Jadi, menurutmu selama ini kita apa?"
Aku berlari-lari pagi itu, sembari menyelempangkan tas hitamku yang kosong. Sesekali mataku melirik kearah arloji hitam di tanganku. Aku takut terlambat kali ini. Selama ini aku tak pernah takut akan kata terlambat sampai hari ini tiba. Aku mulai mengatur nafasku begitu berhasil sampai didepan gerbang tepat waktu. Tanpa sadar bibirku membentuk sebuah senyuman. Aku segera melangkahkan kakiku sambil melihat ke sekeliling, aku mencarinya. Tetapi nihil ia tidak ada. Aku melirik kearah halte bus terdekat, ia juga tak ada. Aku mencari kearah parkiran, tetapi juga tidak ada.
"Hah, apa dia terlambat hari ini?" Tanyaku pada diriku sendiri. Aku mengambil hpku di saku celanaku. Kulihat jam 07.30 tertera dilayar hp.
"Sebaiknya aku tunggu ia dilorong saja," gumamku sambil berjalan tanpa memperhatikan depanku.
"Lu beneran kembali kesini ternyata, my brother." Suaranya terdengar tak asing. Aku yakin orang yang mengatakan tersebut adalah orang terdekatku.
"Padahal gue gak mau ketemu sama elu hari ini," jawabku begitu tahu siapa yang berbicara tadi.
"Bukankah itu cukup dingin untuk berbicara pada saudaramu?" Orang itu jelas-jelas sedang memancingku untuk berbicara lebih banyak walaupun ia tahu mungkin aku takkan melakukannya.
"Kita saudara didalam rumah tetapi tidak diluar rumah, brother." Ia terdiam lalu tertawa kecil setelah mendengar itu.
"Terimakasih udah jagain Alvi," tuturnya sebelum pergi dari hadapanku. Aku tersenyum kecut dan tentu saja aku tak berniat menjawab ucapannya itu.
"Terimakasih, ya?" Aku menyipitkan mataku dengan bibir yang miring. Sebenarnya aku berniat berkata begitu tadi tapi, ah sudahlah.
Aku berdiri di lorong kelas IPS ku perhatikan satu persatu orang yang lewat sana. Sesekali aku tanyai mereka apakah melihat dirinya. Namun, aku tak mendapat jawaban yang kuharapkan. Bel pertanda masuk berbunyi semua orang berbondong-bondong masuk ke kelas masing-masing. Tapi tidak denganku, aku menambah ketajaman mataku untuk menemukannya. Hingga pada akhirnya logikaku sampai pada satu hal. Jangan-jangan ia tidak masuk sekolah hari ini. Aku segera merogoh saku celanaku mencari hpku disana. Lalu dengan cepat aku mencari nomor telepon Yovan disitu. Aku langsung mendekatkannya ke telingaku begitu terdengar suara diseberang.
"Van, Via sama Alvi gak?"
"Kok lu tanya gue. Gue mana tau, hadeh."
"Ash, terus gue suruh nanya siapa?"
"Bentar-bentar gue tanyain Via dulu, ye bos."
Aku menutup teleponnya sambil merutuki diri sendiri. Bukankah jika aku ingin tau lebih baik menelponnya langsung saja daripada menelpon Yovan. Aku mengacak rambutku frustasi. Padahal tadi pagi aku berangkat sekolah dengan sejuta kebahagiaan tetapi sekarang malah berbalik menjadi sejuta kecemasan. Memang benar kalau takdir tidak ada yang tahu.
"Hei, mau sampai kapan lu disitu," sapa seseorang yang entah sejak kapan ia sudah berada disebelahku.
"Eh, Bill. Apa kabar?" Ia memutar matanya jengah sebelum ia membuka suaranya.
"Bukankah seharusnya gue yang tanya sama lu, ya. Lu nyari Alvi, kan?" Aku tersenyum mendengar jawaban Billy. Tebakannya kali ini juga benar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Him too
RomanceApakah salah jika kita mencintai seseorang yang mencintai kita ? Apakah salah jika tanpa sadar kita mencintai dua orang yang berbeda karena menganggapnya seakan-akan orang yang sama? Apa itu salah? Jika itu salah, lalu aku harus bagaimana? Ini cerit...